Fimela.com, Jakarta Siapa yang tak kenal Celine Dion? Penyanyi dan diva pop terkenal asal Kanada ini dikenal dengan kemampuan vokalnya yang kuat dan teknik vokal yang terampil. Ia juga dikenal karena menyanyikan lagu tema film "My Heart Will Go On" dari film "Titanic" yang meraih Grammy dan Oscar.
Namun, dalam film dokumenter terbarunya berjudul "I Am: Celine Dion" yang ditayangkan perdana pada 25 Juni 2024 di platform layanan streaming Prime Video, para penggemar ditunjukkan oleh sisi lain sang diva. Celine Dion berbagi kisah perjalanan hidupnya, termasuk perjuangannya melawan Stiff Person Syndrome (SPS) dan tekadnya untuk terus menjadi penyanyi.
Film ini memberikan wawasan tentang tantangan yang dihadapinya akibat kondisi tersebut, termasuk kejang otot yang parah yang telah mempengaruhi kemampuannya berbicara dan bergerak. Celine Dion juga mengucapkan terima kasih kepada dokternya, Dr. Amanda Piquet, dan Irene Taylor Brodsky sebagai pembuat film dokumenter. Lantas, seperti apa Stiff Person Syndrome ini?
Advertisement
Advertisement
Mengenal Stiff Person Syndrome, Penyakit Langka yang Diderita Celine Dion
Sebuah Penyakit Langka
Adapun Stiff Person Syndrome adalah penyakit neurologis langka yang ditandai dengan kekakuan otot progresif dan episode berulang kejang otot. Penyakit ini memengaruhi sistem saraf pusat, seperti otak dan sumsum tulang belakang. Gejala yang mungkin terjadi termasuk kekakuan otot pada bagian tubuh seperti batang tubuh (torso), lengan, dan kaki. Kekakuan otot ini sering kali fluktuatif, memburuk dan kemudian membaik, dan biasanya terjadi bersamaan dengan kejang otot yang menyakitkan.
Penyebab pasti Stiff Person Syndrome belum diketahui dengan pasti, namun diyakini berkaitan dengan gangguan autoimun. Sebagian besar penderita SPS memiliki antibodi terhadap enzim glutamat asam dekarboksilase (GAD), yang terlibat dalam produksi neurotransmitter penghambat yang disebut asam gamma-aminobutirat (GABA). GABA membantu mengontrol gerakan otot. Stiff Person Syndrome dapat memburuk seiring waktu dan mempengaruhi postur tubuh.
Pengobatan untuk Stiff Person Syndrome dapat meliputi terapi dengan imunoglobulin intravena (IVIg) yang terbukti efektif dalam mengurangi kekakuan otot, sensitivitas terhadap suara, sentuhan, dan stres, serta meningkatkan kemampuan berjalan dan keseimbangan. Selain itu, terapi fisik dan pengobatan pendukung lainnya juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup penderita SPS.
Stiff Person Syndrome adalah kondisi yang langka, hanya memengaruhi sekitar satu atau dua dari sejuta orang. Meskipun belum ada obat yang dapat menyembuhkan SPS, pengetahuan tentang kondisi ini semakin meningkat berkat perhatian yang diberikan pada kasus Celine Dion. Hal ini dapat berkontribusi pada upaya penelitian lebih lanjut untuk memahami penyakit ini dan mencari terapi yang lebih efektif.
Apakah Stiff Person Syndrome Bisa Menular?
Sisi positifnya, Stiff Person Syndrome (SPS) bukanlah penyakit menular. SPS merupakan kelainan neurologis autoimun yang tergolong langka dan tidak disebabkan oleh infeksi atau penularan dari satu individu ke individu lainnya. Kondisi ini terkait dengan gangguan sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan serangan otot yang tiba-tiba dan berkelanjutan. Oleh karena itu, tidak ada risiko penularan SPS dari satu individu ke individu lainnya.
