Fimela.com, Jakarta Hatta Benua Harapan yang dikekalkan misteri,
yang disinggahi pengembaraan Sangaji dan Salindri,
tak lain adalah bagian terindah dari semesta mimpi, sebagaimana bumi, bintang, rembulan
Advertisement
dan matahari, juga bagian terbaik dari
semesta alam raya tanpa tepi.
Dan sebagaimana yang telah dikisahkan,
lantaran tak sanggup lebih lama lagi menahankan, desakan rasa ingin tahu Rahagni
sedang diapakan,
maka Sangaji mengintip, kemudian jatuh pingsan,
akan halnya Salindri yang mengira mendapat giliran, langsung mengintip..., lalu
pelan-pelan pingsan.
Mereka terkulai bagai kuntum bunga layu,
dinaungi keteduhan rimbun daun pohon randu,
dan sesungguhnyalah mereka tak pemah tahu,
bahwa mereka senantiasa dijaga dan dipandu,
oleh Kitab Smaragama yang mampu menyatu,
dengan air, udara dan desir angin yang berlalu,
dan sekarang ia bahkan menjelma jadi lampu,
yang bersemayam dan menerangi relung kalbu,
dengan cahaya kesaksamaan dan rasa ragu,
yang membuat mereka tak gampang tertipu,
oleh gemertap yang membungkus makna palsu,
yang membuat mereka tetap tegar dan mampu
melawan dan mengalahkan duka paling pilu,
yang membuat mereka sulit dibujuk atau dirayu,
untuk menjual nurani dan hidup tanpa rasa malu.
Ketika Sangaji dan Salindri pingsan,
Kitab Smaragama yang bijak dan penuh kearifan, segera menjelmakan diri menjadi
suatu kenyataan,
dan dengan kesaktiannya ia langsung melakukan tindakan pengamanan sekaligus
penyelamatan,
dengan mengembalikan seluruh kesadaran
lengkap beserta semua mimpi dan kenangan
yang pemah tercatat dalam ingatan,
dan kemudian Kitab Smaragama, pertahan-lahan, kembali menggaib dan hilang dari
pandangan.
Baca Juga
Sangaji dan Salindri bergerak bangun,
mereka tak merasa telah pingsan secara beruntun, apalagi tepat pada saat mereka berdua terbangun,
dari dalam kamar itu terdengar jelas mengalun,
rintihan Rahagni yang berulang kali minta ampun, dengan suara serak separau ocehan kalkun,
membuat Salindri merinding diam tertegun,
menatap jakun di leher Sangaji yang naik turun.
Sangaji memang tak lagi dapat menguasai
rasa ingin tahu tentang apa yang sebenamya terjadi,
di dalam kamar pengantin Rahagni dan Drupadmi,
dan setelah merasa yakin tak akan pingsan lagi,
Sangaji merapatkan wajahnya secara hati-hati,
dan melalui sebuah lubang sebesar ujung jari
satu matanya dengan segera menjadi saksi,
betapa di atas ranjang terlihat geliat Rahagni,
yang lumat dicumbu Drupadmi dari berbagai sisi,
dan setiap kali Rahagni nyaris mencapai ejakulasi,
pada saat yang tepat cumbuan Drupadmi berhenti.
Tindakan Drupadmi menghentikan cumbuan,
tentu saja membuat Rahagni kalang-kabut kelabakan, dan Drupadmi segera
melakukan langkah susulan,
yang pertama kedua kaki Rahagni direntangkan,
kedua, ibu jari tangan kirinya selekasnya ditekankan, pada titik simpul yang mengatur
arus rangsangan,
yang terletak tepat di tengah-tengah persimpangan,
di bagian tengah pangkal paha kiri dan paha kanan,
di atas anus, di bawah sepasang bola kejantanan
yang saat itu memadat sehingga tak bergelantungan,
dan langkah ketiga, dengan kelima jari tangan kanan Drupadmi menggenggam lembut
tugu kerinduan,
memijat beraturan dan terkadang memberikan cekikan, agar gairah yang menggelora
dapat dijinakkan.
Tapi sebelum Rahagni menyadari,
bahwa gairahnya berangsur mereda dan terkuasai,
di saat yang tepat Drupadmi kembali beraksi lagi,
dan Rahagni yang disergap Drupadmi dari lain sisi,
lumat menyatu dengan gelora birahinya sendiri, semuanya itu dapat dilihat secara
jelas sekali,
dengan satu mata, lewat lubang sebesar jari.
