Fimela.com, Jakarta Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling mematikan dan menjadi perhatian serius bagi kesehatan global. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies, yang termasuk dalam kelompok lyssavirus, dan dapat menyerang baik hewan maupun manusia. Penularannya umumnya terjadi melalui gigitan atau cakaran hewan yang terinfeksi, seperti anjing, kucing, dan berbagai hewan liar.
Mengingat betapa fatalnya dampak rabies jika tidak segera ditangani, penting bagi kita untuk mengenali ciri-ciri hewan yang terinfeksi serta memahami langkah-langkah pencegahan yang efektif. Memahami gejala rabies dan cara penularannya adalah langkah awal yang krusial dalam melindungi diri dan keluarga dari penyakit ini. Gejala awal rabies sering kali tidak spesifik, seperti demam ringan dan kelelahan, namun dapat berkembang menjadi lebih serius dengan munculnya agitasi, kesulitan menelan, hingga paralisis.
Oleh karena itu, pencegahan melalui vaksinasi hewan peliharaan, menghindari kontak dengan hewan liar, dan tindakan cepat dalam menangani gigitan hewan sangat penting. Dengan pengetahuan yang tepat dan tindakan preventif yang tepat, risiko penularan rabies dapat diminimalkan secara signifikan, dilansir Fimela.com dari berbagai sumber, Selasa(3/12).
Advertisement
Advertisement
Apa Itu Rabies?
Rabies adalah penyakit virus zoonosis yang menyerang sistem saraf pusat pada hewan berdarah panas dan manusia, disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus dalam keluarga Rhabdoviridae. Penyakit ini hampir selalu berakibat fatal jika gejala klinis sudah muncul. Penularan rabies biasanya terjadi melalui gigitan atau cakaran hewan terinfeksi, dengan air liur yang mengandung virus masuk ke tubuh melalui luka atau selaput lendir. Hewan seperti anjing, kucing, kelelawar, rakun, dan rubah sering menjadi sumber penularan.
Setelah masuk ke tubuh, virus menyebar melalui saraf menuju otak dan sumsum tulang belakang, menyebabkan peradangan dan gejala neurologis seperti kelemahan otot, kesulitan menelan, perilaku agresif, halusinasi, dan kejang. Pencegahan rabies meliputi vaksinasi rutin hewan peliharaan dan menghindari kontak dengan hewan liar, serta mendapatkan perawatan medis segera setelah gigitan hewan yang dicurigai terinfeksi.
Sejarah dan Penyebaran Rabies
Rabies adalah penyakit menular yang telah dikenal sejak zaman kuno, dengan catatan tertua dari Mesir pada tahun 2300 SM. Di Indonesia, kasus rabies pertama kali tercatat pada tahun 1884 di Jawa Barat, dan sejak itu telah menyebar ke berbagai wilayah, meskipun beberapa daerah seperti Jawa, Bali, dan Papua tidak termasuk endemis.
Secara global, rabies tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat serius, terutama di negara berkembang, dengan sekitar 59.000 kematian per tahun, 95% di antaranya terjadi di Asia dan Afrika. Kesadaran dan pencegahan, seperti edukasi masyarakat dan vaksinasi hewan peliharaan, sangat penting untuk mengurangi angka kematian akibat rabies. Dengan langkah pencegahan yang tepat, diharapkan kejadian dan kematian akibat rabies dapat ditekan secara signifikan.
Advertisement
Ciri-ciri Hewan yang Terinfeksi Rabies
Pentingnya mengenali ciri-ciri hewan yang terinfeksi rabies tidak dapat diremehkan. Pengetahuan ini sangat membantu dalam mencegah penularan virus rabies yang berbahaya. Berikut adalah beberapa tanda-tanda yang perlu diperhatikan:
1. Perubahan Perilaku
Salah satu indikator utama hewan rabies adalah perubahan perilaku yang signifikan. Hewan yang biasanya ramah dapat tiba-tiba menjadi agresif tanpa alasan yang jelas. Sebaliknya, hewan liar mungkin menunjukkan sikap tidak takut terhadap manusia. Perubahan ini terjadi akibat kerusakan pada sistem saraf akibat infeksi virus rabies.
