Fimela.com, Jakarta Kenaikan harga cabai menjadi salah satu duka tersendiri di tengah rentetan isu miskinnya toleransi beragama di negeri ini. Duka itu makin menjadi tentunya di kalangan pecinta kuliner pedas. Rasa-rasanya, kini cabai tak ubahnya seperti gengsi anak perawan yang lagi PDKT. Tinggi bangeeet!
BACA JUGA
Advertisement
Well, sebagai pecinta makanan pedas garis keras, saya sendiri begitu merasakan perubahan yang signifikan dalam hidup ini semenjak melambungnya harga bahan dasar makanan kesukaan saya itu. Jika biasanya masakan pedas ibu saya bisa sampai bikin saya tobat, mungkin sekarang hanya sampai sebatas teriak-teriak. #apeu
Saya yang tadinya sangat apatis pada perkembangan ekonomi negara, kini, saya jadi rajin memantau berita-berita berkaitan dengan hal tersebut, terutama soal harga cabai. Yang bikin saya nggak habis pikir, salah satu portal berita menyebutkan bahwa di Banjarnegara, harga cabai dihargai dalam hitungan per buah, yakni seharga Rp250. Warbiyasak!
Konon, para petani menaikkan harga cabai ke harga yang tak lagi bisa dibeli dengan selembar Rp50.000 per kilo ini, karena faktor cuaca. Bagi saya, alasan tersebut agak kurang dapat diterima, sih. Bagaimana bisa petani yang (mungkin) sudah malang melintang di dunia cabe-cabean bisa tak siap dan menyalahkan cuaca.
Bukankah itu bisa menjadi tantangan tersendiri bagi petani untuk mencari metode penanaman yang tepat di berbagai cuaca? Atau kenaikan harga cabai ini hanya salah satu usaha memperkaya diri oknum-oknum tertentu saja? Entahlah. Apalagi, fenomena kenaikan harga cabai ini bukan yang pertama atau ke-dua.
***
Advertisement
Sederet hikmah~
Cabai yang notabene makanan merakyat, kini mungkin sudah beralih menjadi makanan priyayi. Ya, hanya kaum priayi dan borjuis lah yang bisa mengusai pangsa cabai di Indonesia Raya ini. Sedangkan yang lain, mungkin hanya bisa menghirup aromanya saja. Termasuk hamba... :(
Betahnya harga cabai di titik teratas selama hampir setengah bulan ini, tentunya telah membuat sejumlah kehakikian sebuah makanan luntur dibuatnya. Sebut saja sambal yang tak lagi pedas. Sambal yang semula diharapkan membuat makanan jadi makin sedap, kini malah berubah jadi sesuatu di bawah ekspetasi.
Well, daripada terus mengeluh, setelah saya pikir-pikir, di balik setiap peristiwa, baik itu positif maupun negatif, pasti ada hikmah yang bisa diambil. Termasuk peristiwa kenaikan harga cabai yang fenomenal ini. Seperti beberapa poin di bawah ini buah dari pemikiran sotoy saya.
Ibu-ibu dituntut untuk lebih kreatif. Dengan naiknya harga cabai, membuat ibu-ibu jadi putar otak agar bisa masak enak tanpa cabai. Mungkin lebih menonjolkan bumbu lain yang memiliki rasa serupa dengan cabai, misalnya? Atau justru ibu-ibu bikin gerakan menanam cabai di pekarangan rumah seperti yang dianjurkan oleh Menteri Pertanian? Daripada gosipin tetangga cuma dapat dengki doang. Lumayan kalau tumbuh subur bisa dijual lagi dan jadi tambahan uang belanja hehehe.
Kesehatan terjaga. Cabai memang memiliki sedertet manfaat kesehatan bagi yang mengonsumsinya. Namun, bukan berarti cabai tak punya sisi negatif di balik itu. Mengonsumsi cabai terlalu banyak juga membuka peluang beberapa masalah kesehatan hinggap di tubuhmu. Mulai dari mules sampai magh akut. Nggak mau, kan?
Image cabe-cabean berubah. Jauh sebelum harga cabai melambung tinggi, istilah cabe-cabean telah lebih dulu eksis di kehidupan ini. Seiring dengan naiknya harga cabai, diharapkan image golongan remaja kelas menengah nge*e ini bisa ikut terangkat derajatnya. Sehingga nggak lagi dipandang sebelah mata oleh mereka-mereka yang telah melewatinya. Nggak nyambung, sih, tapi ya bisa lah ya kaum cabe-cabean berbangga hati karena sekarang cabe, yang jadi representasi mereka harganya bisa bikin orang bangkrut heheheu.
Hmmm.. Punya hikmah lain yang bisa dilihat dari naiknya harga cabai? Yuk, share di kolom komentar. Buat kamu yang masih belum terima sama harga cabai yang gila ini, saya cuma bisa berkata; mohon bersabar, ini ujian. Tabik!
Febriyani Frisca
Editor kanal Unique.