Kedua lutut Sangaji gemetar dan guyah,
Salindri yang jongkok di sampingnya jadi gelisah, desakan rasa ingin tahunya
semakin membuncah, melihat Sangaji gemetaran tapi
tetap saja betah,
Salindri mendorong Sangaji yang sudah lemah,
sehingga Sangaji langsung terjengkang rebah,
menatap istrinya dengan pandangan marah,
tapi perhatian Salindri sepenuhnya tercurah,
pada Drupadmi yang semakin lincah berkiprah,
membuat Rahagni yang bertubuh kekar gagah, menggeliat-geliat seperti cacing
sedang gerah.
Tapi Rahagni tak mau jadi pecundang,
lelaki yang tadi hanya berbaring rebah telentang, bagaikan beringin rindang
yang telah tumbang,
secara tak terduga mendadak balik menyerang,
dan tentu saja Drupadmi kaget bukan kepalang,
lantaran jurus Rahagni yang menggelombang,
sama persis dengan jurusnya yang paling garang,
yakni jurus mengganyang kerang dalam cangkang.
Disergap dengan jurus yang sungguh ampuh,
Drupadmi terkapar dan merintih mengaduh-aduh, tubuhnya meliuk-liuk,
menggelinjang tak bisa patuh,
membuat Salindri tercekam, bahkan ikutan melenguh, namun sebelum sampai Salindri
berseru mengaduh, Kitab Smaragama segera
berkata dengan teduh:
"Perjalanan kalian masih sangat jauh,
masih harus menyeberangi sungai keruh,
lewati sahara gersang, masa yang kisruh,
melintasi lorong air mata kota-kota kumuh,
mengarungi samudera badai yang gemuruh,
tapi berusahalah untuk tidak mengeluh,.
tak pula perlu meratap atau mengaduh,
walau seribu duka, lara, dan luka melepuh,
tetaplah sabar, sabar, sabar, tegar dan teguh,
bangkit, bangkit dan bangkit/ah tiap kali terjatuh,
apabila dahaga mendera, cecaplah seteguk peluh, sedangkan rasa
laparpun akan terbunuh
oleh kemauan yang kenyal, liat, keras dan kukuh,
dan tetaplah mengayun langkah, terus menempuh, sampai akhimya mencapai
tempat berlabuh,
tempat di mana hanya bisa tumbuh
cinta yang tulus dan sungguh-sungguh,
cinta yang total dan benar-benar utuh,
cinta yang meluap nyata dan penuh,
tempat di mana semua kapal buang sauh,
pantai di mana semua harapan berlabuh,
kota yang bising namun tak lantas jadi gaduh,
bahkan di sana kehidupan justru mengalir teduh, merengkuh dan
menyatukan raga, rasa, dan ruh.”
Dan terbitlah fajar keheningan sunyi bunyi,
dan tiba-tiba pula Sangaji dan Salindri, dua sejoli, mendapati lubang pada
bilik bambu itu tiada lagi,
bahkan dinding rumah itu seperti terbuat dari besi,
keras, rapat, dingin, tak mungkin dapat dilubangi, sementara dalam
keheningan sunyi tanpa bunyi,
yang terdengar hanyalah gaung gema tanpa henti wejangan
Kitab Smaragama yang seakan menguji, adakah Sangaji dan Salindri yang
didekap sunyi, mendengarkan nya dengan telinga, dengan hati,
dan larut hingga batas kemampuan menghayati,
hingga bisa mengenali walau tak sampai mengerti,
bisa merasakan tanpa harus sekaligus memahami
inti makna yang terdalam dan paling tersembunyi
di pelukan rahasia wacana kuno berwajah puisi,
seperti halnya bahasa mantra atau denting bunyi
hanya bisa dihayati oleh rasa, oleh hati, oleh emosi, sedangkan makna mantra dan arti
bunyi yang hakiki,
tak pertu harus dimengerti, tak mesti pertu dipahami, lantaran sesuatu
yang sungguh-sungguh punya arti,
akan tetap berarti sekaligus sudah memberi arti
hanya dengan dihayati.