Fimela.com, Jakarta Nun di halaman rumah yang teduh dan asri,
rumah tinggal pasangan Sindhumurti dan Nirukti,
duda dan janda yang baru menikah malam tadi,
Advertisement
menjadi persinggahan terakhir Sangaji dan Salindri.
Dan di balai-balai rotan yang sudah usang,
di bawah pohon rambutan yang berdaun rindang,
fantasi Sangaji dan Salindri melayang-layang,
terbang bersama syair bersayap nada tembang
yang dinyanyikan Nirukti sepenuh kasih sayang, sesyahdu pandang matanya yang menerawang,
seperti tatapan putus asa seorang petualang,
yang tersesat di gurun sahara yang gersang,
tatkala segala miliknya musnah dan hilang,
bahkan tak lagi ditemukannya jalan menuju pulang,
dan akhimya terkapar rebah berbaring telentang,
walau nyalinya masih tak gentar menantang,
namun sorot matanya tak lagi menyala garang,
bahkan sendu, rapuh, basah berlinang-linang,
dan semuanya itu menyerupai bayang-bayang
dari seni mengolah bunyi menjadi lambang-lambang, yang dikuasai Nirukti dengan sangat cemerlang, membuat Sindhumurti semakin
mabuk kepayang.
Sangaji dan Salindri pun semakin mesra,
karena tembang yang dipetik Nirukti atas nama cinta,
dari pohon rahasia di taman gaib Kitab Smaragama,
tak cuma menyembuhkan segala luka duka nestapa,
tapi juga mengantarkan mereka mencapai kamarasa, yakni kenikmatan asmara tanpa persentuhan raga, kenikmatan yang
sepenuhnya tercipta dari rasa cinta, sehingga lebih tepat jika disebut kebahagiaan jiwa.
Dan kebahagiaan jiwa itu diwarnai rasa haru,
saat Nirukti melantunkan bait kamarasa itu,
dengan suara yang kian lirih, semakin sendu,
karena bait itu mengingakannya pada masa lalu:
"Suami istri sama-sama mempunyai tugas menuliskan riwayat pernikahan dengan tinta emas
dan bukan dengan air mata duka yang luruh terperas, dari hati yang dilukai kata dan perlakuan di luar batas, dari jiwa yang diletihkan
kehidupan serba tak selaras, dari cinta yang dirapuhkan nikmat pergaulan bebas.
Baca Juga
Mereka yang bersepakat menjadi suami istri, mestinya juga telah berusaha saling memahami,
bahwa pemikahan merupakan ikatan janji suci,
dan siapapun tentu berl1arap hanya sekali terjadi,
oleh karena itu suami istri mesti saling memenuhi janji, bersama-sama merawat, menjaga, dan melindungi, keutuhan, kesetiaan, dan
kehangatan gairah birahi,
hari demi hari, selamanya, bahkan saat mereka mati,
pada ketika itu pula pernikahan mereka hidup abadi, dalam kenangan anak cucu, dalam setiap mimpi.
Bagi mereka yang karena satu dan lain hal,
bahtera perkawinannya retak dan akhimya gagal, hendaknya tidak cuma sekadar merasa menyesal,
tapi juga berusaha agar hidupnya tidak hancur total, lantaran tergiur kehidupan binal dan penuh skandal, membius diri dalam nikmat
duniawi yang tak bermoral, dan baru menginsyafi perbuatannya berakibat fatal, ketika hidupnya telah sampai di batas ajal."
Dan air mata yang meluap dari kedalaman hati, dibiarkan meleleh di pipi Nirukti, di pipi Sindhumurti, namun bahkan Sangaji dan
Salindri tak menyadari, lantaran tenggelam dalam samudera perenungan diri, sementara bait penutup yang dilantunkan Nirukti,
kembali mengalun mengoyak sunyi:
"Ketika fajar pernikahan baru saja menyingsing,
roda kehidupan masih lancar berputar menggelinding, tapi akan tiba jua saat-saat yang rawan dan genting,
di mana suami atau istri merasa pusing tujuh keliling, lantaran segalanya tiba-tiba berputar secepat gasing, membuat suami istri
terpaksa harus pontang-panting, karena hidup tak cuma membutuhkan nasi sepiring,
tapi juga beragam sarana agar bisa menang bersaing, supaya hidup dan gengsinya tak compang-camping, pada saat itulah suami istri
mesti bersedia berunding, sepakat untuk mendahulukan hal yang paling penting, bukannya mendahulukan kepentingan masing-
masing, agar kebersamaan suami istri tak hancur berkeping, supaya pernikahan tak berakhir remuk menjadi puing."