2. Hipersalivasi
Hewan yang terinfeksi rabies sering kali mengeluarkan air liur dalam jumlah berlebihan atau terlihat berbusa. Kondisi ini disebabkan oleh virus yang mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot mulut dan tenggorokan, sehingga hewan kesulitan menelan. Air liur yang menumpuk kemudian mengalir keluar, membentuk busa di sekitar mulut.
3. Hidrofobia
Ketakutan terhadap air, atau hidrofobia, merupakan gejala khas yang dapat muncul pada hewan terinfeksi rabies. Hewan yang terjangkit mungkin menolak untuk minum atau menunjukkan reaksi panik saat melihat air. Gejala ini berkaitan dengan kesulitan menelan yang disebabkan oleh kelumpuhan otot tenggorokan.
4. Perubahan Suara
Hewan yang terinfeksi rabies dapat mengalami perubahan suara. Misalnya, anjing mungkin mengeluarkan gonggongan yang tidak biasa atau terdengar serak. Perubahan ini terjadi akibat kerusakan pada pita suara yang disebabkan oleh infeksi virus.
5. Kejang dan Kelumpuhan
Dalam tahap lanjut, hewan rabies dapat mengalami kejang-kejang atau kelumpuhan progresif. Umumnya, kelumpuhan dimulai dari bagian belakang tubuh dan perlahan merambat ke depan. Hewan mungkin kesulitan untuk berjalan atau bahkan tidak mampu bergerak sama sekali.
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua hewan yang terinfeksi rabies akan menunjukkan semua gejala di atas. Beberapa hewan mungkin hanya menunjukkan satu atau dua gejala, sementara yang lain bisa menunjukkan kombinasi yang berbeda. Oleh karena itu, setiap perilaku tidak biasa pada hewan, terutama yang liar atau tidak dikenal, harus diwaspadai sebagai kemungkinan rabies.
Penyebab Rabies pada Hewan
Rabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus, yang termasuk dalam keluarga Rhabdoviridae. Virus ini memiliki bentuk menyerupai peluru dan terdiri dari RNA untai tunggal. Penting untuk memahami faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan rabies pada hewan.
Faktor Risiko Rabies pada Hewan
- Kontak dengan Hewan Terinfeksi: Kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi rabies adalah faktor risiko utama. Gigitan hewan menjadi cara penularan yang paling umum, tetapi cakaran atau jilatan pada luka terbuka juga dapat menjadi jalur masuknya virus.
- Kurangnya Vaksinasi: Hewan peliharaan yang tidak mendapatkan vaksinasi secara rutin memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi rabies. Vaksinasi adalah langkah pencegahan yang paling efektif untuk melindungi hewan domestik dari infeksi ini.
- Lingkungan dengan Populasi Hewan Liar Tinggi: Daerah yang memiliki populasi hewan liar yang banyak, seperti kelelawar, rakun, atau rubah, berisiko lebih besar terhadap penularan rabies. Hewan-hewan ini dapat menjadi reservoir alami bagi virus tersebut.
- Perubahan Habitat: Aktivitas manusia yang mengubah lingkungan dapat memaksa hewan liar untuk bermigrasi ke daerah pemukiman. Hal ini meningkatkan kemungkinan interaksi antara hewan liar dan hewan domestik, serta manusia.
- Kurangnya Pengawasan: Hewan peliharaan yang dibiarkan berkeliaran tanpa pengawasan memiliki risiko lebih tinggi untuk berinteraksi dengan hewan liar yang mungkin terinfeksi rabies.
Memahami faktor-faktor ini sangat penting untuk mencegah penyebaran rabies. Dengan langkah pencegahan yang tepat, risiko penularan dapat diminimalkan.
Advertisement
Gejala Rabies pada Manusia
Rabies adalah penyakit serius yang disebabkan oleh virus yang dapat mengancam nyawa. Gejala rabies pada manusia biasanya muncul setelah masa inkubasi yang bervariasi, mulai dari beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah terpapar virus. Memahami tahap-tahap perkembangan gejala rabies sangat penting untuk penanganan yang tepat.
