Fimela.com, Jakarta Syahdan rahasia keindahan seni bercinta, dan cara-cara mencapai puncak kenikmatannya, yang terkandung di dalam Kitab Smaragama, sesungguhnya hanya dibeberkan kepada mereka, Sangaji dan Salindri yang berbahagia, dan pasangan lelaki perempuan dewasa, yang saling mencintai, dan saling percaya, bersatu dalam perkawinan, berdua rela menerima kehidupan yang tak lagi sepenuhnya merdeka, walaupun sesungguhnya perkawinan yang mulia, tak akan membuat mereka kehilangan apa-apa, seperti pada bab pertama Kitab Smaragama tertulis wacana bahwasanya:
Baca Juga
"Pernikahan bukanlah upacara yang menandai tamatnya riwayat kebebasan pribadi suami atau istri. Karena pernikahan justru memberikan kebebasan sejati yang hanya dapat dimiliki suami dan istri, yakni kebebasan mengarungi gelora gairah birahi, kebebasan menikmati kemesraan bercinta sepuas hati, kebebasan untuk saling mengintimi. Dan ikatan pernikahan bukanlah belenggu, yang memborgol jati diri masing-masing individu. Tali perkawinan hanya memenjarakan ruang dan waktu, agar di mana dan kapanpun suami istri bebas bercumbu, demi kelahiran dan kehidupan anak cucu yang bermutu. "
Maka sebagaimana yang telah dijanjikan, Sangaji dan Salindri yang baru disucikan pernikahan, dan terpilih menjadi sepasang duta kebahagiaan, beranjak turun meninggalkan pelaminan, memasuki kamar peraduan yang nyaman, dan berbaring di ranjang pengantin, altar peradaban.
Advertisement
Dalam gerak perlahan, sepenuh kelembutan, Sangaji dan Salindri, sepasang duta kebahagiaan, saling menelanjangi diri, dan membuka kesadaran agar dapat memahami Smaragama yang membukakan rahasia keindahan cinta dan nikmat percintaan, serta cara menelusuri pusat-pusat rangsangan yang paling peka dan teramat rawan sentuhan, agar gelinjang getar-getar kenikmatan sampai mencapai puncak-puncak kepuasan yang lebih tinggi dari semua ketinggian.
Maka tibalah saatnya menyimak dan memahami wejangan Smaragama kepada pasangan suami istri: "Ada dua perkara yang akan mengawali, dan yang akan mewarnai kehidupan suami istri. Pertama tentang kesediaan menerima dan memberi. Kedua ihwal mengerti apa yang dimiliki dan mensyukuri. Kesediaan menerima kekurangan pasangannya, dan kesediaan memberi yang terbaik pada belahan jiwa, hendaknya dipahami sebagai keikhlasan yang niscaya, demi terciptanya kebahagiaan rumah tangga. Hendaknya pula setiap suami dan setiap istri mengerti apa yang dimiliki, agar dapat mensyukuri. Dan ketahuilah wahai pengantin segala usia, bahwa suami yang rela menjadi milik istrinya, dan istri yang ikhlas menjadi milik suaminya, sesungguhnya telah memiliki segala-galanya. Kepada kalian telah diberikan indra penglihatan, tapi mengapa seringkali kalian sia-siakan, pemandangan yang lebih indah dari keindahan, dan yang menjanjikan petualangan mendebarkan? Maka segeralah kalian saling menyaksikan, panorama rahasia yang ada di sekujur badan, di pucuk bukit kembar, di batang tugu kerinduan, dan apabila seksama akan kalian temukan, permata yang disembunyikan ngarai berhutan."
Dan Sangaji yang syahwatnya mulai terbelai birahi, saat melirik Salindri segera disergap jerat sensasi. Dan gairah sensasi birahi yang semakin meninggi, memang masih bisa dijinakkan oleh Sangaji dengan keunggulan akal budi. Kemudian wejangan Smaragama kembali dibacakan: "Kepada kalian diberikan juga indra penciuman, maka berciumanlah dengan masing-masing pasangan, kecup-kucuplah harum sekujur penjuru badan, biarkan bibir kalian merasai manisnya madu kemesraan, biarkan lidah kalian bertualang di belantara perbukitan, memanjat tugu kerinduan dan menari di ujung lingkaran, mengembarai kelembutan ngarai berhutan, dan menemukan permata idaman."
Sangaji mendadak gagap, tiba-tiba terbisu, lalu menatap Salindri, dan sama-sama tersipu, sama-sama malu-malu, sama-sama ragu-ragu. Dan pipi Salindri segera merana merah jambu, rambutnya tersibak menggerai menuruni bahu. Dan tengkuknya yang ditumbuhi bulu selembut beludru, berkerut merinding menyerupai kulit jeruk limau, saat jemari birahi mulai menjamah dan mencumbu.
Menyaksikan tengkuk Salindri yang merinding berbulu, api gairah birahi Sangaji segera berkobar menderu, dan sensasi libidonya menggelinjang menggebu-gebu, mengkili-kili batang tugunya yang meregang kaku, sehingga di celah bawah pangkuannya yang ngilu seperti terimpit sebuah ulegan batu. Maka Sangaji menutup Kitab Smaragama, karena telah tiba saatnya mencicipi malam pertama, dan menjelmakan rahasia keindahan seni bercinta, tak hanya dalam bentuk rangkaian kata-kata, tapi menjadi suatu tindakan nyata... (Harry Tjahjono)