Fimela.com, Jakarta Favipiravir merupakan salah satu obat untuk Covid-19 yang mendapatkan izin penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Obat tersebut sudah ada sejak tahun 2014 di Jepang dan baru familiar di masyarakat pada saat munculnya pandemi Covid-19.
BACA JUGA
Advertisement
Dikutip dari Liputan6.com, Belakangan ini ada kasus viral yang di informasikan masyarakat melalui media sosial tentang kuku salah satu penyitas Covid-19 yang mengonsumsi Favipiravir menyala saat disinari Ultraviolet (UV). Anton Sony Wibowo selaku Dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, dan Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM menanggapi viralnya informasi tersebut.
Advertisement
Jangan langsung percaya
Anton Sony Wibowo Dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, dan Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM meminta masyarakat tidak langsung percaya dengan unggahan maupun pesan yang beredar terkait fluoresensi pada kuku maupun rambut manusia karena mengonsumsi favipiravir. Anton menyatakan secara klinis di rumah sakit belum pernah menemukan fenomena fluoresensi atau terpancarnya sinar oleh suatu zat yang telah menyerap sinar atau radiasi elektromagnetik lain pada kuku atau rambut manusia akibat mengonsumsi obat favipiravir.
Favipiravir adalah obat yang menghambat replikasi virus
Anton mengatakan terkait kasus ini secara ilmiah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode yang lebih baik. Selain itu, juga perlu dilakukan meta analisis untuk mengetahui level of evidence dari laporan kasus tersebut. Anton menjelaskan favipiravir merupakan salah satu antivirus yang digunakan pada pengobatan Covid-19. Obat Favipiravir ini merupakan salah satu obat dengan mekanisme kerja sebagai ribonucleotide analog dan menghambat RNA polimerase pada virus sehingga akan menghambat replikasi virus.
"Jadi konsumsi favipiravir akan menghambat perkembangbiakan virus Covid-19 dalam tubuh pasien sedangkan adanya fluoresensi pada tubuh manusia karena penggunaan favipiravir masih perlu penelitian lebih mendalam lagi," terang dosen FKKMK UGM ini.
*Penulis : Saffa Sabila.