Fimela.com, Jakarta Masih jelas terekam dalam ingatan dangkal saya. Akhir Juli, tepatnya Rabu (27/7) siang, di tengah deadline tulisan, seorang teman kantor heboh mengumumkan jika salah satu musisi idola saya sejak SMA akan mengadakan konser di Jakarta untuk ke-dua kalinya. Menurutnya, informasi tersebut diperoleh dari para netizen yang maha benar di media sosial.
BACA JUGA
Advertisement
Adalah Stephen Patrick Morrissey atau akrab disapa Morrissey, solois flamboyan 57 tahun yang berhasil membuat jantung saya berdegup kencang tak beraturan. Ya, setelah 10 Mei 2012 lalu saya memilih absen untuk menyaksikan penampilan perdananya karena beberapa alasan krusial, siang itu, saya kembali menerima kabar bahagia tentang dirinya.
Awalnya, saya pikir kabar konser ke-dua musisi yang telah menelurkan 11 album studio sejak 1988 tersebut adalah hoax alias palsu seperti kabar konser musisi luar yang sudah-sudah. Namun, setelah saya cek ke website True to You, oh God! That's true! "Oke, saya akan menontonnya!" janji saya dalam hati.
Singkat cerita, tepat seminggu kemudian, Rabu (3/8) saya berhasil mendapatkan selembar tiket pre-sale - yang tentunya lebih murah - hasil buruan seorang teman seperidolaan. Tak ingin lagi gagal menjadi saksi sejarah di hari tua idola saya, saya rela mengeluarkan sejumlah uang melayang ke kantong promotor.
Namun, jauh dalam lubuk hati dan pikiran saya yang paling dalam, saya justru bertanya-tanya, mengenai bagaimana bisa pria mantan pentolan The Smiths itu kembali menjalani serangkaian tour setelah dirinya dikabarkan sakit-sakitan pada 2013 lalu sehingga ia harus membatalkan konser seperti yang media laporkan, belum lagi penyakit kanker yang ia derita. Mungkin hal tersebut yang membuat euforia konser ke-duanya tak seramai yang perdana.
Kehidupan pribadinya yang agak nyeleneh dan nggak seperti musisi-musisi pada umumnya –notabene liar dan sarat akan keglamouran– terkadang membuat saya menebak-nebak apa yang ada di pikiran pria berdarah Irlandia itu. Dan kemudian saya pun saya mencoba untuk berkhayal liar jika saya menjadi pencipta lagu-lagu puitis yang kerap mengkritik pemerintah Inggris ini. Seperti yang terangkum dalam beberapa poin mainstream berikut.
Saya nggak akan jadi vegan. Bagi kaum urban yang hidup di zaman iPhone terus berkembang, kamu pasti sudah nggak asing lagi dengan gaya hidup vegatarian atau vegan. Di mana penganutnya hanya makan-makanan yang terbuat dari sayuran dan nggak makan makanan yang mengandung unsur hewani. Bukan soal hemat atau gaya-gayaan, tapi beberapa penelitian mengatakan jika vegan baik untuk kesehatan.
Nah, ngomong-ngomong soal vegan, pria yang akrab disapa Mozz ini adalah salah satu orang yang hidup dalam gaya hidup ini. Beberapa media luar menyebutkan jika Opa Mozz telah menjadi vegan sejak usia belia, yaitu sekitar 11-12 tahun. Menurut perhitungan kalkulator di ponsel saya yang nggak pintar-pintar banget ini, jika usianya saat ini adalah 57 tahun, maka ia telah menjadi vegan selama 46 tahun terakhir. Are you kidding me, Sir?
Mungkin, di samping alasan kesehatan, sebagai pecinta hewan kelas berat, Morrissey nggak cuma komitmen di mulut, tetapi juga dalam seluruh hidupnya. Ia sangat total untuk melindungi hewan-hewan dari siksaan termasuk dijadikan santapan. Pria ini ingin ada hak yang sama antara manusia dan hewan, makanya doi jadi vegan.
Andaikan saya jadi seorang Morrissey, saya jamin hal ini nggak akan terjadi. Sebab, untuk menampik kelezatan daging bebek bumbu khas Madura rasanya lebih berat dari melepaskan mantan yang mutusin kita pas lagi sayang-sayangnya. Damn! Apalagi Nasi Bebek Mas Holil yang ada di kawasan Kemang. Beuh! Setelah makan nasi bebek tersebut untuk pertama kali, saya akan mendaulat diri saya sendiri sebagai ketua pecinta Nasi Bebek Mas Holil regional Manchester. Sahih!
Saya tidak akan bertengkar dengan Johnny Marr. Petengkaran Morrissey dan Johnny Marr merupakan salah satu perseteruan paling disorot dalam sejarah permusikan. Beberapa sumber menyebutkan pertengkaran mereka lah yang menyebabkan band yang digawangi keduanya, The Smiths, bubar pada 1987. Penyebabnya sepele, Johnny Marr menolak untuk meng-cover lagu favorit Morrissey dari era 50-an. Hingga sejak itu mereka berdua memilih untuk tidak bertegur sapa.
Advertisement
Jika saya jadi Morrissey, saya tidak akan konser lagi.
Untuk ke-dua kali, izinkan saya berandai; jika saya adalah seorang Morrissey, saya tidak selama itu – sekitar akhir 80-an hingga 2014 – untuk tidak bertegur sapa dengannya. Mengutip sebuah hadis yang saya baca, "tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak menyapa saudaranya lebih dari 3 hari." Morrissey tentu bukan seorang Muslin dan saya bukan sosok pemeluk agama yang taat. Tetapi, menurut saya, memutuskan untuk membubarkan The Smiths yang baru eksis lima tahun dengan kepopuleran karya yang menginspirasi banyak orang adalah sebuah kedunguan.
