Fimela.com, Jakarta Seperti perempuan-perempuan lainnya di Iran, Negin Nasiri memiliki mimpi untuk belajar di luar negeri. Dia ingin keluar dari tanah kelahirannya sudah 26 tahun ia tapaki. Sebagai gantinya, dia ingin menghirup udara di belahan bumi lain. Dia pun diterima di California State University, Amerika Serikat untuk melanjutkan kuliahnya. Ketika begitu dekat dengan mimpinya itu, PRI.org menulis, tiba-tiba segala harapan sirna dalam sekejap. Pemerintah AS tidak bisa memberikannya visa.
Baca Juga
Dilansir dari media yang sama, sahabat Negin, Shaghayegh Jahnbani, justru bahagia Negin tak jadi berangkat ke AS. Pasalnya, dia tak pernah ingin meninggalkan Iran dan juga tidak ingin Negin pergi meninggalkannya. "Saat itu sangat sulit bagi saya ketika Negin diterima di universitas. Saya sangat depresi," akunya kepada PRI.org. Namun, dia mengaku sangat bersyukur sahabatnya tidak mendapatkan visa.
Mungkin Shaghayegh terdengar sangat jahat dan tidak berperasaan. Tapi, siapa yang tahu kegagalan Negin mendapatkan visa justru membawa berkah buat mereka berdua? Setelah menata kembali perasaan masing-masing, mereka akhirnya memulai lembaran baru. Mereka kini tak hanya menjadi sahabat, tapi juga partner dalam mendesain dan berbisnis.
Advertisement
Mereka akhirnya menciptakan Studio On, dua tahun lalu. Kesuksesannya kini dimulai dari 'langkah bayi' dengan segala kesulitan dan ringtangannya. "Semuanya berantakan. Kita tidak tahu apa pun," kata Negin seperti yang dikutip dari PRI.org. Setelah enam bulan mereka bekerja, mereka akhirnya berhasil ikut ke dalam pameran di Teheran, Iran.
Sayangnya, barang yang mereka pamerkan tak satu pun dibeli orang. "Setiap orang cuma datang dan berkata, 'wow indah sekali. Bye!" katanya. Mereka akhirnya berpikir apa yang jadi penyebab tak ada orang tertarik untuk membelinya. Ternyata, PRI.org menulis, kaarya seni yang terbuat dari kayu milik mereka terlalu unik.
Terlalu unik, tak ada yang beli. Tapi keunikan ini bisa menjadi 'kartu nama' mereka. Mereka akhirnya menawarkan para pelanggan custom woods. "Sekarang, kami punya banyak pesanan," katanya.
Setelah mencapai kesuksesan ini, bukan hanya hidup dan nasib mereka yang berubah, tapi juga cara pandang mereka terhadap kota yang mereka tinggali. "Sebelumnya saya membuat wood art ini, saya benci dengan kota saya. Kemacetan, polusi, semuanya buruk. Tapi kini, segalanya baik. Ini kota saya dan saya menyukainya," katanya kepada PRI.org.