Fimela.com, Jakarta Setidaknya, dalam satu dekade terakhir, penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab kematian terbesar penduduk dunia menggantikan penyakit infeksi. Sifat penyakit yang kronis atau menahun yang tidak memberikan dampak kesehatan seketika, membuat masyarakat tidak menyadari ancaman akan PTM.
Seperti misalnya obesitas pada kelompok dewasa di Indonesia yang prevalensinya naik dua kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Dari 10,50 persen pada 2007 menjadi 21,80 persen pada 2018 berdasarkan Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas.
Sedangkan prevalesi obesitas pada anak usia 5–12 tahun mencapai 18,8% dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat obesitas pada anak tertinggi di wilayah ASEAN (WHO). Kemudian angka kesakitan akibat diabetes juga berdampak luas. Sebanyak 19,5 juta orang penduduk Indonesia merupakan penderita diabetes yang seumur hidupnya harus menjalani pengobatan dengan biaya yang tidak sedikit.
Advertisement
Negara setidaknya harus menanggung sebesar Rp21,2 triliun untuk membiayai terapi penyakit ini (IDF Diabetes Atlas). Dan diabetes merupakan penyebab kematian tertinggi nomor 3 di Indonesia.
Advertisement
kebijakan pengendalian PTM untuk perlindungan kesehatan publik di Indonesia
Hal itu menjadi red flag atau sinyal tentang darurat untuk membentuk kebijakan pengendalian PTM untuk perlindungan kesehatan publik di Indonesia. Begitu juga tema konferensi pers yang digelar Aliansi PTM Indonesia bersama koalisi masyarakat dalam rangka memperingati Hari Hipertensi Sedunia tahun 2022.
Mereka menyampaikan tuntutan akan pentingnya kehadiran kebijakan pengendalian PTM dengan memanfaatkan momentum Hari Hipertensi Sedunia yang diperingati setiap 17 Mei. Aliansi PTM mendukung pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih tegas dan jelas dalam mengendalikan faktor risiko PTM.
"Indonesia punya peran penting memberikan contoh baik dalam pengendalian penyakit di kancah global. Peran ini dapat dimulai dengan kebijakan pengendalian faktor risiko PTM seperti menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan segera menyelesaikan revisi PP 109/ 2012 dalam pengendalian produk zat adiktif tembakau. Kebijakan ini adalah bentuk komitmen dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan publik. Aliansi PTM Indonesia siap mendukung pengendalian faktor risiko PTM untuk pembangunan kesehatan Indonesia yang lebih baik," tutur dr. Ade Meidian Ambari, Sekretaris Umum Aliansi PTM.
mencegah penyakit tidak menular
Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH sebagai Ketua Bidang Edukasi Publik dan Pemberdayaan Masyarakat Komnas PT menyampaikan, “Untuk mencegah penyakit tidak menular, tidak ada cara lain selain dengan menghindari faktor risikonya. Upaya ini tidak cukup hanya dengan promosi dan edukasi kesehatan saja, harus ada kebijakan yang secara komprehensif yang mengatur.”
Itu sebabnya, menghindari faktor risiko penyakit tidak menular perlu intervensi kebijakan pemerintah yang lebih tegas. Instrumen pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular melalui kebijakan berbasis bukti menjadi wujud hadirnya negara untuk menjamin hak kesehatan warganya.
Hal ini semakin memperkuat jika instrumen fiskal yaitu cukai diyakini efektif menurunkan konsumsi gula berlebih dan konsumsi rokok. Di saat yang sama, hasil cukai yangterkumpul bisa menjadi sumber tambahan pembiayaan kesehatan pemerintah.
Gita Kusnadi selaku Plt. Manajer Riset CISDI mengungkapkan kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) adalah bagian dari upaya pencegahan PTM yang komprehensif.
“Cukai MBDK menjadi pilihan intervensi yang efektif untuk mentransformasi pola konsumsi masyarakat. Kebijakan ini harus diterapkan pada semua produk MBDK tanpa kecuali dan secara serentak. Kehadiran kebijakan cukai MBDK memberikan manfaat bagi aspek kesehatan dan kualitas sumber daya manusia di masa depan" tuturnya.
“Pemerintah saat ini sedang mengusahakan untuk memperkuat peraturan pencegahan dan pengendalian konsumsi zat adiktif melalui revisi PP 109 tahun 2022. Kemenkes melalui P2PTM juga menginisiasi untuk mulai melakukan pengaturan terhadap cukai MBDK melalui bersurat kepada Kemenkeu agar kebijakan ini bisa segera dilaksanakan. Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh Kementerian Kesehatan, harus bersama K/L yang terkait lainnya,” papar dr. Elvieda Sariwati, M.Epid selaku Plt Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI.
Bagaimana tanggapanmu? Apakah kamu setuju?
#WomenForWomen