Tahap Prodromal
Pada tahap awal, gejala rabies sering kali mirip dengan gejala flu, yang dapat mencakup:
- Demam
- Sakit kepala
- Kelelahan
- Mual dan muntah
- Ketidaknyamanan atau nyeri di area gigitan
Tahap Neurologis Akut
Setelah beberapa hari, gejala neurologis mulai muncul, yang menunjukkan perkembangan penyakit. Gejala ini meliputi:
- Kebingungan dan agitasi
- Halusinasi
- Hidrofobia (ketakutan terhadap air)
- Aerofobia (ketakutan terhadap udara)
- Hipersalivasi (produksi air liur berlebihan)
- Kesulitan menelan
- Kejang-kejang
Tahap Koma
Di tahap akhir, kondisi penderita semakin memburuk dan dapat mengalami:
- Koma
- Kegagalan organ multiple
- Kematian
Penting untuk dicatat bahwa setelah gejala klinis muncul, rabies hampir selalu berakibat fatal. Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan dini sangat krusial. Jika mengalami gigitan hewan yang dicurigai terinfeksi rabies, segera konsultasikan ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan perawatan yang sesuai.
Diagnosis Rabies
Diagnosis rabies, baik pada hewan maupun manusia, menghadirkan tantangan tersendiri, terutama pada tahap awal infeksi. Penting untuk mengenali metode diagnosis yang tersedia agar penanganan dapat dilakukan dengan tepat.
1. Observasi Klinis
Pada hewan, observasi perilaku dalam rentang waktu 10-14 hari setelah terjadi gigitan dapat memberikan petunjuk awal mengenai tanda-tanda rabies. Jika hewan menunjukkan gejala atau bahkan mati dalam periode tersebut, ada kemungkinan besar bahwa hewan tersebut terinfeksi rabies.
2. Tes Laboratorium
Berbagai tes laboratorium digunakan untuk mendiagnosis rabies, antara lain:
- Direct Fluorescent Antibody (DFA) Test: Metode ini merupakan standar untuk mendeteksi antigen virus rabies pada jaringan otak.
- Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR): Tes ini mampu mendeteksi RNA virus rabies dari berbagai jenis sampel.
- Rapid Immunodiagnostic Test (RIDT): Tes cepat ini dapat dilakukan di lapangan untuk mendeteksi antigen virus rabies.
3. Biopsi Kulit
Pada manusia, biopsi kulit yang diambil dari area belakang leher dapat digunakan untuk mendeteksi antigen virus rabies sebelum gejala klinis muncul. Metode ini menjadi penting dalam diagnosis dini.
4. Analisis Cairan Serebrospinal
Pemeriksaan cairan serebrospinal berfungsi untuk mendeteksi antibodi terhadap virus rabies atau RNA virus, yang dapat memberikan informasi lebih lanjut mengenai infeksi.
5. Pencitraan Otak
Penggunaan CT scan atau MRI pada otak dapat mengungkap perubahan yang menunjukkan adanya ensefalitis, meskipun hasil ini tidak spesifik untuk rabies.
Advertisement
Penanganan dan Pengobatan Rabies
Pemahaman mengenai rabies sangat penting untuk mengurangi risiko infeksi yang berpotensi fatal. Penanganan rabies dapat dibagi menjadi dua kategori utama: tindakan pencegahan setelah terpapar (post-exposure prophylaxis/PEP) dan perawatan suportif untuk kasus yang sudah berkembang. Berikut adalah penjelasan lebih mendalam mengenai kedua kategori tersebut:
1. Post-Exposure Prophylaxis (PEP)
Post-Exposure Prophylaxis (PEP) merupakan langkah penting yang harus segera diambil setelah seseorang terpapar atau diduga terpapar virus rabies. Proses PEP mencakup beberapa langkah kunci:
- Pembersihan Luka: Luka harus dicuci dengan sabun dan air mengalir selama minimal 15 menit. Tindakan ini dapat mengurangi risiko infeksi hingga 90%.
- Pemberian Imunoglobulin Rabies (RIG): RIG diberikan di sekitar luka untuk menetralkan virus sebelum tubuh memulai respons imun.
- Vaksinasi: Vaksin rabies diberikan dalam serangkaian dosis pada hari ke-0, 3, 7, dan 14 setelah paparan.
