Fimela.com, Jakarta Kebijakan pelabelan BPA (bispehnol A) pada air minum dalam kemasan galon yang diinisiasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dibahas oleh pakar lintas keilmuan. Yakni pakar nutrisi dan polimer dalam diskusi bertajuk ‘Regulasi Pelabelan Galon: Urgensi Kebutuhan Hidrasi dan Bahaya Diskriminasi’.
Kontrovesi terkait hal tersebut di kalangan akdemisi dinilai dari draft kebijakan pelabelan BPA yang dinilai cenderung diskriminatif sampai mengesampingkan kepentingan publik lainnya, yaitu kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat. Narasi perlindungan kesehatan publik yang menjadi dasar kebijakan pelabelan BPA tersebut juga dinilai tidak memenuhi urgensi.
Advertisement
“Terkait kandungan BPA pada kemasan pangan sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng. BPA juga ada pada lapisan kaleng atau karton kemasan makanan. Dari berbagai penelitian, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng danhanya sedikit dari kemasan air minum. Jadi bila mau ada pelabelan BPA harusnya dimulai pada kemasan makanan kaleng dulu,” jelas Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS., Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB).
Sejumlah fakta yang ada di antaranya, kebutuhan konsumsi air minum masyarakat Indonesia masih bergantung dari AMDK dengan suplai 29 miliar liter per tahun. Sementara menurut data UNICEF hampir 70% sumber air minum bagi rumah tangga Indonesia tercemar limbah feses.
Ini diperkuat hasil studi Kementerian Kesehatan, Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) yang dilakukan pada 2020, menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air terkontaminasi bakteri E. coli.
“Kemenkes merekomendasikan kebutuhan air dalam sehari yaitu sekitar 8 gelas per hari. Betapa air memang sangat penting. Air harus aman dikonsumsi dengan syarat yang terbagi jadi dua garis besar yaitu, secara fisik dan kandungan. Secara fisik air tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. Adapun secara kandungannya, harus bebas dari cemaran dan mikroba berbahaya. Dalam gaya hidup masyarakat dengan mobilitas tinggi seperti saat ini, kebutuhan tersebut dipenuhi oleh air mineral kemasan, dalam hal ini kemasan galon di rumah tangga juga,” ujar Prof. Sulaeman.
Advertisement
Mengkritik Narasi
Kendati begitu, timbul kegaduhan di masyarakat melalui narasi, risiko kesehatan pada kemasan galon guna ulang bahan polikarbonat yang mengandung BPA. Ahli Polimer dari Institut TeknologiBandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, pada kesempatan yang sama mengkritik narasi yang dibangun tersebut.
“Jadi kalau sekarang isunya BPA berbahaya atau berisiko untuk kesehatan, jangan hanya mendengar namanya lalu percaya kalau itu berbahaya. Terkait bahaya, harus melihat empat faktor. Jangan hanya menyebut nama zat tertentu lalu dikategorikan tidak boleh. Itu pemikiran yang salah dan terlalu primitif. Harus disebutkan tiga faktor lainnya yakni, konsentrasi, populasi,dan lama kontak. Baru bisa ditetapkan sebagai tanda bahaya,” ujar Zainal.
Ia menambahkan juga bahwa regulator perlu mengambil keputusan berdasarkan fakta-fakta ilmiah. “Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betul-betul teredukasi,” terang Ir. Akhmad Zainal.
Kemasan galon guna ulang berbahan polikarbonat diketahui sudah digunakan lebih dari 38 tahun di Indonesia. Sampai hari ini, para ahli seperti Prof. Sulaeman maupun Ir. Akhmad Zainal sepakat, belum pernah mendengar ada orang yang meninggal atau sakit akibat keracunan air minum dari galon polikarbonat.
“Polikarbonat itu adalah plastik yang aman, dan terkategori sebagai food grade. BPA sendiri sudah lolos dari uji 34 macam bahan yang dikategorikan berbahaya untuk makanan,” terang Ir. Akhmad Zainal.
Tanpa adanya urgensi dan kecenderungan diskriminatif terhadap salah satu kemasan air minum, membuat para ahli seperti Prof. Sulaeman menyimpulkan, kebijakan pelabelan BPA pada galon belum perlu.
“Rasanya masih terlalu dini, tidak perlu buru-buru. Belum ada data untuk mendukung hal tersebut,” ujar Prof. Sulaeman.
Salah kaprah lain terkait kebijakan ini adalah kekeliruan rencana melabeli kemasan galon plastik sekali dengan label bebas BPA. “Karena memang bahan baku kemasan galon sekali pakai PET bukan BPA. Jadi yang perlu ditulis pada kemasan itu adalah mengandung Etilen Glikol, karena bahan baku PET itu Etilen Glikol, juga ada tambahan zat lainnya yakni, antimon. Sebenarnya ada kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan plastik sekali pakai. Tapi kemudian tiba-tiba mendorong penggunaan galon sekali pakai. Itu kan tidak rasional,” pungkas Ir. Akhmad Zainal.