Fimela.com, Jakarta Di tengah unjuk rasa dan kecaman dari berbagai pihak, rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) resmi disahkan oleh DPR dalam sidang paripurna, Selasa (6/12/2022) di Jakarta.
Selama kurang lebih empat tahun terakhir, RKUHP telah menjadi polemik. Pada 2019, masyarakat sipil menggelar demo besar-besaran agar RKUHP tersebut tidak disahkan.
RKUHP ditolak karena banyak muatan pasal karet dan membuat warga sipil, termasuk perempuan, semakin rentan dikriminalisasi. Sebut saja pidana mati, kontrasepsi darurat hingga, penghinaan presiden dan pemerintah.
Advertisement
Pengesahan RKUHP juga menjadi tanda dicederainya demokrasi di Indonesia. Lantas, apa saja pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP? Berikut Fimela rangkum selengkapnya.
Advertisement
1. Pasal Penghinaan Presiden dan Pemerintah
Di RKUHP terdapat pasal-pasal yang mengatur ancaman pidana bagi yang melakukan penghinaan terhadap presiden dan pemerintah atau lembaga negara. Tindak pidana yang menghina Presiden dan/atau Wakil Presiden tercantum dalam pasal 218 dengan ancaman penjara paling lama tiga tahun.
“Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV,” bunyi pasal 218.
Adapun penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara seperti yang termuat di pasal 240 ayat 1, bakal terancam penjara paling lama satu tahun enam bulan. Pidana juga bisa diperberat jika terjadinya kerusuhan dalam masyarakat. Tindak pidana tersebut hanya bisa dituntut berdasarkan delik aduan.
Pasal-pasal tersebut berpotensi jadi pasal karet yang mengkriminalisasi mereka yang kritis terhadap kinerja presiden maupun pemerintah. Ini jelas tanda buruk untuk demokrasi kita.
2. Pasal Tentang Edukasi Kontrasepsi
Dalam pasal 408-410, membahas mengenai hukum tentang mempertunjukan atau menawarkan alat pencegah kehamilan dan alat pengguguran kandungan “pada anak”. Bagi yang melanggar diancam dengan pidana Rp1 juta.
“Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori,” bunyi pasal 408.
Pasal 410 mengatur tentang pengecualian untuk pasal 408, yakni yang tidak dipidana adalah jika edukasi kontrasepsi tersebut dilakukan oleh petugas berwenang.
“Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan,” bunyi pasal 410.
Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi perempuan maupun siapa saja yang melakukan edukasi kesehatan reproduksi selain mereka yang resmi dan ‘diperbolehkan’. Ini juga seolah menjegal upaya pendidikan seksual pada anak-anak terkait kontrasepsi darurat dan pendidikan kesehatan reproduksi karena edukator khawatir akan dikriminalisasi oleh pasal tersebut.
Advertisement
3. Pasal Kohabitasi dan Perzinaan
Pasal kontroversial lainnya adalah pasal kohabitasi atau tinggal bareng sebagai suami istri di luar perkawinan dapat dipidana paling lama enam bulan. Bukan hanya itu saja, perbuatan yang disebut perzinahan atau persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istri juga akan dipidana paling lama setahun.
Meski bersifat delik aduan, pasal ini berpotensi mengkriminalisasikan pasangan suami istri yang tidak terikat secara hukum. Seperti perkawinan adat atau perkawinan agama. Pasal tersebut juga berpotensi mempidanakan korban kekerasan seksual.
4. Pasal Demonstrasi
Draf RKUHP juga memuat ancaman pidana enam bulan atau denda bagi penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan. Pasal ini dikritik karena bisa dengan mudah mengkriminalisasi dan membungkam kebebasan berpendapat.
Padahal, menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998.
Advertisement
5. Pasal Living Law atau Hukum yang Hidup di Masyarakat
Aturan ini dinilai merampas kedaulatan masyarakat adat yang berpotensi menjadikan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Jadi, pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri, melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa dan hakim. Hal ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri.
Selain itu, aturan ini juga mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya. Seperti diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan.
6. Pasal Pidana Denda
Dalam pasal 81, memuat aturan jika pidana denda tidak dibayarkan, maka kekayaan atau pendapatan terpidana bisa disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak terbayar. Jika setelah penyitaan dan pelelangan masih belum terpenuhi, maka sisa denda dapat diganti dengan pidana penjara, pidana pengawasan atau pidana kerja sosial.
Pasal tersebut menjadi masalah lantaran akan membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana akan diincar harta bendanya. Termasuk orang miskin.
Advertisement
7. Pasal Pidana Mati
Pasal pidana mati sudah banyak dikritisi, bahkan tidak berlakukan lagi di beberapa negara. Namun hukuman mati tetap dipertahankan di RKUHP. Padahal hukuman mati sudah terbukti tak terlalu efektif menimbulkan efek jera. Selain itu, banyak kasus telah terjadi dalam pidana mati yakni kesalahan penjatuhan hukuman yang baru diketahui, ketika telah dieksekusi.
8. Contempt of Court
Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi advokat yang melawan penguasa mengingat tidak ada penjelasan secara eksplisit soal frasa “penegak hukum”. Pasal ini juga dinilai mengekang kebebasan pers mengingat ada larangan publikasi proses persidangan secara langsung.
Sementara itu, undang-undang KUHP baru akan berlaku tiga tahun sejak disahkan. Bagi masyarakat yang ingin mengkritisi pasal-pasal dalam KUHP yang baru disahkan, DPR mempersilakan masyarakat untuk menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi.