Fimela.com, Jakarta Virus Marburg sebabkan meninggal dunia akibat gejala yang tidak menyenangkan seperti demam, lelah, diare, hingga muntah darah. Virus ini ditemukan di Equatoral Guinea yang merupakan satu golongan virus yang sama dengan Ebola, yakni filovirus (Filoridae). Penularan virus ini mulai dari kelelawar ke manusia.
Virus Marburg tersebar antar manusia melalui cairan tubuh orang yang terinfeksi dan pada permukaan yang kontak dengan cairan tersebut seperti spray.
Dikutip dari Liputan6.com, "Virus Marburg sangat menular," kata Direktur Regional WHO untuk Afrika, Matshidiso Moeti. Menanggapi virus yang mematikan ini, Equatorial Guinea bergerak cepat dalam mengonfirmasi serta tanggap darurat sehingga bisa menghentikan virus dengan segera, ungkap Moeti mengutip NY Post, pada Kamis, 16 Februari 2023.
Advertisement
Advertisement
Gejala Virus Marburg
WHO mengungkapkan saat seseorang terinfeksi virus Marburg pasien mengalami gejala hemoragik parah selama tujuh hari.
Setelah berhari-hari terinfeksi, pasien akan memiliki mata cekung, wajah tanpa ekspresi, lesu ekstrem.
Pada kasus fatal, biasanya seseorang bisa mengalami gejala virus Marburg sampai muntah darah dan pendarahan pada hidung, gusi, dan vagina.
WHO Kirim Ahli Medis
WHO sudah mengirim ahli medis dan peralatan pelindung untuk membantu bisa mencegah penularan virus Marburg. Jangan sampai penularan tersebut meluas ke negara lain.
Sementara itu, Kamerun yang berbatasan dengan Equatorial Guinea mendapati suspek yang dicurigai menderita virus Marburg pada Senin kemarin. Maka dari itu, pengawasan di perbatasan negara tersebut diketatkan.
"Pengawasan di lapangan telah ditingkatkan," kata perwakilan WHO di Equatorial Guinea, George Ameh.
"Kami telah mengerahkan kembali tim COVID-19 yang ada di sana untuk pelacakan kontak kasus virus Marburg dan dengan cepat memasangnya kembali untuk benar-benar membantu kami," kata Ameh.
Virus Marburg Bukan Penyakit Baru
Wabah penyakit ini bermula pada 1967 di Kota Marburg, Jerman serta di Belgrade, Serbia. Penyakit ini pun diberi nama sesuai kota tempat pertama ditemukan.
“Penyakit ini bermula dari penelitian pada monyet dari Uganda yang diperiksa di Lab di Jerman. Jadi ini bukan penyakit baru,” kata Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama dalam keterangan tertulis yang diterima Health Liputan6.com, Rabu (15/2/2023).
Tjandra menambahkan, angka kematian akibat penyakit ini memang tinggi, berkisar dari 25 sampai 80 persen dan belum ada obat serta vaksinnya.
#Breaking Boundaries