Fimela.com, Jakarta UU Cipta Kerja menimbulkan polemik setelah pemerintah diminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbaikinya. MK menyatakan jika Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan," jelas Ketua MK Anwar Usman saat membacarakan amar putusan, Kamis (25/11) melansir Liputan6.com, Jumat (26/11).
Putusan ini bakal berdampak terhadap sejumlah aturan turunan, seperti Undang-Undang tentang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) dan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) di 2022. Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah lantas mempertanyakan nasib kenaikan UMP tahun depan sebesar 1,09 persen, yang telah dirangkum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Advertisement
"Misalnya tentang upah minimum pekerja (UMP). Itu kan dinyatakan enggak berlaku kalau UU Cipta Kerja dinyatakan tidak berlaku. Dasarnya itu (UU Cipta Kerja), terus gimana?" ucapnya kepada Liputan6.com, Jumat (26/11/2021).
"Sekarang pertanyaannya terus kalau itu batal, apa UMP-nya batal semua? Rentetannya jadi kan begitu," ujar Trubus.
Advertisement
Jadi Carut Marut
Selanjutnya soal UU HPP, yang sempat mendapat tentangan dari berbagai pihak karena memakai metode Omnibus Law karena turut mengacu pada UU Cipta Kerja. Trubus pun geram dengan sikap MK yang untuk pertama kalinya mengabulkan uji formil pada suatu regulasi besar.
"Ini putusan Mahkamah Konstitusi jadi carut marut, karena membenturkan antara masyarakat yang menghendaki perubahan vs pemerintah yang menghendaki ini," keluhnya.
"Kalau memang itu bertentangan dengan UUD 1945, yaudah dibatalkan aja, dan dinyatakan yang berlaku undang-undang sebelumnya," tegas dia.
#ElevateWomen