Fimela.com, Jakarta Perkembangan teknologi di era industri 4.0 memiliki beragam pengaruh pada kehidupan manusia. Tidak hanya penggunaan elektronik, hadirnya teknologi informasi, mulai dari penggunaan kecerdasan buatan, otomasi, hingga realitas virtual, seolah mewarnai segala faktor kehidupan. Batasan antara teknologi, fisik, dan dunia digital pun menjadi semakin luas.
Tak bisa dipungkiri, sejak pandemi Covid-19 berakhir, fase dan cara kerja manusia memang telah berubah. Peningkatan penggunaan teknologi jarak jauh dan platform digital membuat banyak orang harus beradaptasi secara cepat. Proses adaptasi inilah yang sering kali membawa friksi sehingga menimbulkan rasa ketidakpastian dan cemas karena perubahan sosial, ekonomi, dan industri.
Belum lagi peran media sosial yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita. Meski dapat menjadi suatu informasi baru, namun media sosial juga turut menjadi sumber stres dan pemicu rasa cemas. Tekanan untuk menampilan gaya hidup sempurna dari hasil instan, bahkan kecenderungan untuk melakukan polarisasi sosial di media sosial meciptakan lingkungan yang tidak sehat secara mental. Hal ini juga akan berpengaruh ke kehidupan bakri digital, seperti media sosial, aplikasi pesan instan, dan owner konten online.
Advertisement
Svida Alisjahbana, Publisher Jivaraga mengatakan, “Sejak Jivaraga hadir di tahun 2023 lalu, sebagian besar pengunjungnya yang datang dan mengikuti berbagai kelas kami adalah generasi millennial dan zillenial. Mereka mencari ‘me time’ untuk menenangkan diri sambil menyerap jawaban atas segala pertanyaan yang membuat dirinya cemas.”
Advertisement
Beradaptasi dengan dunia digital bersama Jivaraga
Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9%) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5%) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6% yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku. Sedangkan data yang dihimpun oleh Jakpat (Jajak Pendapat) pada 2022 lalu menunjukkan bahwa gen Z memang menjadi generasi yang paling banyak merasa memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan generasi X (1965–1980) dan generasi Milenial (1981–1996). Lebih lanjut, setidaknya terdapat 59,1% Gen Z yang merasa memiliki masalah kesehatan mental, sementara generasi milenial hanya sebanyak 39,8% dan Gen X 24,1%.
“Kondisi kesehatan mental yang buruk tidak boleh dibiarkan dan perlu ditangani sejak dini. Jika dibiarkan, problema tersebut akan mempengaruhi kondisi seseorang sehingga mudah mengalami tekanan emosional dan psikologis yang signifikan,” jelas Cindy Gozali, Leadership and Mindfulness Coach, Founder dan CEO Jivaraga.
Menurunnya kondisi kesehatan mental dapat diakibatkan oleh teknologi digital yang tidak disaring secara bijak. Akibatnya timbullah tekanan, stres, hingga depresi karena tidak bisa mengikuti “standar” yang ditetapkan oleh orang lain atau komunitas terdekatnya, mulai dari gaya hidup yang sesuai, pendidikan, tingkat ekonomi keluarga, arti kebahagiaan, hingga keberhasilan seseorang di dunia kerja.
“Banyak orang yang berkonsultasi kepada saya seolah membuat standar ‘kompetisi’ baru akan apa yang mereka lihat di media sosial. Jika kita ingin tenang dan bahagia, kompetisi yang harus kita ciptakan bukanlah kompetisi atas kehidupan orang lain. Melainkan kompetisi terhadap diri kita di masa lalu sesuai dengan Human Design yang dimiliki setiap orang ketika ia dilahirkan. Tujuannya agar bisa menjadi sosok yang lebih baik versi kita sendiri, sekecil apapun langkah yang kita buat,” ujar Tsamara Farhana, Human Design Coach dan Meditation Teacher yang merupakan salah satu praktisi Jivaraga.
Sementara itu Aldini Pratiwi, Cht, seorang Spiritual Life Coach and Quantum Healing Facilitator menyatakan, media digital dan media sosial yang lekat dengan kehidupan manusia saat ini sebenarnya adalah refleksi dari diri kita sendiri. Cara pandang, cara seseorang bersikap, dan konten yang mempengaruhi pola pikir kita, bisa dengan mudah ‘dibaca’ dari media digital yang kita ikuti. “Bijaklah menggunakan teknologi. Jika kita merasa tidak nyaman, segera ambil sikap dan kontrol atas diri kita sendiri. Beri batasan, beri jeda, bukalah hal baru yang memberi aspek positif. Lihat kembali ke dalam diri dan dengarkan apa yang sebenarnya kita butuhkan,” tutupnya.
Temukan kedamaian dan kebahagiaan bersama Jivaraga
Dra Laurina Pane, Psikolog serta praktisi Access Bars di Jivaraga, menyatakan salah satu solusi komprehensif untuk mendapatkan kesehatan mental yang sejahtera adalah dengan menemukan komunitas yang tepat. Jadilah diri sendiri, temukan potensi diri, dan terbukalah terhadap berbagai pengalaman baru. Kuncinya, temukan berbagai hal yang mampu membuat kita merasa utuh. Dengan demikian, kita akan terhindar dari isu-isu kesehatan mental.
“Hadirnya Jivaraga di pusat Jakarta merupakan solusi komprehensif untuk membantu meraih kehidupan yang seimbang. Ada empat pilar utama yang diangkat Jivaraga untuk mewujudkan hal itu yaitu pikiran, jiwa, tubuh, dan komunitas. Keempat pilar ini harus berkesinambungan dan saling melengkapi untuk mewujudkan kesejahteraan mental, “ jelas Silvia Basuki, Founder & Chief Operation Officer sekaligus Family Constelation Therapist, Jivaraga.
Itulah sebabnya ada banyak kelas di Jivaraga yang bisa menjadi preferensi bagi setiap orang untuk berkomunikasi ke dalam dirinya. Mulai dari Qi Gong, Sound Therapy, Yoga, Meditasi, Access Bars, Family Constellation, Human Design, Quantum Healing, Energetic Facelift, Sound Therapy, Reiki, hingga Holistic Therapy yang bisa dilakukan dengan sistem 1-1 Private, ataupun Private Group.
Setidaknya, tersedia lebih dari 70 kelas dalam sebulan yang bisa dicoba dengan harga kelas mulai dari Rp 200.000,- per sesi. Agar setiap orang dapat memiliki akses merawat kesehatan mentalnya, Jivaraga juga menyediakan program Unlimited Membership Class seharga Rp 1.500.000 per bulan atau setara dengan Rp 50.000 per kelas.
Penulis: Miftah DK
#Unlocking The Limitless