2. Perawatan Suportif
Jika gejala rabies sudah muncul, fokus perawatan beralih ke dukungan untuk mengurangi penderitaan pasien. Beberapa metode perawatan suportif meliputi:
- Pemberian sedatif untuk mengurangi kegelisahan.
- Analgesik untuk mengatasi rasa sakit.
- Antikonvulsan untuk mengontrol kejang.
- Dukungan pernapasan jika diperlukan.
- Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit.
3. Protokol Milwaukee
Protokol Milwaukee adalah pendekatan eksperimental yang pernah berhasil menyelamatkan beberapa pasien rabies. Metode ini melibatkan induksi koma dan pemberian antivirus. Namun, tingkat keberhasilannya masih sangat rendah dan menjadi bahan perdebatan di kalangan medis.
4. Pengobatan pada Hewan
Bagi hewan yang diduga terinfeksi rabies, tindakan yang biasanya dilakukan adalah:
- Isolasi dan observasi selama 10-14 hari untuk hewan domestik.
- Eutanasia untuk hewan liar atau hewan yang menunjukkan gejala jelas rabies.
Pencegahan Rabies
Pencegahan rabies merupakan upaya penting yang melibatkan berbagai strategi untuk melindungi baik hewan maupun manusia dari penyakit berbahaya ini. Berikut adalah langkah-langkah pencegahan yang perlu diterapkan:
1. Vaksinasi Hewan
Vaksinasi rutin pada hewan peliharaan, khususnya anjing dan kucing, adalah cara paling efektif untuk mencegah penyebaran rabies. Di banyak negara, vaksinasi ini menjadi kewajiban. Jadwal vaksinasi yang umum dilakukan meliputi:
- Vaksin pertama diberikan pada usia 3-4 bulan.
- Booster diberikan satu tahun setelah vaksinasi pertama.
- Vaksinasi ulang dilakukan setiap 1-3 tahun, tergantung pada jenis vaksin dan peraturan setempat.
2. Pengendalian Populasi Hewan Liar
Pengurangan populasi hewan liar di lingkungan pemukiman dapat menurunkan risiko penularan rabies. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah:
- Melaksanakan program penangkapan dan vaksinasi hewan liar.
- Memanfaatkan umpan vaksin oral untuk hewan liar.
- Melakukan manajemen sampah yang baik untuk mengurangi sumber makanan hewan liar.
3. Edukasi Masyarakat
Peningkatan kesadaran masyarakat mengenai rabies sangat penting. Edukasi ini mencakup:
- Memahami ciri-ciri hewan yang terinfeksi rabies.
- Pentingnya menghindari kontak dengan hewan liar atau hewan yang tidak dikenal.
- Tindakan yang perlu diambil jika tergigit atau tercakar oleh hewan.
4. Vaksinasi Pre-Exposure untuk Manusia
Vaksinasi pre-exposure direkomendasikan bagi individu yang memiliki risiko tinggi terpapar rabies, seperti:
- Dokter hewan dan staf klinik hewan.
- Petugas yang menangani hewan liar.
- Peneliti yang bekerja dengan virus rabies.
- Pelancong yang mengunjungi daerah endemis rabies.
5. Manajemen Luka Gigitan
Jika mengalami gigitan atau cakaran dari hewan, langkah-langkah yang harus diambil adalah:
- Segera mencuci luka dengan sabun dan air mengalir selama minimal 15 menit.
- Menerapkan antiseptik seperti povidone iodine.
- Segera mencari bantuan medis untuk evaluasi risiko dan kemungkinan pemberian PEP.
6. Karantina dan Observasi
Hewan yang diduga terinfeksi rabies perlu dikarantina dan diobservasi selama 10-14 hari. Jika hewan tersebut tetap sehat selama periode ini, kemungkinan besar tidak terinfeksi rabies saat menggigit.
Dengan menerapkan strategi pencegahan yang komprehensif, risiko penularan rabies dapat diminimalisir secara signifikan. Kewaspadaan dan edukasi yang berkelanjutan tetap diperlukan untuk memastikan keberhasilan program pencegahan rabies.