Fimela.com, Jakarta Media sosial menamani saat macet sedang parah-parahnya, media sosial ada di waktu-waktu paling senggang, media sosial hadir di sela percakapan seru antar dua atau segerombol manusia. Jadi, wajar bukan bila saya mengatakan ia sudah seperti udara yang tak bisa dicerai dari hidup?
Saya sendiri sudah kurang lebih 10 tahun akrab dengan jejaring sosial. Dari mulai Friendster, Facebook, Twitter, Pinterest, Flickr, Tumblr, Instagram, hingga Path semua pernah atau masih dipakai. Tentu saja nama-nama tersebut belum mencangkup semua media sosial yang berseliweran di dunia maya.
Advertisement
BACA JUGA
Namun sekiranya merekalah (ditambah Snapchat mungkin(?)) yang paling populer di telinga netizen Indonesia. Meski berlabel media sosial, keunggulan dan fungsi utama yang diusung tiap jejaring sosial bisa dikatakan berbeda.
Ada yang lebih menonjolkan teks, sementara beberapa berkonsentrasi pada gambar. Ada pula yang malah menggabungkan sejumlah unsur di luar keduanya, seperti Path. Di antara sejumlah klasifikasi tersebut, satu yang tetap saya pikir terjadi adalah media sosial telah atau malah tengah beralih fungsi.
Kamu mungkin juga telah menyadari seberapa powerful media sosial sekarang ini. Saking kuatnya, sampai-sampai mana yang fakta, opini atau bahkan berita bohong sulit dibedakan. Media sosial bisa membentuk stigma, media sosial sanggup membangun citra diri.
Media sosial bisa jadi begitu jujur, namun kali lain malah menjelma sebagai pembohong ulung. Kemudian, apa yang tergerus lantaran media sosial beralih fungsi? Apa juga yang bisa diperbuat saya, kamu dan para penggunanya untuk tetap bisa memasang tameng rapat, namun juga tak terlalu rapat?
Advertisement
Wajah Baru Media Sosial
Saya masih ingat betul letup suka yang dirasa ketika berjalan ke warung internet di sekitar tahun 2007 sepulang sekolah. Niat saya mantap kali itu, yakni untuk memperbarui laman profil Friendster. Masih lekat pula diingatan saya soal berjam-jam yang dihabiskan untuk terbahak membaca timeline Twitter sekitar lima atau empat tahun lalu.
Pada waktu-waktu itu, media sosial sungguh informatif dan menghibur. Guyonannya segar, siaran kabarnya pun masuk akal. Meski ada yang tak benar, tapi jumlahnya masih sedikit. Namun sekarang? Coba lihat saja timeline milikmu sendiri. Ada saja, meski hanya satu-dua, yang membuat kening berkerut ketika membacanya.
Media sosial jadi tempat menyamarkan kebenaran dengan pembenaran. Media sosial membuat yang tadinya berkawan jadi enggan bertegur. Media sosial membentuk citra diri dengan tak utuh. Jadi, ke mana ruang menyenangkan yang dulu saya nantikan ketika pulang sekolah?
Sekarang cuma ada omong soal ia yang di media sosial begini, tapi di realita demikian. Dewasa ini kerapian feed Instagram dengan foto menarik lebih diperhatikan ketimbang kebahagiaan saat menjalani tiap momen. Apakah ini merupakan perubahan yang perlu?
Setahun belakangan saya sudah jarang sekali berlama-lama di media sosial, bahkan sudah menyaring teman di akun jejaring sosial milik saya. Secara mengejutkan, cara ini cukup berhasil meredam beragam topik yang saya tak ingin tahu. Meski tetap saja ada satu-dua yang nyangkut lantaran nggak enak untuk di-unfriend, di-unshare, di-unfollow.
Tameng ini saya pikir jadi yang paling logis untuk setidaknya meredam deras arus tak masuk akal di media sosial. Saya masih ingin tertawa ketika membaca timeline media sosial. Saya tetap mau mengangguk atau bergumam 'oh' pasal tahu informasi baru lewat media sosial. Bagaimana denganmu?
Asnida Riani,
Editor Kanal Style Bintang.com