Fimela.com, Jakarta Hatta sesungguhnya Salindri dan Sangaji,
masih ingin mengintip Rahagni dan Drupadmi lagi,
masih ingin menyaksikan seni bercinta tingkat tinggi, yang secara teknis nyaris
Advertisement
dikuasai oleh Drupadmi, perempuan janda yang setahun lalu suaminya mati,
dan baru semalam resmi menikah dengan Rahagni.
Sangaji masih memandang tanpa berkedip,
mencari lubang dinding di mana tadi ia mengintip,
ibarat menonton pertunjukan dari tempat duduk vip, menyimak dan mencatat gerakan yang paling sip.
Sedangkan Salindri yang
termangu-mangu, sesungguhnya juga masih diburu rasa ingin tahu
cara menciptakan rangsangan yang menggebu,
dan setiap membayangkan kembali adegan itu,
saat Drupadmi-Rahagni menyatu sepenuh nafsu,
maka Salindri berharap kelak pada suatu waktu
juga bisa mengalami kenikmatan seperti itu.
Baca Juga
Perasaan dan isi hati mereka berdua,
juga yang sembunyi di balik tempurung kepala, senantiasa terpantau, terdeteksi, dan terbaca
oleh mata penginderaan gaib Kitab Smaragama, sehingga saat mereka melupakan norma susila,
maka dengan serta merta terucap suatu mantra,
yang kesaktian dan keampuhannya tiada tara,
mampu membasuh dan membersihkan jiwa
dari debu reruntuh segala yang berakhir sia-sia,
dan sanggup menutup lubang-lubang durhaka,
tempat bersarang segala yang tercemar dosa,
yang tersebar di penjuru semesta alam raya.
Dan lubang kecil di bilik rumah Rahagni,
yang tadi digunakan oleh Sangaji dan Salindri
untuk ngintip percintaan Rahagni dan Drupadmi
adalah salah satu lubang durhaka kaliber mini,
yang sekarang telah ditambal rapat dan rapi,
oleh mantra Kitab Smaragama yang sakti.
Setelah menutup lubang durhaka itu,
Kitab Smaragama meretas misteri ruang-waktu, sehingga Sangaji dan Salindri yang termangu,
tak lagi terikat kodrat, tak ada lagi rambu-rambu
lolos dari dimensi dan masa yang membelenggu
dan leluasa berada di sini, di sana, atau di situ,
bebas dari makna kini atau dulu, lama atau baru.
Maka tanpa harus bersusah payah,
Sangaji dan Salindri sampai di suatu lembah,
di halaman sebuah rumah yang besar dan megah, dengan taman yang hanya ditanami mawar merah,
dan sebuah kolam renang yang dicat warna cerah,
yang menghadirkan suasana indah dan mewah.
Salindri dan Sangaji tampak canggung,
berdiri bengong bagaikan sepasang patung,
memandang kagum, heran bercampur bingung,
dan ketika pikiran mereka terkatung-katung,
dari pintu yang memancarkan kesan agung,
muncul seorang lelaki kerempeng dan jangkung, umurnya 40-an tahun, wajahnya tirus
dan cekung perutnya membuncit seperti sedang
kembung, pakaiannya mirip dandanan seorang kacung,
hanya berkaos oblong dan berkain sarung,
disusul perempuan muda berusia tanggung,
bibirnya merekah basah, hidungnya mancung,
rambutnya keriting tergerai bak bunga bakung,
dadanya bulat penuh tegak membusung,
celananya ketat, pendek, sengaja dibuntung,
lengan kaosnya yang juga ketat itu digulung,
di lehernya yang jenjang melingkar kalung,
sorot matanya tajam menembus jantung,
langkahnya ringan bagaikan mengapung,
terayun lincah tapi tak pernah kesandung,
sambil tangannya berlenggang kangkung.
