Fimela.com, Jakarta Setiap kali mengingat Beatles, angan saya hampir pasti akan melambung ke masa 20 tahun silam. Tentu saja samar, namun sayup rendah suara lelaki yang saya panggil papa melantunkan I Will masih bisa diputar kembali di benak, bahkan hingga kini. Ya, saya merupakan satu dari sekian ratus ribu (atau juta) anak yang telah familiar dengan Beatles sejak kecil.
'Sentuhan ajaib' band yang mulai aktif berkarya pada 1962 tersebut memang tak perlu diperdebatkan lagi. Jika pun iya, maka klasifikasi kontennya siap bersaing dengan 'labirin' jalan-jalan sempit nun jauh di Dubrovnik sana.
Soal pengaruh, Beatles bisa diibaratkan Jalaluddin Rumi di 'dunia' sufi. Mulai dari australopithecus yang jadi temuan tertua di Bumi, hingga nama pemeran anak di film I am Sam, semua diilhami hanya dari satu lagu Beatles, yakni Lucy in the Sky with Diamonds.
Advertisement
Baca Juga
Namun demikian, tak berlebihan rasanya jika saya katakan Beatles punya power lebih dari sekedar influence. Band pengusung aliran rock and roll itu telah berperan sebagai guru hidup bagi sebagian orang. Bagaimana tidak, hampir seluruh guliran plot semesta bisa dipersepsikan lewat tembang-tembang Beatles.
Let It Be yang nyaris tak pernah gagal menyulut keikhlasan, tetap rendah hati dengan The Inner Light, serta 'tuntunan' lain yang jika dijabarkan akan menghabiskan banyak karakter di tulisan ini. Singkat cerita, lirik lagu Beatles bisa jadi nasihat manjur akan berbagai situasi.
Berada di balik nama besar, bukan berarti semua elemen penyusun Beatles dikenal baik oleh publik. Seperti 'hukum' tak semua lagu band asal Liverpool, Britania Raya itu akrab di telinga, personel Beatles pun menyedot perhatian dalam kadar berbeda.
Dalam survei sederhana, saya bisa menarik kesimpulan bahwa 'lampu sorot' jauh lebih berpendar pada sosok John Lennon. Di samping 'bingkaian' kematian tragis, teman masa remaja Paul McCartney ini berhasil jadi sosok di balik setumpuk lagu populer yang diperkenalkan Beatles.
Betapa publik tergugah lewat All You Need is Love, juga ditinggalkan dalam 'puzzle' Come Together, Lennon kerap 'didewakan' sebagai salah satu musisi paling brilian yang pernah ada. Namun, bolehkah hanya mengidentikkan dulangan kesuksesan Beatles lewat figur tunggal Lennon?
Advertisement
George Harrison dan 'nada-nada keliru'
Tanpa mengurangi kekaguman saya pada Paul McCartney dan Ringo Starr, namun sosok lain yang hendak dijadikan sudut pandang lain Beatles selain John Lennon kali ini adalah George Harrison. Lakoni peran sebagai lead guitarist tak lantas membuat ayah dari Dhani Harrison ini dikenal secara 'membabi-buta' oleh khalayak.
Entah sudah berapa banyak 'adegan memperlihatkan wajah dulu' yang harus saya lakukan ketika mengerucutkan topik perbincangan ke sosok George. "Oh ini namanya George Harrison. Tahu kalau ini mah," kurang lebih jadi ungkapan yang mengikuti setelahnya.
Ia memang bukan orang di belakang sejumlah ballad cinta Beatles, mungkin juga tak bisa romantis dengan cara yang dilakukan Lennon. Namun Something merupakan opsi lain untuk jatuh hati tanpa kata-kata cheesy, juga 'bertemu' Beatles dalam paras berbeda.
Saya ingat pernah tersedak kala Within You Without You terdengar dari turntable tua dan papa mengumumkan kalau ini adalah lagu Beatles. "Apa-apaan?" pikir saya kala itu. Sungguh sangat 'menyalahi aturan' dan terdengar salah bagi saya yang mengenal Beatles lewat Please Mister Postman atau Hold Me Tight.
Atmosfer kental Hindustan terdengar, memenuhi udara, dan mengendap di pikiran sempit saya yang pada waktu itu masih mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Menengah Pertama. Terselimuti buncahan rasa penasaran, saya mencari siapa yang bertanggung jawab akan 'nada-nada keliru' tersebut.
Penelusuran saya bermuara takjub. Perbendaharaan kata saya sempat lenyap beberapa menit saat melihat video lelaki kelahiran 25 Februari 1943 itu bermain sitar. Bukan karena teknik luar biasa, melainkan raut wajah tulus yang 'dipakai' kala jemarinya menari di dawai alat musik khas India tersebut.
Sejauh yang saya tahu, negara yang tertulis dalam kitab perjalanan Marco Polo tersebut memang menambat hati George Harrison sejadi-jadinya. Kecintaan itulah yang menambah 'goresan' warna di sejumlah lagu Beatles. Membuat saya dan pendengar lain jadi saksi hidup percampuran instrumen modern dan autentik.
Meski Julia masih jadi 'national anthem' dan senandung yang membuat saya berujar 'cuma Beatles yang bisa begini', namun keberadaan aksara yang lahir dari buah pemikiran George Harrison tetap punya ruang tersendiri.
"When you've seen beyond yourself, then you may find, peace of mind is waiting there," sekiranya jadi ungkapan George Harrison yang 'menampar' saya untuk mengganti sudut pandang akan sebuah perihal, termasuk dalam melihat Beatles tak hanya dari satu sosok.
Asnida Riani
Editor Kanal Style Bintang.com