Fimela.com, Jakarta Apalah artinya hari tanpa camilan? Bagi sebagian orang, camilan memang menjadi seperti keharusan. Permintaan dan penggemar yang kian bertambah, mendorong banyak anak-anak muda untuk menjawab permintaan mereka.
BACA JUGA
Advertisement
Salah satunya Ali Muharam, pengusaha muda sukses asal Tasikmalaya. Ali 'melahirkan Makaroni Ngehe, camilan makaroni yang kini sedang digandrungi masyarakat, terutama kaula muda. Hampir di setiap outletnya yang tersebar di berbagai daerah seperti Jakarta, Yogyakarta, Bogor, Depok dan lainnya ini selalu ramai.
Para pembeli rela mengantre panjang demi membeli camilan ini. Kamu pastinya juga tahu, kan, Makaroni Ngehe? Ternyata, tak mudah bagi Ali untuk bisa sukses dengan brand-nya ini. Kepada Karla Farhana, dari Bintang.com, Ali menceritakan betapa berat perjalanannya dari Tasikmalaya untuk hijrah ke Jakarta demi mencapai cita-cita jadi orang sukses.
Ada banyak halangan ketika Ali berjuang untuk menjadi pengusaha. Berbagai pengalaman pahit telah dia alami. Ternyata, sebelum menjadi pengusaha makaroni, Ali sempat melakoni berbagai pekerjaan. Mulai dari menjual sandal kulit sintetis, buka kantin, penulis skenario, hingga menjadi chef di sebuah restoran.
Bahkan, ketika baru mau memulai bisnis makaroninya, ibunda Ali meninggal dunia. "Sempat ingin berhenti usaha makaroni. Saya akhirnya melanjutkan untuk menulis tanpa tahu arah tujuan hidup," kata Ali kepada Bintang.com. Lantas, apa yang membuatnya bangkit sehingga sukses di usia muda? Simak wawancara Ali Muharam dengan Bintang.com berikut ini.
Advertisement
Perjuangan Panjang dari Tasik ke Jakarta
Sejak kecil tumbuh di Tasikmalaya, apa yang membuat kamu hijrah ke Jakarta?
Sejak kecil, di Tasikmalaya, saya itu termasuk anak yang tidak bisa diam. Saya juga tidak bisa berada di sebuah rutinitas yang membosankan. Saat saya SMP dulu, di Tasik, saya senang mengunjungi kota dan tempat-tempat sekitar. Misalnya ke Bandung naik kereta. Saya hanya ingin mendapatkan pengalaman yang baru. Jadi, bisa dibilang rasa ingin tahu saya itu sangat tinggi.
Saat SMA, ibu saya membesarkan anak-anaknya, ada lima anak, sendirian. Jadi, sepertinya tidak mungkin kalau saya kuliah. Jadi saya bertekad untuk, bagaimana caranya, saya harus bisa membiayai kuliah saya sendiri. Jadi saya bertekad untuk pindah ke Jakarta.
Apa yang membuat tekadmu begitu kuat untuk pindah ke Jakarta?
Sejak dulu saya punya prinsip. Saya harus bisa ke Jakarta, bagaimanapun caranya. Pada saat itu tahun 2004. Prinsip ini hingga sekarang masih menempel. Jadi, sekarang kalau saya stuck, saya berprinsip untuk terus bergerak. Ke mana pun.
Memutuskan untuk meninggalkan Tasik, ke mana tujuan Aa pertama kali?
Saya waktu itu pertama kali ke Kebumen dulu. Di sana ada saudara saya yang bekerja sebagai produsen sandal. Nah, saya akhirnya kut membantu. Saya mencoba untuk memasukkan produk sandal imitasi kulit itu ke toko-toko di Kebumen. Tapi semuanya menolak. Beberapa minggu kemudian, saya ditawari untuk pergi ke Yogyakarta, ikut boss-nya kakak saya. Di sana, saya menunggui sebuah rumah dan membantu membersihkan rumah tersebut.
Terus, beberapa minggu kemudian, saudara saya yang tinggal di Bogor mengundang saya ke tempatnya. Dia bekerja di sebuah yayasan sebagai office boy. Dari Bogor, saya akhirnya punya kenalan dan berkesempatan untuk pergi ke Jakarta.
