Fimela.com, Jakarta Berbagai upaya pencegahan stunting berupa edukasi gizi yang menyasar langsung ke masyarakat perlu terus dijalani. Hal itu untuk melihat akar permasalahan secara langsung untuk mempermulus program-program pencegahan stunting yang sudah dicanangkan pemerintah.
Hal itu disampaikan Ketua Harian YAICI atau Yayasan Abhipraya Indonesia, di mana menurutnya dengan demografi Indonesia yang luas, serta memiliki banyak kultur dan budaya berbeda. Termasuk permasalahan yang dimiliki di daerah masing-masing.
"Karena itu langkah-langkah penanganan stunting sebaiknya dilakukan dengan melihat akar permasalahan masyarakat setempat,” jelas Arif Hidayat.
Advertisement
Advertisement
Temuan Menarik YAICI di Sejumlah Daerah
YAICI telah sejak lama melakukan edukasi gizi dan memiliki perhatian terhadap persoalan stunting dan gizi buruk. Terlebih, dengan mencuatnya polemik susu kental manis yang membuat BPOM akhirnya mengatur penggunaan produk dengan kandungan gula yang tinggi ini ke dalam PerBPOM No 31 tahun 2018 tentang Label dan Pangan Olahan. Dalam kebijakan tersebut, terdapat dua pasal yang menjelaskan bahwa kental manis adalah produk yang tidak boleh dijadikan sebagai pengganti ASI dan dikonsumsi oleh anak di bawah 12 bulan, serta aturan mengenai label, iklan dan promosinya.
Sepanjang 2022, YAICI bersama patra mitra, PP Muslimat NU dan PP Aisyiyah telah mengedukasi lebih dari 2.000 kader dan masyarakat di Medan, Pekanbaru, Banyuwangi, Sidoarjo, Kupang dan Timur Tengah Utara. Selain edukasi lagsung ke masyarakat, juga dilakukan survey dan penggalian informasi yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat yang berpotensi mengakibatkan gizi buruk pada anak.
Berdasarkan program edukasi yang dilaksanakan di sejumlah daerah tersebut, YAICI menemukan sejumlah persoalan menarik. Di Timur Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, anak-anak terbiasa mengkonsumsi makanan ringan dan minuman berperisa. Selain kondisi geografis yang menyebabkan bahan pangan menjadi lebih mahal, pengetahuan masyarakat dalam mengolah bahan pangan menjadi menu yang menarik bagi keluarga minim.
“Misalnya mengolah sayur, masyarakat disini terbiasa mengolah sayur dengan cara dibening (direbus/ tumis), padahal bisa dibuat sayur santan. Jadi menunya tidak beragam dan anak-anak akan bosan,” jelas Sumartin, PC Muslimat NU Timor Tengah Utara. Ia juga menambahkan, perkembangan teknologi saat ini juga telah memudahkan informasi, hanya saja yang masih perlu ditingkatkan adalah kemampuan masyarakat dalam memahami informasi yang diterima melalui televisi dan sosial media.
Disambut Baik Plt. Bupati Langkat
Di Kota Langkat, Medan, ditemukan satu desa dengan sebagian besar hasil pengukuran tinggi dan berat badan balita rendah. “Dengan didampingi kader posyandu, kami melakukan kunjungan ke rumah masyarakat yang memiliki balita di Paya Mabar. Hasilnya, rata-rata balita tidak di imunisasi karena orang tua beranggapan anaknya akan menjadi sakit, dan anak-anak juga tidak minum susu karena orangtua beranggapan susu dapat menyebabkan anak sakit perut. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, orangtua juga tidak memperhatikan asupan anak pada saat MPASI, dan di saat anak berusia 1 tahunan, sudah dibiarkan mengkonsumsi makanan dan minuman ringan dari pedagang keliling,” beber Arif Hidayat.
Sementara, dalam kunjungan ke Pekanbaru awal Juli kemarin, ditemukan keluarga-keluarga penerima program keluarga harapan mendapatkan paket sembako yang didalamnya terdapat produk susu kental manis. “Di Rumbai Barat, yang memang sebagian besar masyarakatnya penerima PKH, tadinya tidak mengkonsumsi kental manis. Tapi karena di dalam paket sembako yang diterima terdapat produk kental manis, akhirnya malah jadi konsumsi harian anak-anak,” pungkas Arif.
Plt. Bupati Langkat, Syah Afandin, menyambut baik masuknya edukasi gizi dari YAICI yang berkolaborasi dengan berbagai mitra. Ia juga menjelaskan jika penyelesaian permasalahan stunting ini harus secara gotong royong. “Besar harapan kita dapat membantu program penurunan stunting yang sudah ada di kabupaten Langkat. Karena itu dari kita juga harus bantu, Dinas Kesehatan dan PPKB bisa berkoordinasi, karena ini (penurunan stunting) memang harus dikerjakan bersama-sama,” jelas Syah Afandin.
Senada dengan Syah Afandin, Sekretaris Daerah Kota (Sekdako) Pekanbaru, Muhammad Jamil juga berharap dengan hadirnya YAICI dan mitranya agar nanti dapat berperan menjadi bagian dalam upaya mengejar target penurunan stunting di Pekanbaru sebesar 6%.
“Saya ingin kota Pekanbaru bebas stunting, kalau nggak bisa zero minimal di angka 6%. Memang stunting harus dikeroyok, kita tidak bisa bekerja sendiri. Makanya kita bentuk tim untuk pencegahan stunting di kota pekanbaru,” jelas Muhammad Jamil.
Jamil juga mengakui, kota Pekanbaru masih belum lepas dari kemiskinan yang menjadi salah satu faktor penyumbang kejadian stunting dan gizi buruk. Selain itu, pemahaman masyarakat mengenai stunting serta makanan bergizi juga masih rendah. Oleh karena itu, ia berharap hasil penelitian mengenai gizi dan konsumsi kental manis pada balita dapat menjadi masukan dalam mengatasi persoalan stunting di kota Pekanbaru.