Fimela.com, Jakarta Syahdan-wejangan Kitab Smaragama,
perihal seni bercinta dan kiat rahasia,
agar istri lebih dicintai suaminya,
Advertisement
memang tampak sepele dan sederhana,
terlalu biasa dan tidak ada yang istimewa,
sehingga Sangaji dan Salindri merasa,
dapat dengan mudah melakukannya,
tanpa harus belajar secara seksama.
dan di dalam benak mereka berdua,
sama sekali tak terpikir bahwasanya,
yang disampaikan Kitab Smaragama,
sesungguhnya baru sebagian kecil saja,
dan masih banyak lagi rahasia lainnya,
yang baru akan dibukakan pada mereka,
kelak jika waktunya sudah tiba,
maka sebelum mereka besar kepala,
Kitab Smaraga segera berkata:
"Ketahuilah oleh kalian berdua,
bahwa kualitas peradaban manusia,
sesungguhnya hanya lahir dan tercipta,
dari akal pikiran yang selalu waspada,
yang senantiasa terasah ketajamannya,
sehingga dengan jernih dan seksama,
melihat apa yang tak terlihat oleh mata,
mendengar apa yang tak terdengar telinga,
bahkan mampu mencium bau udara,
yang telah berlalu-lalang sekian lama,
di lobang hidung dan di rongga dada.
Baca Juga
Dan ketahuilah pula bahwasanya,
segala sesuatu yang dikandung kata-kata,
berupa nasihat, petunjuk, atau cita-cita,
senantiasa masih harus diberi makna,
yang menetes dari kesungguhan kerja,
agar mewujud, supaya menjadi ada,
menjadi sesuatu yang benar-benar nyata.
Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya,
di dalam kemilau pesona rangkaian kata,
selain terl
juga tersembunyi dusta dan tipu daya,
dan barangsiapa gagal memahaminya,
maka dusta akan bergegas menyambutnya,
dengan ciuman tipu daya yang membara,
sambil mencengkeramkan lupa,
ke dalam ingatan dan melumpuhkannya."
Demi mendengar kata-kata itu,
Sangaji dan Salindri merasa sangat malu,
lantaran telah gegabah dan bersikap sok tahu.
Namun Kitab Smaragama yang sakti,
segera mengampuni Sangaji dan Salindri,
lantaran tindakan mereka yang terpuji,
yakni dengan rendah hati menyadari,
dan dengan jujur mau mengakui,
kesalahannya sendiri.
Kitab Smaragama yang terkesan,
dan sangat menghargai kejujuran,
tak hanya berkenan memberi ampunan,
tapi juga menghadiahkan wejangan,
bukan dalam bentuk rangkaian kata,
melainkan berupa sebuah kisah nyata,
yang dipetik dari langit fantasi,
dan dengan kuasa mantra sakti,
dijelmakan serupa sinetron di televisi,
hanya saja ceritanya merupakan refleksi,
dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari,
dan bukan fiksi yang lebih indah dari mimpi,
atau jiplakan dari film luar negeri,
seperti yang sejak dulu sampai kini,
banyak dibikin 'insan film' dalam negeri,
tapi anehnya diakui sebagai karya sendiri,
dan berkat keajaiban mantra sakti,
tontonan wejangan dari langit fantasi ini,
juga bisa diubah-ubah sesuka hati,
bahkan seandainya Sangaji dan Salindri,
ingin terlibat atau ingin ikut membintangi,
bahkan jika mereka ingin jadi sutradaranya,
maka telah disediakan ruang dan cerita,
yang bisa diisi dan boleh diberi makna,
sesuai yang diharapkan mereka berdua,
tapi setidaknya untuk sementara,
mereka memilih jadi pemirsa saja.
Alkisah di sebuah negeri yang jujur,
di mana seluruh rakyatnya hidup makmur, .
karena pemimpinnya berbudi luhur,
di mana buah-buahan dan sayur-mayur,
juga semua benih tanaman yang ditabur,
akan senantiasa tumbuh sehat dan subur,
karena tanahnya diolah beserta rasa syukur,
dan sawah ladangnya tidak pernah digusur,
hiduplah sepasang suami istri yang mujur,
yang sejak menikah selalu hidup akur.
Hatta sampailah pada suatu ketika,
manakala matahari senja memerah tembaga,
sang suami yang bemama Suksmakelana,
dan sang istri yang bernama Mayakemala,
berduaan di halaman belakang rumahnya,
yang ditanami berbagai macam bunga,
dan sambil memeluk istri tercintanya, Suksmakelana berbisik mesra:
"Mayakemala, istriku tercinta,
hari ini aku kembali ingin mengatakannya,
bahwa hidupku menjadi indah dan bahagia,
karena cinta kasihmu yang selalu membara,
telah menyelamatkanku dari rasa putus asa,
karena dari kesucian rahimmu yang mulia,
telah melahirkan anak-anak kita,
sehingga riwayat hidup kita berdua,
dapat terjaga kelangsungannya.
Mayakemala menatap suaminya,
dan sorot matanya yang teduh penuh cinta,
dan ketulusan yang memancar dari kalbunya,
seakan mengusap dinding hati Suksmakelana.
Akan halnya Sangaji dan Salindri,
yang seakan sedang berada dalam mimpi,
dengan seksama terus mencem'1ati.
Dan Sukmakelana kembali berkata:
"Mayakemala, istriku tercinta,
setelah sekian lama kita hidup bersama,
dan kau manjakan hidupku dengan cinta,
setelah hidup ini kau buat demikian berharga,
dan kau terangi jiwaku dengan cahaya cinta,
aku menjadi takut terbiasa selalu bahagia,
dan apabila suatu ketika meninggal dunia,
tentu aku akan demikian tidak berdaya,
untuk menanggungkan duka cita."
Mayakemala memandangi suaminya,
dengan senyum mengembang di bibirnya,
dengan wajah yang ramah dan memuja,
dan dengan suara lembut berkata:
"Suksmakelana, suamiku tercinta,
seandainya datangnya kematian bisa ditunda,
kita tentu bisa hidup berdua sepanjang masa,
dan seandainya waktu tak membuat kita jadi tua,
kita tentu akan lebih kenyang bercinta.
Tapi apabila kematian bisa ditunda,
apakah hidup kita menjadi lebih berharga,
apakah perkawinan kita juga akan lebih bahagia?
Dan apabila kita tak pemah menjadi tua,
apakah kita menjadi lebih bijaksana?"
Dalam keheningan yang mencekam,
Sangaji dan Salindri termangu diam,
menatap Suksmakelana yang bungkam.