Fimela.com, Jakarta Ramai diperbincangkan jika seorang publik figure meninggal setelah menderita spinal cord injury atau cedera saraf tulang belakang. Banyak yang bertanya-tanya apakah kejadian ini memang dapat menyebabkan kematian?
Cedera saraf tulang belakang merupakan cedera pada tulang belakang baik langsung (kecelakaan ataupun jatuh) maupun tidak langsung (infeksi bakteri atau virus) yang dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian (definisi dari Perhimpunan PERDOSSI, 2006).
Advertisement
BACA JUGA
Price tahun 2003, menyatakan bahwa cedera tulang belakang dapat mengakibatkan terjadinya paralisis, paraplegia, depresi refleks neurologis, edema dan hipoksia jaringan.
Kasus cedera saraf tulang belakang jumlahnya tidak sebanyak cedera pada otak. Tidak ada data global yang persis berpa banyak orang yang memiliki cedera ini (akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh atau luka tusuk atau tembak).
Namun data nasional dan regional di dunia berkisar antar 300 – 1300 orang yang mempunyai cedera saraf tulang belakang diantara 1 juta penduduk. Jika mengacu pada angka ini, walau data di Indonesia belum ada, diperkirakan ada sekitar 200.000 orang yang menderita cedera saraf tulang belakang di Indonesia.
Dr dr Wawan Mulyawan, SpBS(K) selaku Konsultan Bedah Saraf Tulang Belakang RSU Bunda – Jakartamenyampikan, ada 2 kerusakan akibat cedera saraf tulang belakang:
1. Kerusakan Langsung akibat Benturan atau Penekanan (Keruskan primer)
Cedera pada saraf tulang belakang biasanya terjadi akibat trauma pada tulang belakang mulai dari leher / servikal sampai tulang belakang sakral. Tulang yang retak atau patah akan menekan sumsum tulang belakang atau bahkan merobeknya. Cedera saraf tulang belakang dapat saja terjadi tanpa patah tulang belakang yang jelas, namun sebaliknya seseorang bisa saja mengalami patah tulang belakang tanpa terjadi cedera tulang belakang.
Namun, pada sebagian besar cedera saraf tulang belakang, sumsum tulang belakang tertekan atau robek. Sedangkan berat ringannya kerusakan saraf tergantung pada kekuatan penekanan saraf oleh tulang belakangnya, keras ringannya energy yang menghantam, dan lamanya penekanan atau lamanya pertolongan.
2. Kerusakan Tambahan / Ikutan / sekunder
Kerusakan sekunder dapat terjadi akibat terus berlangsungnya keruskaan primer karena kurang cepatnya pertolongan atau tidak tepatnya pertolongan.
Sehingga kerusakan yang seharusnya lebih ringan, menjadi lebih berat atau menjadi permanen dibandingkan kerusakan langsung di awal cedera/benturan. Karena begitu banyak kerusakan yang muncul setelah cedera awal, maka menjadi penting proses-proses kecepatan dan ketepatan penanganan untuk mempertahankan sebanyak mungkin fungsi saraf sensorik, motoric dan otonom.
Dalam beberapa menit setelah kecelakaaan atau cedera, jika tidak segera ditangani, menyebabkan pengiriman nutrisi dan oksigen yang tidak cukup ke sel saraf, dan sel sarf akhirnya mati permanen.
“Ketika sel saraf di sumsum tulang belakang, akson, atau astrosit cedera, jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat, bahkan akan bisa merusak dirinya sendiri (self-destruction) akibat memproduksi bahan kimia beracun yang disebut zat radikal bebas,” ujar dr. Wawan.
Advertisement
Akibat Lanjut Cedera Saraf Tulang Belakang
dr. Wawan yang juga Ketua Umum PERSPEBSI Cabang Jakarta mengatakan diketahui, sel saraf pusat (yang ada di sumsum tulang belakang) jika mati tidak bisa berregenerasi (tidak bisa digantikan sel baru). Karenanya yang muncul adalah kondisi kerusakan yang kompleks dan makin memburuk.
Sehingga jika sel saraf di sumsum tulang belakang mati (mati langsung atau mati akibat lambat atau salahnya penanganan) akan menyebabkan fungsi-fungsi saraf sensorik (rasa, nyeri) hilang.
Demikian juga fungsi saraf motorik (gerak) juga bisa hilang sehingga lengan dan tangan atau tungkai dan kaki menjadi lemah bahkan lumpuh (jika 4 alat gerak lumpuh disebut tetraplegia, jika hanya kedua kaki yang lumpuh disebut paraplegia).
Jika saraf otonom yang rusak, maka konsekuensinya bisa terjadi gangguan buang air kecil atau buang air besar, suhu tubuh, tekanan darah dan sistem sirkualasi darah bahkan pada laki-laki bisa menyebabkan alat vitalnya tidak bisa ereksi. Beberapa akson di sel saraf mungkin tetap utuh, dan masih mampu membawa sinyal ke atas atau ke bawah sumsum tulang belakang, tetapi karena jumlahnya mungkin terlalu sedikit tidak mampu untuk menjalankan fungsi saraf dengan normal.
Orang dengan cedera di atas tulang leher bagian atas bahkan memerlukan alat bantu nafas (ventilator) untuk tetap bisa bernapas.
Akibat tambahan dari cedera saraf tulang belakang bisa berlanjut menyedihkan : Cedera tulang Terlalu lama berbaring karena lumpuh akan menyebabkan luka akibat tubuh menekan alas tidur atau disebut decubitus, juga mudah terkan infeksi (biasanya sistem paru-paru dan dan saluran kencing) .
“Bahkan pada beberapa kasus bisa menyebabkan peningkatan tekanan darah yang dapat mengancam nyawa,” ujar dr. Wawan.
Apakah cedera saraf tulang belakang bisa cacat permanen? dr. Wawan mengatakan cedera ini bisa mengalami cacat permanen, jika yang terjadi adalah cedera sumsum tulang belakang yang komplit (complete) / lengkap, cacat atau kelumpuhannya akan permanen.
Namun jika cedera tidak permanen, dalam arti hanya sebagian saraf sensorik, motorik atau otonom yang rusak alias tidak lengkap, masih memungkinkan beberapa perbaikan fungsional dari waktu ke waktu. Biasanya tindakan operasi atau obat kortikosteroid yang terlambat dalam hitungan jam atau hari dapat menyebabkan cedera yang incomplete / tidak lengkap menjadi permanen. Karena itu dalam penanganan cedera saraf tulang belakang ada istilah : Time is essential.
Pencegahan Cedera Saraf Tulang Belakang Risiko terkena cedera saraf tulang belakang dapat dikurangi dengan:
• Mengemudi mengenakan sabuk pengaman.
• Menghindari bahaya jatuh seperti tangga atau lantai kamar mandi yang licin
• Mengenakan alat pelindung selama olahraga, jika dibutuhkan
• Tidak melakukan aktifitas fisik atau olahraga ekstrim seperti mendaki tebing, bersepeda gunung dan lain-lain pada orang usia lanjut, terutama wanita menopause.