Fimela.com, Jakarta Traveling kini bukan lagi 'barang mewah' (baca: telah dilakukan lebih banyak orang ketimbang sekian tahun ke belakang). Semua boleh (padahal sudah dari dulu ya?) melakoni perjalanan dengan beragam metode, asal tetap dalam pakem-pakem tertentu, tak terkecuali hukum.
Jika kemudian yang timbul adalah mengapa, maka merakyatnya internet, saya pikir, merupakan faktor paling krusial. Deraan arus informasi akan tempat-tempat yang semula bunyinya saja asing menggugah sejumlah orang untuk bermimpi menjejak kaki di sana.
Advertisement
BACA JUGA
Permintaan yang cenderung meningkat ini pun bermuara pada, low-cost carrier dan tempat bermalam yang opsinya bukan hanya hotel. Lahir dari internet dan kembali ke internet, sekiranya ada benang merah yang bisa ditarik dari fenomena membudayanya traveling.
Sejak media sosial populer di Indonesia pada awal 2000-an, tren penggunaannya kian bergeser. Muncul satu untuk mengganti yang lain pun terjadi. Hingga sampailah pada era Instagram. Media sosial berbasis sharing foto ini, kalau saya tak salah ingat, mulai diminati sejak 2011.
Beberapa ada yang memanfaatkan Instagram untuk memulai bisnis online, ketika sebagian lain malah menjadikannya jurnal pribadi. Nah, dalam klasifikasi tersebut, ada lagi yang mengerucut menjadi album perjalanan, yakni feed Instagram dengan sebagian besar potret pengabadian momen traveling.
Kebiasaan mengunggah foto traveling ini lambat laun membuat saya (atau mungkin kamu juga) menyadari bentukan budaya baru. Jadi, apa benar terdapat korelasi antara makna perjalanan dengan budaya Instagram yang belakangan menggandrungi sejumlah orang?
Advertisement
Feed Instagram Bagus atau Perjalanan Bermakna?
Sekitar tiga tahun lalu bersama teman yang memutuskan untuk membawa teman-temannya lagi, saya menghabiskan akhir pekan di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Dua hari lamanya kami hendak melihat Jakarta dengan paras yang tak seperti kebanyakan orang deskripsikan.
Sistem island hopping yang diterapkan membuat kami punya cukup banyak pemberhentian. Di antara euforia, saya yang kala itu tengah rindu-rindunya dengan laut, sedikit dibuat heran. Bukan oleh apa yang ada di Pulau Harapan, namun dengan apa yang 'saya bawa' ke Pulau Harapan.
Ketika baru duduk (tidak terlalu) manis di perahu kayu yang hendak membawa kami menjelajah pulau-pulau di sekitar pulau utama, teman dari teman saya itu berkata, "fotoin gue di sini dong, mau upload ke Instagram.". Kalau sesekali sih saya sangat maklum, tapi ia berucap hal serupa di hampir sebagian besar waktu.
Saya yang berusaha sesebentar mungkin memegang ponsel (terima kasih untuk sinyal yang tak hadir di tiap pulau) heran melihat ia sibuk memotret sana-sini. Bukan berarti tak mengambil satu-dua gambar, saya pun melakukannya. Untuk kenang-kenangan, supaya ingat terus. Tapi jika sampai menyita hampir seluruh momen?
Sebenarnya kejadian tersebut bukan kali pertama saya alami. Dalam satu-dua perjalanan sebelumnya sudah saya temui orang berkarakter serupa. Bukan tidak setuju dengan mereka yang memotret banyak-banyak ketika traveling, lantaran dalam beberapa kasus, justru fotolah yang menjembatani komunikasi pendatang dengan warga lokal.
Tapi bagaimana bisa menikmati lembut belaian angin, memahami ritme sebuah kota, serta mengambil pelajaran dari apa-apa yang ada, jika hanya sibuk menghasilkan foto-foto bagus untuk diunggah di Instagram? Bukan hanya lewat lensa, mereka sekiranya mendamba dilihat langsung oleh mata.
Jadi mari sama-sama kita berkaca dan memberi indikator logis untuk tetap memiliki foto perjalanan menarik yang bisa lebih mengingatkan setiap momennya, sambil menyesap dalam-dalam makna perjalanan yang sangat mungkin diperoleh. Jangan sampai hanya karena foto, lupa berinteraksi. Jangan sampai hanya karena foto, membahayakan keselamatan diri sendiri dan orang lain.
Asnida Riani,
Editor Kanal Style Bintang.com