Saat mereka datang menyambut,
pikiran Sangaji dan Salindri masih semrawut,
keningnya berkerut, wajahnya tampak kusut,
dan ketika lelaki jangkung itu menyapa lembut,
Sangaji dan Salindri terkejut dan kalangkabut,
untunglah tak sampai terucap kata tak patut,
dan setelah mereka berdua tak lagi kalut,
lelaki itu kembali bicara secara runtut:
"Kami sudah lama sekali menanti,
bahkan sempat merasa sangsi dan kecil hati
mengira Anda berdua tak sudi mampir ke sini. "
Salindri cuma mengangguk-angguk,
sedangkan Sangaji tiba-tiba langsung menunduk, lehernya ditekuk dan digerakkan meliuk-liuk,
sambil blingsatan dan tak henti terbatuk-batuk,
gara-gara makhluk terkutuk bernama nyamuk,
mengira di mulut Sangaji ada makanan empuk
tanpa permisi langsung nyelonong masuk,
tersesat di kerongkongan, lalu mengamuk,
sehingga Sangaji merasa lehernya teraduk-aduk.
Ketika suasana sudah tenang kembali,
dengan santun dan hati-hati lelaki itu bicara lagi:
âSaya Wangsajati, istri saya Warastridewi,
mohon maaf bila ada yang kurang berkenan di hati, karena kami juga baru menikah malam tadi,
masih banyak yang belum sempat kami benahi,
lagi pula setelah hampir sepanjang hari menanti
akhimya kami berdua masuk ke kamar lagi,
dan apa yang terjadi tentunya dapat dimaklumi,
maka saat kami melihat Anda berdiri di sini,
kami berdua langsung saja mengakhiri,
bahkan kami berdua tak sempat mandi,
apalagi sampai terpikir dandan yang rapi,
karena khawatir Anda berdua keburu pergi,
maka mohon Anda berdua memaklumi,
bahwa penampilan kami yang begini ini,
bukan karena kami tidak menghormati.â
Sangaji dan Salindri diam tercengang,
terkesan oleh tutur kata dan sikap terus terang,
lugas, jelas, ringkas, tidak berpanjang-panjang.
Dan Warastridewi yang cantik mungil,
yang sejak tadi tampak tak sabar ingin tampil
segera menyahut sambil tersenyum centiI:
"Semua ini akibat ulah saya yang usil,
lantaran kesal diperlakukan seperti anak kecil,
saya masuk kamar, melepas baju sampai bugil,
sambil menari-nari saya berseru memanggil,
begitu masuk suami saya langsung menggigil,
seperti melihat sesuatu yang sangat ganjil,
sebagai istri saya memang belum terampil,
pengetahuan saya tentang seks masih seupil,
tapi bagi saya tak ada hal yang mustahil,
asalkan mau berusaha keras pasti berhasil. "
Sangaji dan Salindri tersenyum geli,
akan halnya Wangsajati yang merasa dilucuti,
tetap tenang dan menyahut penuh percaya diri:
"Mestinya saya mampu menahan diri,
karena saya ini kan sudah pemah punya istri,
sedangkan sampai kami menikah malam tadi,
kesucian perawan Warastridewi belum temodai,
baginya memang pemikahan yang pertama kali,
mudah-mudahan hanya sekali ini saja terjadi,
dan hanya maut saja yang memisahkan kami."
Mendengar ucapan sang suami,
Warastridewi langsung memeluk Wangsajati,
bibir dan pipi suaminya dikecupnya bertubi-tubi,
dan sergapan itu tak pernah diduga Wangsajati, sehingga tak ada persiapan
untuk mengantisipasi, untunglah mantan duda itu sudah termasuk ahli,
pintar meredam dan menjinakkan gejolak birahi, walaupun gejolak yang mesti dijinakkan saat ini,
terasa jauh lebih liar dan lebih tak terkendali,
karena ada hal lain yang juga harus ditanggulangi,
yakni rasa malunya terhadap Sangaji dan Salindri.