Fimela.com, Jakarta Tatkala wejangan yang sudah lama terekam,
dan tersimpan di lubuk hati yang paling dalam,
kembali menggema dari relung masa silam,
Advertisement
dan menggetarkan sunyi malam,
Salindri dan Sangaji pun termangu diam.
Akan halnya Kitab Smaragama,
yang berkat kesaktian dan kegaibannya,
menjelma menjadi seorang resi pertapa,
kembali menyampaikan wejangannya:
“Pun di dalam kesibukan yang melelahkan,
mesti ada sedikit waktu yang kalian sisihkan,
untuk menilai apa yang sudah kalian lakukan,
dan merenungkan hakekat kehidupan,
sampai kalian dapatkan pemahaman,
bahwa perkawinan bukanlah sekadar ikatan,
untuk mempersatukan kedua pasangan,
dengan tanggungjawab dan kewajiban,
melainkan juga perjalanan ke masa depan,
berbekal kesediaan membahu beban,
kerelaan menerima kekurangan,
keikhlasan memaafkan kesalahan,
di antara masing-masing pasangan,
dan bila ketiga hal itu tak ada pada diri kalian,
dengan apa kalian akan menebus kebahagiaan?
Perkawinan juga bukan hanya berisi,
hal-hal yang indah dan menyenangkan hati,
janji-janji yang senantiasa ditepati,
melainkan juga serupa mawar berduri,
yang tidak hanya menebarkan aroma wangi,
namun juga bisa dan mampu melukai.
Hendaknya pula kalian berdua tahu,
bahwa perkawinan yang ribut melulu,
lantaran kedua pasangan atau salah satu,
mudah gelap mata dibutakan cemburu,
sesungguhnya perkawinan tak bermutu,
karena rumahtangga semacam itu,
serupa gelanggang peljudian yang seru
dan suami istri ibarat sepasang dadu,
di dalam tempurung atau mangkuk batu,
saling berbenturan sepanjang waktu,
lantaran tak henti dikocok dan diadu,
oleh para petaruh budak hawa nafsu.
Baca Juga
Hendaknya kalian upayakan,
untuk menjaga keutuhan perkawinan,
dengan kerelaan untuk berkorban,
dan hendaknya juga kalian camkan,
bahwa tanpa adanya kehangatan,
yang memancar dari api percintaan,
akan membuat keutuhan perkawinan,
terasa hambar dan membosankan,
sebelum akhimya hancur berantakan,
atau terkubur kepura-puraan,
maka kendatipun dibelit kesibukan,
hendaknya jangan kalian lupakan,
perihal upaya untuk meningkatkan,
teknik dan seni bercinta sebagai pedoman,
saat menjelajahi puncak-puncak kenikmatan,
sehingga yang dipancarkan api percintaan,
bukan hanya sekadar kehangatan,
melainkan juga kepuasan,
yang membahagiakan.
Catatah di dalam hati dan pikiranmu,
tentang pentingnya memelihara rasa rindu,
walaupun setiap hari kalian selalu bertemu,
dan betapapun kesibukan kerja membelenggu,
tetaplah berusaha menyediakan waktu,
untuk mencumbu rayu istri atau suamimu,
agar gelora cinta kalian tetap menderu menggebu, supaya perkawinan hangat selalu,
bagaikan pengantin baru."
Hatta terbangunlah Sangaji dan Salindri,
dari tidur lelap ditimang buaian pesona misteri,
sebuah mimpi yang diciptakan Sang Resi,
jelmaan Kitab Smaragama yang gaib dan sakti,
namun kendati mereka telah sadar diri,
wejangan selanjutnya tak lantas berhenti:
"Hendaknya kalian tak mudah mengatakan,
bahwa jodoh dan nasib perkawinan kalian
sepenuhnya menjadi tanggungjawab Tuhan,
dan sekali-kali janganlah kalian jadikan panutan pasangan-pasangan yang memilih perceraian,
untuk menyudahi keutuhan perkawinan,
dengan alasan aneh sebagai pembenaran,
yakni karena Tuhan menghendaki demikian.
Karena apabila kalian pikir dan renungkan,
tentu akan kalian temukan suatu kenyataan,
yang sesungguhnya lebih mendekati kebenaran, bahwasanya di sepanjang abad kehidupan,
hanya sekali saja Tuhan berkenan menjodohkan, seorang lelaki dengan seorang perempuan,
secara langsung dipertemukan dan disatukan
dalam ikatan suci sebuah perkawinan.
Dan sepasang pengantin termulia di dunia,
yang perjodohan dan perkawinannya,
sepenuhnya ditentukan atas kehendak-Nya,
tak lain hanyalah Adam dan Hawa.
Akan halnya kepada anak cucunya,
yang kini betjumlah bermilyar-milyar jiwa,
sejak masih kecil hingga tumbuh dewasa,
sesungguhnya telah mulai diperkenalkan
dengan sejumlah calon pasangan,
sesuai dengan suratan perjodohan,
dan masing-masing diberi kebebasan
untuk memilih dan menentukan pilihan,
siapa yang akan disunting ke pelaminan.
Oleh karena itu masing-masing manusia,
seharosnya bertanggungjawab atas pilihannya,
dan apabila di kemudian hari tak merasa bahagia,
lantas memilih perceraian untuk menyudahi deritanya, tak layak berdalih sekadar menjalani kehendak-Nya."
Sangaji dan Salindri yang baru terbangun,
tertegun diam bagaikan sepasang lansia pikun,
lantaran kesadaran mereka belum lagi tersusun,
masih terayun-ayun naik turun di seputar ubun-ubun,
dan
wejangan Kitab Smaragama terus mengalun:
"Hendaknya kalian jadikan perhatian,
dan kalian catat baik-baik di dalam ingatan,
bahwasanya segala macam persoalan,
bahkan masalah kecil yang sering disepelekan, sesungguhnya dapat menjadi penyebab perceraian,
hal itu lantaran di dalam setiap perkawinan,
masalah yang besar bisa saja dikecilkan,
dengan cara menerima kekurangan,
disertai kesediaan memaafkan kesalahan,
dari masing-masing pasangan,
dan sebaliknya soal kecil yang mestinya diabaikan,
juga bisa dibesar-besarkan,
lantaran masing-masing pasangan,
terbiasa enggan mengakui kesalahan,
terbiasa melampiaskan kemarahan."
Salindri dan Sangaji saling pandang,
dengan sorot mata penuh kasih sayang,
dalam gelap malam yang sunyi dan lengang,
cahaya mata mereka yang tajam cemerlang, mengingatkan pada sepasang kunang-kunang,
sedang berkejaran di antara rumpun ilalang.