Mengenal Stiff Person Syndrome, Penyakit Langka yang Diderita Celine Dion
Diagnosa Stiff Person Syndrome
Stiff Person Syndrome (SPS) termasuk penyakit neurologis langka yang sulit didiagnosis karena gejalanya yang mirip dengan kondisi lain. Diagnosis SPS membutuhkan waktu dan beberapa tes. Jika dokter mencurigai bahwa gejala yang kamu alami disebabkan oleh SPS misalnya, maka dokter akan meninjau riwayat medismu secara detail, melakukan pemeriksaan fisik, dan melakukan serangkaian tes diagnostik.
SPS pertama kali dijelaskan oleh Frederick Moersch dan Henry Woltman pada tahun 1956. Mereka mengamati 14 kasus selama 32 tahun dan menggambarkan penyakit ini sebagai "stiff-man syndrome". Kriteria diagnostik klinis dikembangkan oleh Gordon dkk. pada tahun 1967. SPS adalah gangguan neurologis yang jarang terjadi dan berkaitan dengan kekakuan dan kejang otot yang progresif. Penyebab pasti SPS belum diketahui dengan jelas, namun diyakini terkait dengan gangguan autoimun.
SPS sering kali disalahdiagnosis sebagai penyakit Parkinson, multiple sclerosis, fibromialgia, gangguan psikosomatik, atau kecemasan. Diagnosis SPS dapat dikonfirmasi melalui tes darah yang mengukur tingkat antibodi glutamat asam dekarboksilase (GAD). Kebanyakan penderita SPS memiliki tingkat antibodi GAD yang tinggi. Tes titer antibodi penting untuk diagnosis SPS.
Pengobatan SPS bertujuan untuk mengurangi kekakuan otot dan mengelola gejala. Terapi dengan imunoglobulin intravena (IVIg) telah terbukti efektif dalam mengurangi kekakuan otot dan sensitivitas terhadap suara, sentuhan, dan stres. Terapi fisik dan pengobatan pendukung lainnya juga dapat membantu meningkatkan kualitas hidup penderita SPS.
Faktor Risiko Stiff Person Syndrome
1. Penyakit Autoimun
SPS terkait dengan gangguan autoimun dalam tubuh, yang menyebabkan sistem kekebalan menyerang sel-sel sehat tanpa alasan yang jelas. Beberapa penyakit autoimun seperti diabetes, gangguan tiroid, vitiligo, dan anemia pernisiosa dapat meningkatkan risiko seseorang terkena SPS.
2. Faktor Genetik
Terdapat indikasi bahwa faktor genetik juga dapat memainkan peran dalam perkembangan SPS. Wanita juga diketahui lebih rentan terkena SPS dibandingkan dengan pria.
3. Rangsangan Lingkungan
Beberapa faktor pemicu timbulnya gejala SPS meliputi rangsangan lingkungan seperti suara yang keras atau tekanan emosional. Kondisi ini juga dapat meningkatkan respons terhadap rangsangan seperti suara dan cahaya.
Meskipun faktor-faktor ini dapat meningkatkan risiko terkena SPS, tetapi penyebab pasti SPS masih belum diketahui secara pasti, dan hanya sekitar satu dari satu juta orang yang pernah mengalami kondisi ini.
Pengobatan Stiff Person Syndrome
Pengobatan untuk Stiff Person Syndrome (SPS) didasarkan pada gejala yang dialami oleh pasien. Berikut adalah beberapa pendekatan pengobatan yang dapat dilakukan:
1. Terapi Obat
Dokter spesialis saraf mungkin akan meresepkan terapi obat-obatan untuk mengelola gejala SPS. Ini termasuk penggunaan obat diazepam oral, yang berfungsi sebagai anti-cemas dan pelemas otot. Selain itu, obat pereda kejang otot seperti baclofen dan gabapentin juga dapat diresepkan.
2. Imunoglobulin Intravena (IVIg)
Sebuah studi yang didanai oleh National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) menunjukkan bahwa pengobatan IVIg efektif untuk mengurangi kekakuan serta kepekaan pasien terhadap stres, kebisingan, dan sentuhan. IVIg juga dapat membantu memperbaiki keseimbangan pada pasien SPS.
3. Terapi Fisik
Terapi fisik dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita SPS dengan meningkatkan kemampuan berjalan dan bergerak.
Namun, yang perlu dipahami pengobatan SPS harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien, dan dokter yang merawat akan menentukan pengobatan yang paling sesuai berdasarkan gejala yang dialami.