Di Jakarta, pekerejaan apa yang pertama kali kamu lakukan?
Kenalan saya itu menawari saya untuk buka usaha. Buka kantin karyawan di sebuah kantor bank. Di Jakarta, saya bangun jam 5 subuh. Sampai di bank jam 6 pagi, lalu masak. Saya melakukan semuanya sendirian. Belanja saya, masa juga saya, yang melayani pembeli juga saya. Saat itu, cuma kantin kecil saja, yang hanya ada beberapa menu sederhana. Tapi sayangnya, kantin itu tutup dalam waktu 1 setengah bulan.
Setelah kantin tutup, untungnya saya sudah ada kenalan di Jakarta. Saya akhirnya mendapatkan pekerjaan di sebuah toko baju. Terus pindah lagi sebagai pelayan di sebuah restoran ayam goring, di daerah Fatmawati.
Sesulit apa masa itu ketika harus pindah-pindah pekerjaan?
Waktu itu saya hanya punya uang Rp50 ribu. Sementara ongkos dari indekos ke toko baju, Rp30 ribu. Sisa uang saya hanya Rp20 ribu. Suatu hari, saat jam makan siang, saya tidak bisa beli makan siang karena uang saya tinggal Rp10 ribu di kantong.
Saat itu ada mbak-mbak yang tanya saya. Kenapa enggak makan? Saya bilang saya tidak punya uang. Dia akhirnya, dengan baik hati dan merasa kasihan, memberikan setengah menu makan siangnya. Saya mungkin sudah tidak begitu ingat dengan wajahnya. Tapi sampai detik ini saya tidak akan pernah lupa dengan kebaikannya.
Pindah-pindah, ada berapa pekerjaan yang pernah kamu lakukan sebelum bisnis makaroni?
Wah banyak. Saya pernah jadi penerjemah orang Sri Lanka. Saya juga pernah bekerja di restoran Jepang, EO, balik lagi ke kantin Cinere, Soalnya, gaji saya digantung ketika menjadi penerjemah orang Sri Lanka itu. Tahun 2007 saya pernah magang jadi admin di Depdiknas, selama 6 bulan.
Kapan akhirnya memutuskan untuk berbisnis?
Ketika saya bekerja di Depdiknas itu, di situlah saya sadar, tak akan pernah sukses kalau terus-terusan bekerja untuk orang lain. Akhirnya saya cari-cari di Internet, dan menemukan peluang menjadi penulis skenario. Upahnya sangat menggiurkan. Satu episode upahnya mencapai Rp1-2 juta. Akhirnya saya berusaha dengan keras supaya tembus industri perfilman. Akhirnya, setelah beberapa minggu, kenalan saya menawarkan untuk menjadi penulis. Setelah interview dan tes penulisan, akhirnya saya jadi penulis. Hingga 2011.
Tapi saya akhirnya jenuh. Saya mulai mencari lahan baru. Buka usaha. Tapi masih bingung usaha apa. Sambil berpikir usaha apa, saya masih terus menulis. Hingga akhirnya tahun 2012 saya merasa terpuruk. Karena honor menulis sudah tersendat. Akhirnya saya pulang ke Tasik. Balik lagi ke Jakarta, saya bekerja jadi chef di sebuah restoran.
Proses Lahirnya Makaroni Ngehe
Kapan mulai berjualan makaroni?
Setelah kembali mendapatkan proyek menulis, saya akhirnya mendapatkan uang lagi. Sejak saat itu, saya bertekad untuk tidak mau bekerja, tapi membuka sebuah usaha. Saya pulang lagi ke Tasik. Saya terus ngobrol-ngobrol dengan ibu saya tentang makaroni.
Jadi, makaroni ini makanan yang dibikin ibu saya tahun 1993-1994. Menurut pengakuan keluarga saya, ibu saya yang pertama kali bikin. Makaroni kering. Orang-orang dan keluarga saya semuanya suka. Padahal makaroni kering saja dikasih bumbu asin dan pedas. Akhirnya banyak yang bikin juga. Banyak yang jual. Di Tasik, ada satu toko makaroni yang laris terus selama bertahun-tahun. Ibu saya bilang, kenapa tidak dijadikan bisnis saja?