Dan ketika tembang itu selesai didendangkan, Sindhumurti segera mendekap Nirukti dalam pelukan, saling berbagi kesedihan, saling
melepas keharuan, saling berharap mampu membangun kebahagiaan,
dari puing kegagalan, dari reruntuh penyesalan. sementara Salindri dan Sangaji dicekam keharuan, namun mereka tak sempat saling
bertukar pikiran,
karena batas waktu pengembaraan di Benua Harapan, mengharuskan Sangaji dan Salindri, duta kebahagiaan, kembali pulang demi
memenuhi panggilan kehidupan, dan menapaki perjalanan di bumi kenyataan.
Syahdan pengembaraan di belantara mimpi,
ciptaan Kitab Smaragama yang gaib dan sakti,
terutama dimaksudkan agar Sangaji dan Salindri,
tertatih mencari dan menemukan mata air inspirasi, karena setelah lebih dari sembilan generasi
tak ada seorangpun yang layak dipercayai
maka mereka berdua telah terpilih untuk mewarisi rahasia Kitab Smaragama, wacana bemuansa puisi, yang membukakan pintu-pintu
rahasia dan misteri,
dan yang mengajarkan seni bercinta tingkat tinggi,
yang hanya dapat dipelajari, dipahami, dan dikuasai,
oleh suami istri yang berikrar dalam pemikahan suci,
dan apabila pengembaraan itu telah mereka genapi, maka Kitab Smaragama akan melakukan evaluasi, mendiskusikan yang pemah
mereka saksikan sendiri, dan bahkan mereka berdua juga ikut serta mengalami. Itulah sebabnya pada malam pertama pernikahan,
setelah Salindri mempersembahkan keperawananan, maka Kitab Smaragama pun menyampaikan wejangan,
dan dengan mantra sakti diciptakannya keajaiban, berupa petualangan menjelajahi Iika-liku Benua Impian, majikan seluruh kota metro
dan megapolitan,
dan juga mengembarai penjuru Benua Harapan,
lbu kandung semua kampung halaman,
sehingga Sangaji dan Salindri dapat menyaksikan, kehidupan dalam dimensi mimpi dan dimensi harapan, sehingga apa yang mereka
peroleh dari wejangan,
dapat dicocokkan dengan yang ada pada kenyataan, kalau mau bahkan dapat langsung dipraktekkan.
Hatta Salindri dan Sangaji terjaga dari tidurnya,
dan mendapati dirinya berbaring telanjang berdua, bermandi cahaya mentari yang menikam kaca jendela, mereka saling memandang
dengan tatapan mesra,
saling mengungkapkan rasa cinta tanpa kata-kata,
dan jemari mereka saling remas, gairah pun membara.
Kali ini Sangaji dan Salindri lebih berhati-hati,
tidak tergesa seperti saat melakukannya pertama kali, maka Salindri lebih bisa menikmati, bisa mengimbangi, sehingga gairah Sangaji
meluap di sekujur pori-pori, mengantarkan mereka ke alam ratimaya suami istri,
alam kenikmatan ciptaan seni bercinta tingkat tinggi.
Ketika menyaksikan percintaan mereka berdua,
Kitab Smaragama merasa jerih payahnya tak sia-sia, dan seni bercinta mereka tentu akan lebih sempurna, setelah mereka pelajari
secara lebih seksama, pengalaman pasangan janda perjaka, perawan duda
dan seni bercinta duda janda yang penuh daya cipta,
yang baru mereka kenal selintas saat mengembara.