Fimela.com, Jakarta Seperti sebuah pertunjukan gambar hidup,
kenangan malam pengantin itu datang menyusup,
dan melukiskan kembali saat-saat semanis sirup,
Advertisement
ketika Sangaji dan Salindri dengan kikuk dan gugup, berbaring berduaan dalam cahaya lampu yang redup, dalam belaian musik lembut yang mengalun sayup, mereka berpelukan sambil saling mengecup,
dan keringat membanjir hingga basah kuyup.
Dengan keharuan memadat di rongga dada,
Sangaji dan Salindri membiarkan angan-angannya, menapaki jalan kenangan yang tertimbun masa, mengenali jejak-jejak beragam peristiwa lama,
dan menjamah kembali segala yang pemah ada,
yang kini telah beku membatu di pojok nostalgia,
pun bahkan saat-saat yang digetirkan duka nestapa,
kini tak lagi menimbulkan perasaan putus asa,
tak lagi menyengsarakan rasa tak berdaya,
tapi justru menggenapi kebahagiaan cinta,
yang pemah dijanjikan harapan dan cita-cita.
Tatkala Sangaji dan Salindri terbuai kenangan,
Kitab Smaragama kembali menyampaikan wejangan, sekaligus membukakan sejumlah rahasia kehidupan, ihwal seni bercinta sebagai suatu jalan pengetahuan, menuju haribaan kebahagiaan:
"Rasa cinta yang gemetar dalam kerinduan, sesungguhnya merasuki jiwamu lewat penglihatan,
yang terpesona oleh kecantikan atau ketampanan,
dan ketika roman percintaan itu kalian kukuhkan,
dalam suatu ikatan suci janji setia perkawinan,
maka sebelum gairah kalian terangsang sentuhan,
hasrat bercinta kalian terlebih dulu terbangkitkan,
oleh keindahan tubuh masing-masing pasangan,
yang seakan melumpuhkan indra penglihatan,
yang menguasai dan mengarahkan akal pikiran,
hanya pada satu tujuan: mendapatkan kenikmatan
dari suatu percintaan yang sangat memuaskan.
Baca Juga
Pun seandainya bola matamu sepenuhnya buta, maka tatkala calon kekasihmu menyapa atau bicara, getaran cinta akan merasuki jiwamu lewat telinga,
yang dikaruniai kept;'kaan jauh di atas rata-rata,
untuk menangkap suaranya yang mempesona,
dan manakala telah menjadi suami istri yang bahagia, maka gairah birahimu akan menyala menggelora, lantaran akal pikiranmu menciptakan api cinta,
juga ketika sentuhan merangsang indra perasa,
maka terbukalah pintu menuju kenikmatan dunia,
yang semata-mata dipersembahkan bagi mereka, pasangan suami-istri yang saling mencinta,
yang memuliakan dan dimuliakan janji setia,
demi keutuhan pernikahan sepanjang masa,
dan demi percintaan yang senantiasa membara.
Pun andaikata mata dan telingamu buta tuli,
rasa cinta akan merasuki jiwamu lewat mata hati,
yang ketajaman pandangnya tiada tertandingi,
dan ketika kalian telah hidup sebagai suami istri,
maka akal pikiran yang dicerahkan mata hati,
akan menggetarkan daya kreasi imajinasi,
dan kemudian menyalakan api gairah birahi,
yang membebaskan kebutaan dari gelap abadi,
dan melepaskan ketulian dari belenggu sunyi. "
Sangaji dan Salindri yang berpelukan di ranjang, meraih selimut dan menutupi tubuhnya yang telanjang, supaya lebih leluasa mengungkapkan kasih sayang,
dan seperti mata air yang jernih dan mengalir tenang, wejangan Kitab Smaragama kembali terngiang:
"Ketahuilah bahwasanya mata dan akal, sesungguhnya juga termasuk organ seksual,
karena dengan mata terlihat rangsangan sensual,
lalu diolah akal menjadi perintah berupa sinyal-sinyal, yang menyebar di penjuru tubuh dan daya khayal.