Apa saja persiapan untuk berbisnis makaroni?
Jadi saya pada awalnya, dibantu ibu saya, mencari harga jual. Saya beli ke pasar 1 kg makaroni. Harganya berapa? Saya juga hitung ada berapa sendok, dan berapa butir dalam 1 kg itu. Kemudian minyak. Minyak 1kg bisa habis sampai menggoreng berapa kali. Harga gas juga. Harga plastik dan bumbu. Saya dan ibu saya dapat harga jual. Saya akhirnya produksi 100 bungkus per hari. Untung Rp3 juta.
Modal pertama, pada awalnya belum terkumpul. Saya kemudian jalan-jalan ke Jatinangor. Di sana, bukan cuma orang Sunda. Tapi juga ada orang Jawa. Jadi, saya bisa memperkirakan, berapa orang yang non Sunda suka dengan makaroni saya.
Apa yang kamu lakukan di Jatinangor?
Saya cari tempat untuk berjualan, tidak ada. Akhirnya saya bertemu dengan seorang penjual tahu pedas. Akhirnya dia setuju untuk bekerja sama. Dia sediakan gerobak, saya siapkan bahan baku. Saya akhirnya ngekos di sana. Semuanya saya lakukan sendiri. Goreng sendiri, saya jualan pakai gerobak, selama 2 minggu. Saya akhirnya ke Jakarta. Saya buat sample dan saya bagikan ke teman-teman. Ternyata mereka suka.
Kapan waktu yang sangat berat setelah memulai berjualan makaroni?
Tahun 2012, ketika saya mau memulai usaha, ibu saya masuk rumah sakit. Lima hari kemudian, ibu saya meninggal dunia. Saat itu, niat saya untuk buka usaha hilang. Saya membuka usaha untuk membahagiakan ibu saya. Kalau ibu saya tidak ada, buat apa?
Tapi ada satu titik yang membuat saya bangkit kembali. Setelah saya ketemu dengan seseorang. Dia itu tukang cuci di indekos saya. Saya berikan sejumlah uang karena kelihatannya dia membutuhkan uang itu. Ketika saya bantu, ibu itu berterima kasih dengan sangat tulus dan merasa sangat gembira. Saya berpikir, ternyata saya salah selama ini.
Hidup itu bukan cuma untuk diri sendiri. Kalau memang ingin bahagia, coba bahagiakan orang lain. Tapi, untuk menolong orang, tetap membutuhkan uang. Kalau bukan dari usaha, dari mana saya dapat uang banyak? Akhirnya saya bangkit. Saya buka outlet, Maret 2013.
Berapa modal awal saat membuka outlet pertama?
Waktu itu Rp20 juta. Jadi saya pinjam kepada teman. Saya bilang, kamu akan dapat seperti fee atau persentase dari keuntungan, selama usaha ini berjalan. Saya juga saat itu masih gambling. Saya juga tidak tahu kalau usaha ini bakal terus atau tidak. Tapi, apa pun yang terjadi, saya tetap terus maju. Yang penting saya sudah mengambil tindakan dan risiko untuk membuka usaha.
Bagaimana awal respons para pembeli?
Awalnya sih belum terlihat ya. Tapi lama-lama banyak yang tahu. Hingga sekarang, sudah ada 21 outlet. Di Jakarta ada 10, di Bogor ada 2, Depok ada 1, di Bandung 2, di Pasar Minggu nanti baru mau buka. Sekarang, setiap outlet omsetnya Rp3-4 juta per hari.
Ali Muharam telah melakukan banyak hal demi mencapai kesuksesannya. Ini membuktikan, kesuksesan memang mensyaratkan sebuah kerja keras. Tanpa kecerdasan, kemampuan, kegigihan, tekad yang bulat, Makaroni Ngehe mungkin tak pernah ada. Ali memang pantas menjadi salah satu contoh anak muda yang gigih demi mewujudkan cita-cita. Dan yang paling penting, demi membantu dan membahagiakan orang lain.