Fimela.com, Jakarta "Being with you is the only place I want to be right now." Kata romantis seperti itu seringkali terlihat di timeline, entah di Twitter, Facebook, Line, bahkan Tumblr. Patut diakui bahwa jatuh cinta memang menyenangkan. Rasanya pasti ingin meretweet atau merepost segala kata-kata romantis yang mewakili isi hati dan membiarkan gebetanmu melihat lalu berharap ia memecahkan segala kode yang kamu berikan.
***
Mungkin saat ini kamu sudah nggak asing lagi sama yang namanya 'kode'. Kalau saya sih sudah dalam taraf muak. Melihat teman saya yang selalu memposting hal-hal galau di jejaring sosial dengan harapan sang kekasih melihatnya dan meminta maaf atas pertengkaran mereka merupakan hal yang sangat saya tidak suka. Bagaimana tidak, ketika kamu tengah menjalani hubungan yang serius, komunikasi merupakan hal yang penting. Bagaimana bisa kamu tidak mau bicara secara baik-baik dan membiarkan sosial media mengambil alih segalanya?
Advertisement
Sedihnya, fenomena ini seperti didukung oleh banyak pihak. Banyak sekali akun-akun unofficial yang seakan memfasilitasi kegalauan si generasi galau. Lucunya, semakin galau postingan akun tersebut, semakin banyak pula like yang di dapatkan. Ya, rasanya ketenaran memang mudah didapatkan dari rasa sakit hati. Kejam, bukan?
Selain kode yang bertebaran tanpa jelas siapa tujuannya, ada pula yang langsung to the point bahwa menyatakan dirinya merasa disakiti oleh sang kekasih. Biasanya sih lewat postingan di path. Mengupload lagu yang tengah didengarkan (atau sebenarnya tidak) lalu memention sang kekasih dengan tambahan lirik lagu yang menyayat hati. My dear friend, sungguhlah saya (atau kami) tak peduli, bahkan tak ingin tahu permasalahan kalian.
Maafkan, saya bukan seseorang yang suka ketika orang lain 'menjual' rasa sakit atau kesedihan di media sosial. Membiarkan orang lain tahu betapa rapuhnya saya bukanlah hal yang saya inginkan. Apalagi ketika berbondong pertanyaan 'kamu kenapa?' di kolom komentar membludak. Intinya adalah, saya nggak suka memberi tahu orang lain tentang keadaan saya. Ya... itu sih saya. Kalau kamu mungkin berbeda.
Sebagai seseorang yang sudah 5 tahun lebih 'kecemplung' di dunia komunikasi, ilmu sotoy saya mengajarkan bahwa jika menginginkan sesuatu, lebih baik diungkapkan saja. Karena itulah gunanya komunikasi. Mewujudkan konsepsi kebahagiaan. Mencapai hal yang diinginkan oleh hati.
Namun sayang, banyak orang yang tidak bisa membedakan mana ranah pribadi dan publik. Tak ada batasan antara komunikasi antar pribadi dan komunikasi kepada publik. Ketidaktahuan tentang privasi membuat banyak orang menjadi anggota dari generasi galau. Ditambah, banyak publik figur yang memanfaatkan hal tersebut untuk mendulang popularitas.
Advertisement
Jangan Jadikan Kami Generasi Galau
Saya nggak menampik kalau dahulu pernah meretweet tweet dari akun-akun galau ketika merasa sedih. Rasanya menyenangkan ketika ada sebuah atau dua kalimat di dunia maya yang sesuai dengan isi hati. Bisa dibilang seperti punya teman seperjuangan gitu deh untuk menghadapi semua. Cieilee... but seriously, saya akhirnya menyadari kalau hal tersebut malah mengganggu kehidupan di dunia nyata.
Semasa kuliah, teman-teman sering menyangka saya serapuh itu. Apalagi ditambah dengan hobi nulis dengan tema yang nggak jauh-jauh dari urusan hati, kesannya kok hidup saya sangat nelangsa. Akhirnya, dengan mantap saya angkat kaki dari lingkaran generasi galau. Meninggalkan citra gadis yang selalu galau padahal sih aslinya nggak juga.
Satu-satunya yang mencintai kamu adalah aku, yang tidak pernah kamu jadikan nomor satumu.
— Tweet Galau (@BankGALAU) November 20, 2013
Jika melihat balik ke sekitar tahun 2010 hingga 2011, ketika orang-orang sedang giatnya main twitter sehingga melahirkan selebtweet, saya kira itu adalah awal dari lahirnya generasi galau. Seperti yang saya bilang tadi, jika menuliskan tentang urusan hati pasti akan banyak sekali respon yang diterima. Entah cuma meretweet, me-reply dengan komentar curhat, dan selebihnya men-cc-kan ke orang yang bikin sakit hati.
Sialnya, semakin lama fenomena ini dibiarkan, dimanjakan, orang-orang menjadi semakin terbiasa mengumbar ranah pribadi ke publik. Bebas berekspresi memang, namun sebuah aksi tidak akan bisa lepas dari konsekuensi. Ketika sudah 'go public' kamu juga harus siap mendapatkan label dari orang-orang. Ya, citra diri saat ini juga bisa dibentuk dari apa yang kamu unggah di media sosial. Jadi, hati-hati.
Aku paling gak bisa nahan nangis kalau kamu udah beda sedikit aja :(
— Galauan™ (@TwitGalauan) September 2, 2014
Sayangnya banyak yang belum mengerti konsep ini. Saat kamu sudah mencitrakan diri sebagai generasi galau, lalu ada orang yang mengkritik tentang postinganmu, kalimat 'ini kan akun gue, ya jadi terserah gue. Kalau nggak suka ya tinggal unfollow. Susah banget.' seakan jadi andalan. Dan lagi, ketika mereka benar-benar memutus tali pertemanan di media sosial, kamu malah seakan tidak terima dan ogah koreksi diri.
Ya, sebenarnya hal tersebut tidak apa. Nggak berteman di media sosial bukan berarti juga putus hubungan di dunia nyata. Namun sayangnya saat ini hal tersebut bukan ukuran yang absah. Jika sudah bertengkar di media sosial, kode permusuhan dan sindiran akan datang bertubi-tubi. Ketika orang yang disindir merasa dan menanyakan secara langsung, eh malah dibilang bukan untuk dia. Pernah merasakan yang demikian? Saya sih sering.
Bagi saya, generasi galau berbanding lurus dengan generasi pengecut. Ketidakmampuan mengekspresikan diri di dunia nyata. Ketidakpercayaan terhadap diri sendiri untuk mengungkapkan apa yang dirasa. Tapi sudahlah.. saya bersyukur bisa jadi seseorang yang berhasil minggat dari lingkaran tersebut. Karena saya menyadari bahwa kunci dari hubungan yang baik adalah komunikasi.
Floria Zulvi,
Editor kanal Style Bintang.com