Fimela.com, Jakarta Memang tak selama The Thief and the Cobbler yang melahap 28 tahun masa produksi, pun tak menghabiskan dua dekade seperti Tiefland. Namun bukan berarti, Boyhood tak bisa disandingkan. Dengan usungan ide menarik, film keluaran tahun 2014 ini siap menambat hati dengan penyusun-penyusun paling sederhana.
Bagi saya pribadi, film tak sekedar rekam gambar berupa kombinasi sejumlah scene yang akhirnya berpadu dalam plot sedemikian rupa. Buah karya para sineas brilian ini merupakan catatan sejarah, juga perekam latar maupun fenomena yang mungkin akan ambyar atau lenyap sama sekali, entah karena faktor apa, dalam kurun waktu tertentu.
Advertisement
BACA JUGA
Karena sarat akan ideologi sang creator, setiap film hampir dipastikan punya sisi unik nan menarik untuk disibak. Sebagai penikmat, mungkin saya, kamu, dan sekian banyak orang semata tertarik pada pengemasan akhir dari visualisasi berlembar-lembar naskah tersebut.
Meski nyatanya, gambar bergerak yang rata-rata berdurasi di bawah tiga jam itu adalah keringat, argumentasi, pelepasan ego, dan konsistensi. Ya, continuity tak hanya diperlukan dalam sambungan scane saja, melainkan proses keseluruhan, mulai dari pra, produksi, hingga pasca.
Boyhood boleh saja tak mengemban spesial efek secanggih The Lord of The Rings, tak juga berisikan variasi shot mengagumkan layaknya Butterfly Effect. Namun film yang diarsiteki Richard Linklater ini menuntut konsistensi setidaknya selama 12 tahun.
Karena hendak memperlihatkan proses growing up secara alami, sang sutradara akan mengumpulkan para pemain satu minggu setiap tahun hingga akhirnya Boyhood rampung di usia ke-18 sang tokoh utama, Mason. Namun, bukan hanya soal lama produksi yang menambat hati saya dan sempat membuat gusar karena pemenang Oscar dua tahun silam malah Birdman.
Semua elemen penyusun Boyhood menurut saya sangat pas. Ia tak perlu membuat tegang untuk selalu saya perhatian, serta tak repot menambahkan latar musik aneh-aneh agar saya fokus. Bahkan, saya sempat berpikir ini merupakan film drama dengan 'bumbu' dokumenter. Setelahnya, pertanyaan yang timbul adalah sepadankah waktu 12 tahun dihabiskan untuk memproduksi Boyhood?
Advertisement
Bernostalgia Lewat Boyhood
Pada beberapa kasus, kualitas kerap berbanding lurus dengan kuantitas. Sekarang mari kita pertimbangkan, masihkah akting para pemain akan senatural itu jika Mason kecil dan besar tak dilakoni oleh hanya Ellar Coltrane? Mungkinkah pembangkitan kenangannya akan sedalam yang dilakukan sekarang?
Tak seperti banyak film, Boyhood mengemas hype dalam setiap umur Mason hampir sama persis dengan realitas. Seperti saya, kamu mungkin juga akan berkaca dari setiap potongan alur yang ditampilkan. Mulai dari euforia menunggu rilisnya buku Harry Potter, hingga perbincangan ringan tentang kelanjutan film Star Wars, semua dikemas dalam dialog santai.
Selama kurang lebih dua jam empat puluh lima menit menonton Boyhood, saya seperti diajak bernostalgia oleh Mason. Lewat sejumlah peristiwa seperti 9/11 dan pecahnya perang di Irak, serta tentu saja lewat lantunan sederet lagu yang kala itu terbilang baru dan beberapa tembang everlasting.
Dari Yellow milik Coldpay, Pink Floyd dengan Wish You were Here, hingga Hate It Here yang disenandungkan Wilco, semua berpadu menambah nuansa hangat dalam kepingan alur Boyhood. Seakan menyempurnakan atmosfer alami yang memang sengaja dibangun sang sutradara.
Di samping itu, Boyhood pun bisa memperlihatkan perspektif akan perjalanan hidup dari mata seorang anak sejak berusia 6 tahun. Tentang bagaimana suka dan nelangsa datang-pergi dalam waktu tak terduga, pun soal how to deal dengan berbagai situasi yang berada tepat di depan mata.
Meski juga bernuansa Beatles sebagaimana I am Sam, namun bingkai kemasan Boyhood terbilang berbeda dan belum ditemukan di sejumlah film yang telah saya 'lahap'. Rekam gambar yang menampilkan bintang film Before Sunrise, Before Sunset, dan Before Midnight Ethan Hawke ini bisa dikatakan jujur dan begitu merefleksikan kenyataan secara umum.
Jika saya boleh mengklasifikasikan, Boyhood masuk dalam kategori film-yang-bisa-ditonton-berulang-kali. Dengan kutipan santai namun bermakna, Boyhood pun termasuk dalam film 'quote-able'. Jadi saya akhirnya akan kembali pada pertanyaan awal, menurutmu apakah 12 tahun jadi waktu sepadan untuk memproduksi Boyhood?
Â
Asnida Riani,
Editor Kanal Style Bintang.com