Fimela.com, Jakarta Jika kamu bertandang ke Jakarta, hal pertama yang akan terlihat ialah lebatnya hutan beton yang mencakar langit. Segala kesibukan warganya kala menunggang kuda besi di setiap ruas jalan dan juga ringikan yang menghiasi rambu jalan saat berebut giliran untuk sampai ke tempat tujuan. Dari mulai teknologi hingga makanan, modernitas sudah mulai hinggap di hampir setiap sudut kota. Namun, apakah hal tersebut yang selama ini kita cari dan membuat nyaman?
***
Bisa dibilang Jakarta (dahulu) adalah rumah bagi suku betawi. Hal tersebut dibuktikan oleh acara adat yang masih diselenggarakan pemerintah DKI Jakarta saat kota ini merayakan hari lahir setiap tahunnya. Dari mulai baju adat hingga makanan lokal seakan menghiasi acara yang hanya diselenggarakan satu tahun sekali tersebut.
Advertisement
Meriahnya ulang tahun Jakarta mengingatkan saya pada masa kecil. Bagaimana tidak? Dengan mudahnya asinan betawi, bir pletok hingga geplak mudah sekali dicari dan disantap pada masa itu. Namun sekarang, hanya sekian orang saja yang mungkin mengingat keeksistensian kuliner yang bernama 'geplak'.
Mungkin tak hanya di Jakarta,moderintas seakan merenggut rumah kuliner lokal. Namun di sini, perbedaannya sangat terasa. Ketika kamu mampir ke SelatanJakarta atau tepatnya daerah Blok M, ruas-ruas jalan di sana sudah dipenuhi dengan berbagai macam hidangan Jepang dan juga Korea. Sebenarnya hal itu tak bisa dibilang buruk juga mengingat banyak warga Indonesia yang menggemari kedua kuliner tersebut.
Baca Juga
Sebagian kuliner betawi masih terjaga keberadaannya di Kampung Betawi, Setu Babakan. Di sana kamu bisa menemukan ragam makanan lokal seperti kerak telor dan juga bir pletok di sepanjang danau. Meski demikian, bir pletok yang dijual sudah tak lagi asli (atau jarang sekali yang asli). Kemudahan teknologi bisa membuat minuman penghangat tersebut berubah menjadi produk kemasan.
Saya sendiri merupakan seorang pecinta hidangan yang autentik. Melihat hilangnya hidangan tradisional atau berubahnya ia menjadi kuliner kemasan rasanya menghilangkan 'jati diri' makanan atau minuman tersebut. Hilang keaslian dan rasanya yang membuat candu dan rindu.
Meski demikian, banyak sekali kuliner yang mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Tak bisa ditampik, perkembangannya membuat tersebut masih digemari dan miliki tempat di hati masyarakat hingga kini. Antara keorisinalitasan dan melaju mengikuti zaman memang pilihan yang sulit untuk ditentukan.
Advertisement
Antara Berevolusi atau Terlupakan
Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama kue cubit. Hidangan sederhana tersebut sangat digemari pada era 90-an. Bersekolah di Jakarta membuat saya sangat akrab dengan si mungil satu itu. "Beli 500 rupiah ya, bang. Setengah matang!", pesanan itu saya sering minta pada penjual kue yang biasa mangkal di depan sekolah saat masih Sekolah Dasar (SD). Camilan sederhana dengan rasa 'surga'.
Di tengah tahun 2000-an, hidangan ini sempat tenggelam dan lama tak terlihat. Mungkin masih ada di SD lain, namun tak seramai dahulu. Ketika melihat euphoria anak-anak kala menyantapnya, mereka seperti lebih menyukai makanan yang lebih modern. Es krim yang dijual di toko swalayan, misalnya.
Kini kue cubit sudah berevolusi dan meninggalkan identitas sederhananya. Bisa dilihat, miliki warna seperti pelangi dengan topping mewah seperti green tea atau marshmallow, camilan tersebut kerap terlihat 'nangkring' di daftar menu restoran mewah. Tak hanya itu, warung tenda pinggir jalan pun seakan tak mau ketinggalan dan menyajikan hidangan yang serupa. Evolusi kue cubit, katanya.
Bukan hanya si mungil, martabak pun kini mengikuti indahnya modernitas. Dahulu, martabak ketan hitam, telur, cokelat dan kacang menjadi menu andalan nan sederhana yang sudah sanggup menambat hati masyarakat di setiap gigitannya. Entah karena perkembangan zaman atau masyarakat yang sudah bosan, hidangan tersebut pun kini miliki rasa yang digabungkan dengan produk-produk cokelat ternama.
Pilihan untuk mengikuti perkembangan zaman atau tersingkirkan memang berat. Masyarakat yang miliki selera tak tetap dan juga berkembang membuat banyak hidangan yang harus menyesuaikan diri. Sayang, banyak kuliner lokal yang tak dikembangkan dan berakhir dengan terlupakan, atau malah dilupakan.
Hingga saat ini, terlihat banyak sekali area yang dijadikan restoran. Dari mulai blok M, Pantai Indah Kapuk hingga Cengkareng, kini sudah disulap menjadi 'surga' bagi para pecinta kuliner lokal maupun internasional. Bisa memenuhi hasrat para pemburu makanan yang penasaran dengan hidangan internasional, memang. Namun, bagaimana nasib kuliner tradisional kini?
Floria Zulvi,
Editor Kanal Feed Bintang.com