Maka syukuri lah dikaruniai mata yang sehat,
akal yang mampu menalar dengan cepat dan tepat, sehingga keindahan dan keajaiban yang paling hebat, dapat terlihat dan memberi nikmat hingga akhir hayat. "
Lantaran sekujur tubuh mereka terlindung selimut, maka ketika jari-jemari mereka saling menggerumut,
dan empat kaki mereka yang berkeringat selicin belut tumpang tindih dan pilin-memilin saling memagut, Sangaji dan Salindri tak merasa malu atau takut,
apalagi Kitab Smaragama tak tampak terkejut,
dan tetap menyampaikan wejangan secara runtut:
"Semua perempuan tentunya menyadari,
serta ingin terlihat cantik indah di mata lelaki,
sedangkan para istri yang mencintai suami,
dan ingin dicintai suaminya dengan sepenuh hati, lazimnya senantiasa seksama dan rajin merawat diri, bukan karena ingin melayani dan memuaskan suami, melainkan dengan ikhlas bersedia memahami,
bahwa keutuhan perkawinan sepasang suami istri,
hanya membutuhkan kesediaan mengabdi,
tapi bukan berarti lantas menjadi budak suami,
melainkan mengabdi pada nilai-nilai suci,
yang pemah terucap dalam bentuk janji,
atas nama cinta bersetia sampai mati,
karena dengan mengekalkan ikatan suami istri, seseorang telah menandai dan memberi arti,
pada kehidupan dan juga pada hidupnya sendiri.
Karena itulah perempuan dikaruniai keindahan, berupa wajah yang memancarkan cahaya kecantikan,
pinggul yang menjanjikan gelombang ayunan,
dan terutama payudara yang menyusui kehidupan.
Setiap lelaki pada dasarnya adalah bayi abadi,
yang memiliki ketergantungan teramat kuat sekali,
pada payudara'di mana untuk yang pertama kali,
ia dapatkan keindahan dan kenikmatan cinta sejati,
dan kenangan itu terpahat di sekujur dinding hati, menggumpal di dalam benak dan menjadi obsesi.
Setiap lelaki, yang lemah maupun yang perkasa, sesungguhnya tidak pemah tumbuh sempuma
untuk menjadi seorang manusia dewasa,
lantaran obsesi yang menggumpal dalam benaknya,
dan ketergantungan psikisnya pada payudara,
membuat jiwanya terjerat ruang dan masa,
yakni ruang dan masa kanak-kanaknya,
tempat di mana ia dapat bermanja-manja,
bebas berpura-pura menjadi siapa dan apa saja,
tanpa harus merasa semua perbuatannya,
hanyalah sesuatu yang sia-sia belaka.
Setiap lelaki sekalipun yang paling perkasa, senantiasa lumpuh bersimpuh tak berdaya,
tatkala jiwanya tersihir pesona payudara.
Kenyataan tersebut memang menyedihkan,
tapi lebih menyedihkan lagi ketika ada perempuan,
yang menafsirkan pesona payudara sebagai kekuatan, untuk menyihir dan menaklukkan lelaki-lelaki pejantan, yang membeli pelayanannya dengan kemewahan.
Tak sedikit pula kaum perempuan yang tergoda, untuk merekayasa bentuk dan ukuran payudaranya, dengan jalan operasi atau lewat keajaiban mantra, karena mereka percaya bahwa pesona payudara,
akan semakin dahsyat dan luar biasa,
padahal daya tarik yang memancarkan pesona, sesungguhnya telah sempuma sepenuhnya,
justru pada payudara sebagaimana aslinya.
Pun mereka yang memiliki payudara kecil,
tak perlu rendah diri dan merasa nasibnya ganjil,
karena justru perempuan berpayudara mungil,
lazimnya lebih gesit, lebih liat lagi lebih terampil,
dan membuat suaminya gemetar menggigil.
Maka istri yang tahu dan menyadari,
kekurangan yang ada pada dirinya sendiri,
biasanya justru lebih mampu menemukan potensi,
yang terkandung di bagian paling tersembunyi,
dan mengubahnya menjadi kekuatan mahasakti."