Fimela.com, Jakarta Ketika Kitab Smaragama menyampaikan wejangan, tentang rahasia besar kecil ukuran organ kejantanan
dan hubungannya dengan kepuasan perempuan,
Sangaji dan Salindri menyimak sambil bermesraan, layaknya pengantin baru yang sedang kasmaran,
Advertisement
masih dimanjakan dan memanjakan perasaan,
namun ketika Kitab Smaragama mengatakan,
bahwa telah tiba saatnya untuk disampaikan,
sebuah wejangan tentang mutu perkawinan,
maka Sangaji dan Salindri melepas pelukan,
kemudian duduk dan memusatkan perhatian,
membuka lebar pintu hati dan akal pikiran
supaya tak ada kata-kata yang terlewatkan,
agar makna yang terkandung dalam wejangan,
dapat terekam dengan baik di dalam ingatan,
dan menjadi pedoman untuk menciptakan,
bahtera perkawinan yang membahagiakan.
Baca Juga
Dan hanya dalam tempo sekejapan mata,
Kitab Smaragama pun menjelma jadi manusia,
tapi tak dapat dikenali jenis kelaminnya,
lantaran dari tubuhnya memancar cahaya,
berkilau lembut sambil menggemakan suara:
“Wahai Sangaji dan Salindri. ..,
agar kalian mampu mengenali dan memahami,
makna yang terkandung di dalam wejangan ini,
pusatkan panca indra pada satu konsentrasi,
padukan seluruh daya dan kehendak energi,
kosongkan pikiran, tangga/kan emosi,
dan masukilah lorong keheningan mahasunyi,
sampai mencapai kesempumaan meditasi. "
Sangaji dan Salindri termangu diam,
dan perlahan-lahan mata mereka terpejam,
mengarungi laut kegelapan yang kelam,
menyelami relung sunyi yang paling dalam,
menghayati keheningan yang damai tenteram,
dan meresapi daya hidup Sang Pencipta alam.
Dan ketika meditasi mereka sempurna,
terbukalah pintu menuju kenyataan alam jiwa,
sekaligus juga kenyataan alam semesta raya,
yang menjadi rahim terciptanya ada dan tiada.
Maka segenap suara tertelan keheningan,
sehingga segala yang ada di dalam kehidupan,
seakan membisu dan dengan setia menantikan,
saat Kitab Smaragama melanjutkan wejangan:
"Yang terkasih Sangaji dan Salindri,
ketahuilah bahwa apa yang pada hari ini,
kalian dengar dengan telinga kalian sendiri, sesungguhnya adalah suara hati nurani,
yang terlalu sering kalian abaikan dan ingkari,
namun seperti halnya kerinduan yang menduri,
suara itu akan terus menusuk dan melukai,
sampai akhimya kalian terpaksa peduli. "
Ketika Kitab Smaragama usai bercakap, keheningan sertamerta kembali menyergap,
dan segala bunyi melenyap dalam senyap,
sehingga Sangaji dan Salindri leluasa menyerap, kelanjutan wejangan yang diungkap bertahap:
"Pada hari ini pula saatnya kalian ketahui,
bahwa mahligai perkawinan mestinya disadari,
sebagai kepastian atas terpenuhinya janji suci,
antara seorang perempuan dan seorang lelaki,
untuk hidup bersama sebagai suami istri,
atas nama cinta yang bertumbuh di dua hati,
atas dasar tanggungjawab memiliki dan dimiliki.
Dan ketahuilah bahwa hubungan kelamin,
yang dilakukan suami istri sejak malam pengantin,
dan senantiasa berlanjut selama masih mungkin, hanyalah salah satu dari sekian banyak cara lain,
untuk mempersatukan suami istri, lahir dan batin. Hubungan kelamin atawa persebadanan,
memang suatu hal yang patut diprioritaskan,
tapi bukan berarti bahwa di dalam perkawinan,
hanya itu saja satu-satunya permasalahan,
yang paling penting untuk lebih diutamakan,
sehingga masalah lainnya boleh diabaikan.
Tapi hendaknya kalian dapat memahami,
bahwa hubungan intim yang kurang serasi,
jika dibiarkan terus berlangsung tanpa henti,
tanpa pemah dibicarakan dan dicarikan solusi,
akhimya akan menjadi sumber konflik suami istri.
Dan hubungan intim yang dingin dan hampa,
yang membuat suami atau istri merasa kecewa,
lazimnya terjadi lantaran salah satu atau keduanya,
tak tahu, tak peduli, dan tak mempelajari seni bercinta."
Pertahan Sangaji dan Salindri membuka mata, menatap Kitab Smaragama yang bermandi cahaya,
dan suksma, pikiran, serta kesadaran mereka,
luluh menyatu dan terserap pesona kata-kata,
yang tersurat dalam wacana Kitab Smaragama:
"Kepada kalian, kaum perempuan muda usia, seorang bemama Francis Bacon pemah berkata:
'Istri adalah kekasih bagi lelaki muda,
teman bagi lelaki setengah baya,
dan perawat bagi lelaki tua. '
Dan kepada kalian, lelaki muda perkasa, seorang bemama Rochebrune pemah berkata:
'Apabila lelaki dan perempuan saling mencinta
memutuskan menikah dan berumahtangga,
maka berakhirlah masa percintaan mereka,
dan mulailah perjalanan sejarah hidupnya. '
Kepada leJaki perempuan, tua muda,
seorang bemama Socrates, filsuf terkemuka, pemah berkata serius walau terkesan bercanda:
'Kalau kamu menikah, kamu akan menyesalinya.
Kalau tidak menikah, kamu akan menyesal juga.'
Sesungguhnya sudah cukup berlimpah.ruah,
definisi perkawinan berupa madah dan pepatah,
atau yang diwariskan sebagai nasihat dan petuah, namun untuk melaksanakannya tidaklah mudah,
karena perkawinan bukan saja ibarat suatu wadah,
yang terbuat dari kaca tipis yang mudah pecah, melainkan juga ibarat suatu lingkup wilayah,
yang nyaman, asyik, tenteram, dan indah,
namun sesungguhnya juga penuh masalah,
dan perkawinan juga sering diibaratkan kawah,
yang menempa dan mengubah watak lemah,
menjadi pribadi yang utuh, kukuh, liat, dan gagah,
tapi juga dapat mendatangkan musibah,
kepada mereka yang mudah menyerah,
dan bersedia hidup sebagai orang yang kalah.
Dan sesungguhnya mutu perkawinan,
berbanding lurus dengan kualitas kehidupan,
di mana kesediaan kalian untuk mendengarkan,
dan sejauh mana kalian mau mempedulikan,
kebenaran yang disuarakan hati nurani kalian,
akan dijadikan pedoman menentukan ukuran. "
Dan ketika wejangan mutu perkawinan berakhir, maka keheningan yang nyaris mencapai titik nadir, perlahan.lahan menggeliat dan retak mencair.
Sangaji dan Salindri menarik napas panjang,
saling pandang dengan mata berkunang.kunang, lantaran kesadaran mereka masih melayang.layang.