Mengingat banyak band di dunia yang berjalan pincang karena perseteruan internal, akan tetapi mereka bisa berjalan dalam waktu lama meski pada akhirnya bubar juga. Sebut saja The Beatles, Guns N' Roses, Oasis dan Ramones. Sebagai fans yang tidak fanatik-fanatik banget, saya juga kurang paham apa masalah yang lebih luas daripada itu. Namun, jika The Smiths masih ada saya yakin gaungnya akan sangat mempengaruhi lebih banyak lagi kepala. Pundi-pundi uang world tour pun pasti akan saya kantongi, ya walaupun sebagai solois saya juga punya banyak panggung.
Dikutip dari The Sun, meski Johnny Marr dikabarkan telah bertemu dan bercengkerama dengan Morrissey beberapa tahun lalu, bukan berarti itu adalah sebuah pertanda baik jika setelahnya The Smiths akan reuni dalam waktu dekat.
"Saya bertemu dengan Morrissey beberapa tahun lalu dan kami bercengkerama pada suatu petang."
Saya tidak akan melakukan tour lagi. Di usia yang menginjak usia lebih dari setengah abad, sah-sah saja rasanya seseorang untuk mengurangi aktivitas tanpa harus menghilangkan lalu berdiam diri di rumah. Apalagi ditambah dengan penyakit yang datang silih berganti, seperti yang dialami pelantun tembang melankolis, Let Me Kiss You, ini.
Meski berkarya itu baik bagi pengaruhnya pada kesehatan jiwa, namun jika kondisi raga tak mendukung, ada baiknya untuk tidak memaksakan kehendak. Jika pada ujung-ujungnya harus dibatalkan karena alasan kesehatan yang memburuk lalu membuat ribuan orang kecewa tak bisa menyaksikan penampilan yang dinanti-nanti. Seandainya saya Morrissey, saya akan saya mencari kegiatan selain tour Asia dan Australia di usia senja.
Memasyarakatkan tahu bulat atau mendirikan franchise Alfamart di Manchester mungkin bisa menjadi alternatif kegiatan lain ketimbang harus mengorbankan kesehatan fisik saya. Sambil menerima uang laba dari usaha-usaha yang saya lakukan, saya akan berkeliling dunia. Tentu bukan untuk memsyarakatkan kedua usaha saya. Tapi liburan menghabiskan sisa waktu yang ada.
Selera Morrissey untuk menjadikan keindahan serta keromantisan Roma dan Istanbul sebagai kota favorit boleh diacungi jempol, tapi kalau saya jadi Morrissey, sih, saya tetap pilih Jogja hehehe. Sambil keliling dunia, tanpa harus meninggalkan dunia musik sepenuhnya, saya akan tetap bermusik, mungkin di hajatan pernikahan.
Saya akan menikah. Bagi beberapa orang, menikah adalah life goal. Di mana sisa waktu hidup akan dihabiskan dengan satu orang cerminan diri yang paling dicinta. Tak pernah terlihat dan dikabarkan dekat atau memiliki hubungan dengan seorang betina, membuat orang-orang mempertanyakan orientasi seksualnya dan membuat musisi berpengaruh versi NME ini kerap di sebagai homoseksual.
Namun, pada salah satu kesempatan wawancara dengan Rolling Stone di Oktober 2013, ia mengeluarkan statement jika dirinya bukanlah homoseksual yang selama ini diisukan oleh khalayak ramai.
"Unfortunetly, I’m not homosexual. I’m humansexual."
Saya tak pernah tahu apa yang ada dipikiran pria yang waktu dilahirkan pernah hampir dibunuh oleh ibunya sendiri ini. Yang jelas, banyak wanita tergila-gila padanya. Kamu bisa lihat sendiri bagaimana tampangnya saat masih muda dulu. Jika saya berada di posisinya, mungkin dengan kepopuleran, ketampanan, kepuitisan, kenyamanan, kesempurnaan cinta yang dimiliki, saya bisa memilih wanita mana saja yang saya mau – dan tentunya mau dengan saya juga – untuk menjadi entah teman hidup atau hanya teman tidur saja.
Kemudian punya keturunan lebih dari satu yang mewarisi darah seni. Melihat mereka tumbuh dengan ketenaran serupa. Hidup bahagia bersama keluarga, menghabiskan sisa usia dengan keliling dunia, dan kemudian jika mati masuk surga. Sungguh angan-angan yang sangat dangkal. Hahaha.
***
Well, tanpa mengurangi respect saya pada The Smiths dan Morrissey, saya sadar, dari segi kepribadian, pastinya saya memiliki perspektif yang berbeda dengan Morrissey asli yang notabene laki-laki. Ditambah lagi usia kami terpaut jauh. Belum lagi perbedaan zodiak yang kami imani. Ah, peduli demit. Toh setiap orang punya pikiran liar, bukan?
Ngomong-ngomong soal hak pun, hak Morrissey untuk menjadi vegan, hak beliau untuk memilih memusuhi Johnny Marr, tidak menikah, dan untuk terus berkarya di usia senja. Tapi, hak saya juga, bukan sebagai fans ‘kemarin sore’ untuk berkhayal?
Febriyani Frisca
Editor Kanal Unique
Sampai berjumpa 12 Oktober mendatang!