Fimela.com, Jakarta 'Petir' di awal 2016 membuat nama Jessica Kumala Wongso jadi bunyi yang begitu akrab di telinga publik, tak terkecuali saya. Sekali terucap, tak perlu waktu lama untuk mengumpulkan berbagai informasi soal siapa dan apa. Ingatan akan perempuan berambut panjang itu 'menyerbu' se-otomatis cara berjalan yang sistematikanya telah tersimpan di ganglia basal.
Wajar saja, lantaran telah hampir sepuluh bulan lamanya 'drama sianida' wara-wiri di pemberitaan, baik cetak, televisi maupun online. Bagi saya pribadi, alur ini bergulir sejak seorang teman, yang kebetulan satu profesi, mengirimkan pesan di aplikasi chat. "Ada perempuan keracunan minum kopi di GI," kira-kira begitu ia mengabarkan.
Advertisement
BACA JUGA
Bukan maksud tak menghargai keluarga yang ditinggalkan, awalnya saya kira ini hanya akan jadi 'berita biasa'. Yang akan menyeruak, kemudian tenggelam dalam hitungan minggu. Namun dengan apa yang terjadi sekarang, persepsi saya terbukti mentah.
Sejak dengan tragisnya Wayan Mirna Salihin meninggal pada 6 Januari silam, berbagai sisi terkuak. Dari fakta sang korban baru saja menikah, hingga sederet rumor percintaan (bahkan sejenis) menyertai guliran kasus yang telah melewati fase pembacaan tuntutan tersebut.
Sedari Jessica masih berstatus saksi seperti Hanie Juwita Boon, teman yang juga ada ketika Mirna menyeruput es kopi Vietnam, hingga resmi jadi tersangka pada 29 Januari, kasus ini seakan jadi the true reality show, di mana kelanjutannya dinanti hampir seantero negeri.
Seperti kebanyakan perihal dalam hidup, pro-kontra pun tak luput dari peristiwa dugaan pembunuhan putri Edi Darmawan Salihin tersebut. Adu argumen tak hanya jadi milik ahli dan jaksa, namun juga masyarakat luas selaku 'penonton'. Seakan kejadian ini telah jadi puzzle bersama.
Dipengaruhi sekian persen oleh tuntutan pekerjaan, saya pun mengikuti fase demi fase kasus Jessica Kumala Wongso. Seiring berjalan, saya malah sedikit demi sedikit mengidentikkan plotnya dengan salah satu novel fiksi karya Mary Higgins Clark. Di mana saja miripnya?
Advertisement
All Around the Town dan Jessica Wongso
Adalah All Around the Town, novel yang saya baca sekian tahun silam. Terselip di antara buku koleksi ibu kos seorang teman semasa putih abu-abu, kitab kecil bersampul perpaduan cokelat muda dan putih dengan rumah tua berada di antara goresan huruf judul besar-besar itu menarik perhatian.
Bukan novel tebal dengan ribuan halaman, salah satu karya brilian Mary Higgins Clark ini hanya tersusun dari ratusan lembar kertas. Tipe paperback yang kala itu saya baca pun mempermudah proses mencerna bab demi bab cerita. Namun demikian, jangan anggap plotnya tak mengejutkan.
Sekarang, mari kita tarik kemiripan antara alur novel yang telah difilmkan pada 2002 lalu itu dengan kasus Jessica. Yang membuat saya pertama kali sadar akan kemiripannya, yakni kala Jessica banyak mengatakan tak ingat ketika ditanya kepingan kejadian saat kembaran Sandy Salihin tersebut meregang nyawa.
Potongan alur yang demikian sama persis seperti Laurie Kenyon, tokoh utama dalam All Around the Town, di mana ia juga menghadapi kasus hukum dengan tuduhan membunuh profesornya, Allan Grant. Ketika diberondong tanya, Laurie pun melontarkan jawaban tak ingat.
Alur itu jadi titik balik saya mengingat beberapa fakta lain, termasuk soal emosi Jessica yang sering kali berubah. Ada saatnya Jessica dikabarkan frustrasi, namun kali lain malah dikatakan begitu tenang. Beberapa mungkin menyebutnya sebagai reaksi wajar akan guncangan keadaan yang tengah dialami. Benarkah?
Sejauh yang saya tahu, psikolog yang didatangkan memang menyatakan Jessica tak ada kecenderungan memiliki kepribadian ganda. Namun, sebagaimana dimuat Liputan6.com, Ahli Psikologi Klinis Antonia Ratih Andjayani pernah menyatakan, kesimpulan perilaku memerlukan pendalaman lebih lanjut.
Pasalnya, Laurie pun 'tertangkap' memiliki empat kepribadian setelah puluhan sesi pertemuan dengan psikolog. Sekali lagi, bukan saya bermaksud menuduh Jessica bernasib serupa. Namun, tak ada salahnya kalau perspektif ini disoroti secara berkala, bukan? Hanya untuk berjaga-jaga.
Jika saya boleh berpendapat, lusinan persidangan yang telah digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu 'diputar-putar' hanya soal sianida, celana dan perilaku Jessica ketika berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP), juga CCTV yang katanya tak asli. Fokus-fokus tersebut akhirnya menenggelamkan beragam faktor yang mungkin saja bisa jadi titik temu paling bijak dalam kasus yang juga jadi sorotan kantor berita internasional tersebut.
Meski tak sama persis hingga ke tiap bagian kisah Laurie, tapi dalam pemikiran saya yang tentu termasuk awam ini, kasus Jessica sedikit banyak mempunyai kemiripan. Tanpa condong ke pihak manapun, saya hanya ingin memberi cara pandang baru.
Mengapa penyidikan soal apa-apa yang telah didalami sekarang tak diimbangi pemeriksaan psikologi terdakwa lebih mendalam? Dengan menyelami tragedi masa kecil seperti yang dilakukan psikolog Laurie, mungkin? Lagipula, upaya tersebut juga sepertinya baik untuk menjaga kesehatan mental Jessica Kumala Wongso. Selagi palu belum diketuk, selagi vonis belum dijatuhkan.
Asnida Riani,
Editor Kanal Style Bintang.com