Fimela.com, Jakarta Hidup sebagai perempuan di tengah ancaman Boko Haram di tanah Afrika memang tak mudah. Tapi, lebih tak mudah ketika kamu memiliki seorang anak perempuan. Mungkin kamu pernah mendengar betapa para gadis tersiksa dan ketakutan dengan tingkat kasus pemerkosaan yang tinggi. The Daily Beast menulis, kekhawatiran para ibu di Kamerun ini mendorong mereka untuk meratakan payudara anak-anak remaja perempuan mereka yang mulai masuk masa pubertas.
Grace Tchami kepada The Daily Beast menceritakan kisahnya tentang tradisi meratakan payudara ini. Tchami mulai memasuki masa pubertas ketika dia berumur 9 tahun. Ibunya, sambil berharap bisa menyelamatkan gadis yang dicintainya ini dari 'sentuhan' para lelaki dan juga Boko Haram, memanaskan sebuah batu yang biasa digunakan untuk menggiling makanan setiap pagi. Batu yang sudah panas tersebut ditekankan pada kedua buah dada Tchami.
Di sebuah dapur kecil beratapkan bambu di belakang rumahnya, ibunya melakukan hal yang sama setiap hari selama tiga bulan. Kakak laki-laki Tchami selalu memegangi kakinya agar dia tak melarikan diri. Setelah itu, seperti tak terjadi apa pun, gadis yang pada waktu itu masih sangat belia, melanjutkan aktivitasnya ke sekolah.
Advertisement
Baca Juga
Ternyata, tak hanya Tchami yang mengalami hal ini. The Daily Beast menulis, tradisi breasts ironing telah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu. Hingga menyebar ke hampir seluruh keluarga di Kamerun yang ingin menyelamatkan anaknya dari 'sentuhan' para Boko Haram dan para lelaki.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tahun lalu telah menyatakan tradisi ini sama saja seperti mutilasi terhadap organ genital. Selain itu, seperti yang dilansir dari Express.co.uk, Entitas Perserikaan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan di Inggris (UN Women) juga menyatakan hal yang sama.
Jika sebagian keluarga berkecukupan menggunakan batu yang dipanaskan, keluarga yang lebih kaya membuat sebuah sabuk elastis untuk mencegah payudara gadis mereka yang akan tumbuh. Cindy, perempuan berumur 14 tahun ini salah satu dari sekian banyak perempuan di Kamerun yang menggunakan sabuk elastis setiap hari.
Kepada Vice.com, Cindy mengeluhkan sakitnya menggunakan sabuk tersebut. "Kadang saya tak bisa bernapas. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, ibu selalu menyibakkan pakaian saya dan memastikan saya tak meninggalkan sabuk di rumah," katanya. "Ini sudah lebih dari dua tahun, dan ibu saya masih terus memeriksanya setiap pagi," katanya menutup pembicaraan.
Tradisi ini telah lama menjadi sorotan banyak media internasional. Tapi, menurut Magdalena Randall-Schab, dari Entitas Perserikaan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan di Inggris (UN Women) seperti yang dilansir dari Express.co.uk, manyatakan masalah ini terlalu rumit. Karena, kekerasan ini berkaitan dengan tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat.