Fimela.com, Jakarta Data WHO dan GLOBOCAN menyatakan, terdapat 400.000 kasus baru anak dengan kanker di seluruh dunia. Sayangnya masih terjadi perbedaan besar dalam angka kesintasan, di mana angka kesintasan hanya 20% di negara menengah dan negara miskin. Sedangkan di negara maju, angka kesintasan bisa mencapai 80%.
Hal tersebut disampaikan Ketua UKK Hematologi Onkologi Anak IDAI, Dr. dr. Tenny Tjitra Sari SpA(K). Ia pun menyampaikan jika penyebab kematian tinggi di negara berkembang dan miskin karena sebagian besar pasien datang dengan stadium lanjut.
Advertisement
BACA JUGA
“Masalah juga dialami karena akses pada tenaga ahli, dalam hal ini dokter spesialis anak konsultas hematologi dan onkologi yang terbatas. Saat ini hanya ada 63 konsultan hematologi onkologi anak di Indonesia yang sebagian besar berada di Indonesia bagian barat dan tengah,” ujar Tenny.
Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam pidato pembukaan simposium menyatakan, kanker termasuk penyakit dengan beban pembiayaan terbesar setelah jantung.
“Kemenkes sudah membuat Rencana Aksi Nasional Penanggunlagan Kanker, salah satunya untuk kanker leukeimia pada anak, kami akan meningkatkan akses pelayanan di seluruh faskes, dan sistem rujukan pasien leukemia dari fakses pertama ke faskes lanjutan dengan pelayanan dari spesialis hemtologi onkologi anak. Kita memiliki target di tahun 2030 sebanyak 60% pasien leukemia bisa disembuhkan, sehingga perlu kerjasama dari seluruh pihak agar tujuan ini bisa dicapai,” jelas Menkes.
Advertisement
Terapi Suportif pada Pasien Kanker Anak
Salah satu hal yang perlu diperhatikan ketika anak kanker ialah terapi suportif.Dr. Santoso Nugroho SpA(K) konsultan hematologi onkologi anak dari RSUD dr Saiful Anwar Malang, menjelaskan, terapi suportif adalah terapi penatalaksanaan dan pencegahan efek samping akibat pengobatan kanker, baik kemoterapi, radiasi, maupun bedah. Tujuan terapi suportif pada pasien kanker anak adalah meningkatkan kualitas hidup pasien.
“Selama ini, fokus penanganan kanker pada anak masih lebih mengutamakan terapi kanker dan komorbid, tetapi terapi untuk gejala dan efek samping pengobatan dan kebutuhan pasien masih belum maksimal,” jelas dr. Santoso.
Pengobatan suportif pada kanker anak terdiri dari terapi untuk mengendalikan komplikasi, manajemen nyeri, hingga dukungan psikososial, spiritual, dan emosi. Terapi suportif harus dilakukan oleh tim multidipilin terdiri dari dokter, perawat, pekerja sosial, dan orang tua pasien.
Dr Eka Destianti Esward, SpA(K) konsultan hematologi onlologi dari RSU dr. Zainoel Abidin Banda Aceh memaparkan tentang manajemen nyeri pada pasien kanker anak.
“Nyeri bisa muncul di berbagai stadium kanker. Bahkan sebelum kankernya ditemukan. Pada pasien kanker anak, nyeri bisa karena efek samping pengobatan atau nyeri yang tidak berhubungan dengan penyakitnya namun mengganggu, misalnya sakit gigi, osteoartritis, atau trauma. Inilah sebabnya nyeri harus segera ditangani,” jelas dr. Eka.
Anak dengan kanker dapat merasakan nyeri ringan atau nyeri hebat yang ditandai dengan anak yanh terus menangis dan gelisah. Mengatasi nyeri bisa dilakukan dengan memodifikasi lingkungan, misalnya mengurangi aktivitas yang memperberat nyeri dan menggunakan alat bantu jalan. Selain itu bisa dengan pendekatan psikoterapi seperti meditasi, relaksasi, akupunktur dan lainnya.
“Pemberian obat analgesik dimulai dengan parasetamol atau ibuprofen, dan jika tidak berkurang bisa langsung diberikan opiat (morfin) untuk nyeri hebat,” jelas dr. Eka.
Kendala Terapi Suportif Selama Pandemi Covid-19
Ditambahkan dr. Santoso, ada hambatan terapi suportif di era Covid-19. Oleh karena itu perlu dilakukan strategi pendekatan yang berbeda. Pasien tetap harus mendapatkan pengobatannya meskipun tidak bisa ke rumah sakit.
Bagi pasien yang kondisi penyakitnya sudah di tahap akhir, (terminal stage), terapi paliatif tetap dilanjutkan di rumah. Pasien kanker anak yang memiliki gejala sedang, bisa ditangani dengan telemedicine atau homecare.
“Strategi yang dilakukan selama pandemi adalah tetap memberikan asesmen dan pemantauan, dan mengevaluasi kebutuhan terapi suportif sesuai skala prioritas. Obat yang diberikan pun biasanya bukan obat yang agresif dan malah dapat ditunda, dengan pemberian obat nyeri lebih banyak dan tetap melakukan telemedicine,” ujar dr. Susanto.
Dalam rangka Hari Kanker Anak Internasional yang diperingati setiap tanggal 15 Februari, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) menyelenggarakan simposium ilmiah untuk dokter anak di seluruh Indonesia. Tema simposium yang dilakukan secara daring ini adalah “Terapi Suportif pada Anak dengan Kanker”.
Ketua Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), Rahmi Adi Putra Tahir menjelaskan, secara global, peringatan Hari Kanker Anak Internasional tahun ini fokus pada peran penting tenaga kesehatan dalam meningkatkan kelangsungan hidup dan kualitas hidup anak-anak dan remaja dengan kanker di seluruh dunia.
“Tema internasional ini diambil karena dalam penanganan kanker pada anak, tenaga kesehatan memegang peran yang sangat besar dalam menyelamatkan dan meningkatkan kualitas hidup anak penderita kenker,” jelas Rahmil.
#women for women