Fimela.com, Jakarta Kabut otak atau brain fog menjadi salah satu keluhan yang dialami oleh sebagian penyintas COVID-19. Gejala kabut otak yang dirasakan beberapa individu yaitu berupa tidak dapat berpikir jernih dan cepat, menjadi pelupa, hingga sulit konsentrasi. Hal ini dialami meskipun mereka sudah dinyatakan pulih dari infeksi virus COVID-19.
Dilansir dari Liputan6.com. meski keluhan ini dirasakan oleh sebagian penyintas COVID-19, diketahui juga bahwa fenomena kabut otak tidak terbatas pada kasus COVID-19 saja. Konsultan senior di Departemen Neurologi National Neuroscience Institute, Professor Kevin Tan, menjelaskan, Brain fog (kabut otak) adalah istilah awam yang menggambarkan proses berpikir yang lambat yang memengaruhi memori, konsentrasi dan/atau kejernihan mental. Ini adalah gejala yang dilaporkan sendiri dan definisinya bisa bervariasi antar individu dan dokter.
Professor Kevin Tan menambahkan, kabut otak juga dapat disebabkan oleh kondisi kehamilan, menopause, serta pemulihan dari infeksi lain atau cedera kepala minor. Selain itu, efek samping dari pengobatan tertentu seperti kemoterapi juga dapat menjadi salah satu penyebab kabut otak.
Advertisement
Advertisement
Bagaimana Kabut Otak Bisa Terjadi?
Melansir dari Liputan6.com, Profesor Neurpsikologi, Kamini Khrisnan menjelaskan di situs Cleveland Clinic bahwa kemungkinan kabut otak terjadi akibat badai sitokin. Ketika mengalami infeksi seperti COVID-19, tubuh membanjiri aliran darah dengan protein inflamasi yang dikenal sebagai sitokin untuk menargetkan virus. Namun kelemahannya, itu bisa meningkatkan respons sistem imun yang dapat menyebabkan peradangan lebih lanjut pada organ-organ seperti otak.
Profesor Tan juga mengatakan bahwa kabut otak tidak ada kaitannya dengan faktor usia dan gender. Menurut penelitian, lebih dari 3.000 orang dari 56 negara, timbulnya kabut otak terjadi pada sekitar 31 persen responden pada minggu pertama gejala COVID-19. Ini memburuk selama tiga bulan pertama, memuncak pada hampir 67 persen peserta, sebelum menurun di bulan-bulan berikutnya. Pada bulan ketujuh, sekitar 55 persen dari mereka mengalami disfungsi kognitif.
Kaitan Kabut Otak dengan COVID-19
Kabut otak disinyalir merupakan bagian dari long COVID yakni merupakan gejala yang dialami selama berbulan-bulan. Orang yang mendapatkan perawatan lebih intensif cenderung beresiko mengalami kabut otak. Alasan lainnya yaitu, "pasien ini juga sering mengalami gejala lain yang dapat mempengaruhi ketajaman mental mereka seperti sulit tidur, tingkat stres yang meningkat atau perubahan pola makan yang signifikan," ujar Profesor Khrisnan.
Dengan pasien parah yang memiliki resiko lebih tinggi untuk mengalami kabut otak, bukan berarti pasien dengan gejala ringan dapat terhindar dari keluhan yang satu ini. Sebuah penelitian di Jerman menunjukkan bahwa hampir 40 persen dari 136 orang dengan usia rata-rata 30 tahun yang telah pulih dari COVID-19 tanpa perawatan, mengalami penyimpangan memori dan kesulitan dalam berkonsentrasi.
Berita baiknya adalah bahwa setelah ditindak lanjuti, para peserta penelitian mengalami pemulihan ingatan dalam waktu enam bulan dan fokus mereka meningkat dalam waktu sembilan bulan setelah terinfeksi. Selain itu, Profesor Tan mengatakan bahwa gejala kabut otak akan membaik seiring berjalannya waktu, walaupun ini dapat memakan waktu yang sangat lama karena pemulihan infeksi ini berbeda pada tiap individunya.
Advertisement
Cara Mengatasi Kabut Otak
Cara mengatasi kabut otak salah satunya adalah dengan berolahraga. Olahraga aerobik seperti berlari dan bersepeda dapat berperan dalam meningkatkan fungsi kognitif. Menurut Harvard Health yang dikutip dari Liputan6.com, "Peningkatan kapasitas untuk mengangkut oksigen ke otak dapat meningkatkan jumlah pembuluh darah dan sinapsis, meningkatkan volume otak".
Untuk manula penderita kabut otak, kegiatan ringan yang melatih fungsi kognitif seperti bersosialisasi, bermain game, membuat kerajinan, dan membaca dapat dilakukan sebagai stimulan untuk menghilangkan kabut otak. Namun sampai saat ini, masih belum ada formula khusus yang dapat digunakan untuk menyembuhkan kabut otak yang diakibatkan oleh COVID-19.
Penulis: Frida Anggi Pratasya
#Women for Women