Fimela.com, Jakarta Sejak 2016 diperjuangkan, akhirnya Indonesia memiliki undang-undang Tindak Pidana Kekerasan. Setelah DPR-RI mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang diumumkan dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani.
Adapula sembilan kekerasa seksual yang diatur di UU TPKS, seperti pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan strelisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis eklektronik.
Advertisement
BACA JUGA
Salah satu RUU TPKS juga membahas pelaku kekerasan seksual wajib membayar restitusi atau ganti rugi kepada korban yang tertuang dalam pasal 30-37.
Melansir Liputan6.com, Pasal 30 ayat 1 disebutkan bahwa korban tindak pidana kekerasan seksual berhak mendapatkan restitusi atau ganti rugi dan layanan pemulihan.
“Restitusi dimaksud dapat berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana kekerasan seksual,” demikian kutipan pasal 30.
Advertisement
Pasal 31-33
Selanjutnya pada pasal 31 disebutkan bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim wajib memberitahukan hak atas restitusi kepada korban dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
“Restitusi dapat dititipkan terlebih dahulu di kepaniteraan pengadilan negeri tempat perkara diperiksa,” demikian kutipan pasal 31.
Pada Pasal 1 nomor 20 RUU TPKS, definisi restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku kekerasan seksual atau pihak ketiga berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, atas kerugian materiel dan/atau imateriel yang diderita Korban atau ahli warisnya.
Pasal 32
Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dikembalikan kepada pelaku dalam hal:
a. perkara tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana; dan/atau
b. berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Pasal 33
(1) Restitusi diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima.
(2) Jaksa menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memuat pemberian Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada terpidana, korban, dan LPSK dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak salinan putusan pengadilan diterima.
(3) Dalam hal pelaksanaan pemberian Restitusi kepada pihak Korban tidak dipenuhi sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.
(4) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi Restitusi untuk segera memenuhi kewajiban memberikan Restitusi kepada Korban atau ahli warisnya.
(5) Hakim dalam putusan memerintahkan jaksa untuk melelang sita jaminan Restitusi sepanjang tidak dilakukan pembayaran Restitusi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(6) Dalam hal Restitusi yang dititipkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dan harta kekayaan terpidana yang dilelang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melebihi jumlah Restitusi yang diputuskan atau ditetapkan pengadilan, jaksa mengembalikan kelebihannya kepada terpidana.
(7) Jika harta kekayaan terpidana yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi biaya Restitusi, terpidana dikenai pidana penjara pengganti tidak melebihi ancaman pidana pokoknya.
(8) Dalam hal terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan Korporasi, dilakukan penutupan sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan usaha Korporasi paling lama 1 (satu) tahun.
(9) Pelaksanaan pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dilakukan dengan memperhitungkan Restitusi yang telah dibayar secara proporsional.
Pasal 34-37
Pasal 34
Jaksa membuat berita acara pelaksanaan Restitusi dan disampaikan kepada:
a. Korban dan Keluarga Korban;
b. penyidik; dan
c. pengadilan.
Pasal 35
(1) Dalam hal harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (7), negara memberikan kompensasi sejumlah Restitusi yang kurang bayar kepada Korban sesuai dengan putusan pengadilan.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan melalui Dana Bantuan Korban.
(3) Dana Bantuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperoleh dari filantropi, masyarakat, individu, tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat serta anggaran negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan mengenai sumber, peruntukan, dan pemanfaatan Dana Bantuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Terhadap perkara yang dikesampingkan demi kepentingan umum atau dihentikan demi hukum, untuk sita Restitusi atau Restitusi yang dititipkan berupa barang, dimintakan penetapan kepada ketua pengadilan negeri untuk dilakukan lelang.
(2) Dalam hal perkara dikesampingkan demi kepentingan umum, permintaan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Jaksa Agung.
(3) Dalam hal perkara dihentikan demi hukum pada tahap penyidikan, permintaan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyidik melalui penuntut umum.
(4) Dalam hal perkara dihentikan demi hukum pada tahap penuntutan, permintaan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penuntut umum.
(5) Pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat sesuai dengan tahapan pemeriksaan perkara.
(6) Dalam hal telah dilakukan lelang oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), hasil lelang digunakan untuk pembayaran Restitusi dengan memperhitungkan penilaian LPSK.
Pasal 37
Dalam hal pelaku adalah Anak, pemberian Restitusi dilakukan oleh orang tua atau wali.
#women for women