Fimela.com, Jakarta Kehilangan buah hati tak akan pernah menjadi hal yang sederhana untuk dihadapi bagi orangtua. Rasa kehilangan dan berat melepaskan pasti ada, tapi, ketika takdir sudah berbicara, rela tidak rela, kita sebagai manusia harus untuk mengikhlaskannya. Begitu pula yang dialami oleh Yeni Dewi Mulaningsih dalam menghadapi kepergian putra ke-tiganya, Taufan, 2013 silam, akibat Leukimia tipe AML.
BACA JUGA
Advertisement
Rupanya, kehilangan yang meremukkan hatinya itu membawa Yeni ke jalan yang mulia, jalan yang membuatnya jadi bisa lebih banyak berbagi. Namun, semua itu juga tak lepas dari bantuan Zack, seorang kawan berkebangsaan Amerika Serikat, yang meyakinkan bahwa Yeni bisa melakukan sesuatu untuk para orangtua dengan anak berpenyakit risiko tinggi. Di sisi lain, Zack juga membagikan cerita Yeni lewat media massa tempat Zack bekerja dan lewat website yang menjadi wadah bagi para relawan, CountMeIn.
Atas izin suami, perempuan kelahiran Bandung, 5 Maret 1977 ini pun mendatangi rumah sakit tempat Taufan pernah dirawat untuk menghibur para orangtua yang masih berjuang demi kesembuhan anaknya dalam waktu seminggu tiga kali. Sesekali, ibu tiga anak ini membawa bingkisan seperti buku dan mainan untuk anak-anak di sana.
Namun, ada satu momen di mana Yeni merasa bahwa dirinya tak cukup berguna bagi orang-orang di sana, yakni ketika perempuan berjilbab ini memberi buku pada orangtua pasien dan mendapat jawaban menohok ulu hatinya.
"Ada satu orang teman rawat inap Taufan di rumah sakit, namanya Risda, saya kasih buku ke Risda yang saya titip lewat orangtuanya, buku itu dibolak-balik lama sekali, lalu dia bilang 'anak saya pasti senang banget dikasih buku ini, tapi buku ini nggak bisa buat bayar taksi', di situ saya benar-benar down, saya kayak nggak ada artinya di depan dia," kenang Yeni mengingat-ingat momen itu.
Ya, saat itu, Risda adalah seorang pasien terbilang kurang mampu secara finansial. Untuk menempuh perjalanan dari rumahnya di Tangerang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, ia dan orangtuanya harus naik taksi dengan biaya yang relatif tidak sedikit bagi keluarganya.
Dari situ, Yeni merasa jika menghibur saja tidak cukup bagi orangtua pasien. Lebih dari itu, ia juga terdorong untuk bisa membantu secara finansial. "Waktu itu, sih, nggak langsung mengumpulkan dana, tapi seiring berjalannya waktu, ada orang-orang yang menghubungi saya lewat CountMeIn yang Zack buat untuk berdonasi dan menjadi relawan, lama kelamaan banyak yang ingin bergabung," jelas Yeni.
Menurutnya, apa yang ia lakukan saat ini mempertemukannya dengan orang-orang baru hingga akhirnya berdiri Komunitas Taufan, sebuah komunitas yang membantu para pasien dengan penyakit risko tinggi, baik dari segi material maupun moral. Bahkan, untuk melegalkannya sebagai yayasan pada 29 Sepetember 2014, Yeni mendapat bantuan lewat orang-orang yang baru ia kenal dan ikut berbagi bersamanya.
"Setelah Taufan meninggal, saya banyak bertemu dengan orang baru, sampai akhirnya ketemu Adriana, seorang teman dari CountMeIn, yang mengontak saya, setelah berjalannya waktu saya merasa klik dengan dia dan membuat Komunitas Taufan berdua," ungkap Yeni.
Advertisement
Semangat relawan adalah semangat Yeni
Mulanya, untuk menjadi relawan, siapa saja yang memiliki visi misi sama dengan Komunitas Taufan bisa ikut bergabung, namun seiring berjalannya waktu dan manajemen yang terorganisasi, kini untuk menjadi tenaga relawan dilakukan melalui sistem perekrutan dalam waktu setahun sekali.
"Sekarang kami open recruitment setahun sekali, untuk tahun 2018 ini ada 87 relawan, kalau selama empat tahun ini ada 500 relawan," kata perempuan yang juga akrab disapa Yani ini.
Baginya, semangat para relawan di Komunitas Taufan adalah semangat dirinya juga. "Melihat mereka yang masih muda tapi peduli sesama, antusias mereka luar biasa, jadi saya juga jadi lebih semangat," katanya.
Sebagai relawan pendamping keluarga pasien tentu dibutuhkan kemampuan untuk bisa berbaur dan menjalin hubungan baik demi kenyamanan bersama, menurutnya, seorang relawan harus bisa menggali dan meraba bagaimana kondisi keluarga dengan banyak berinteraksi, dengan begitu rasa empati bisa lebih terasah.
Disinggung mengenai pembagian waktu bersama keluarga di tengah-tengah kesibukannya saat ini, Yeni mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan sebelumnya. "Karena sebelumnya sudah ada jadwal, sudah kesepakatan, dan terutama sudah ada izin suami, dan anak-anak diminta pengertiannya, diusahakan jadwalnya tidak mendadak, kalau pun ada, dimusyawarahkan saja," tutur Yeni.
Untuk keluarga yang sedang merawat pasien dengan penyakit berisiko tinggi, Yeni berpesan jika semangat, keyakinan, dan doa adalah hal-hal yang harus ditanamkan di dalam diri. "Nomor satu itu harus semangat, yakin, berdoa, kalau hal-hal lain bisa dicari, diusahakan, dan dipecahkan, tapi dari dalam diri harus ditanamkan semangat, yakin, dan berdoa!," pungkas Yeni.
Geo hidup dengan sebelah mata
Dari sekian banyak pasien anak dengan penyakit berisiko tinggi, Geo Nur Ramadhan adalah salah satu pasien di Jakarta yang mendapat bantuan dari Komunitas Taufan. Di usianya yang baru menginjak 3 tahun, Geo, sudah berjuang untuk sembuh dari penyakit kanker mata yang ia idap sejak usia 17 bulan.
Bermukim di sebuah rumah kontrakan dua petak di Cikini, tim Fimela.com menyambanginya bersama Yeni dalam kegiatan home visit dari Komunitas Taufan. Datang ke Jakarta sebagai pasien rujukan dari Riau, Sri Lina Sari, ibu dari Geo mengungkapkan jika Komunitas Taufan adalah orang berjasa dalam proses penyembuhan anaknya.
"Saya ini dari Riau, pertama kali tiba di Jakarta jam 8 malam, tidak punya sanak saudara di Jakarta, lalu ada kawan kasih tahu Mama Taufan yang suka bantu, lalu saya dikasih nomornya, saya hubungi dan jumpa saat Geo kemoterapi, alhamdulillah terbantu," kenang Sri.
Menurut Sri, anaknya selama ini sehat hingga pada suatu hari mata Geo timbul bintik putih di pupil. Khawatir dengan keadaan anaknya, Sri langsung membawa anaknya ke rumah sakit di Riau, setelah diperiksa, Geo terdiagnosa kanker mata dan harus segera diambil tindakan pengangkatan bola mata.
"Sampai di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dokter bilang kalau mata Geo harus diambil, tapi saya nggak mau, orangtua mana sih yang mau mata anaknya diangkat? Setelah saya pikir-pikir lagi, daripada tambah parah, saya bilang ke dokter kalau saya siap jika mata anak saya dioperasi," ujar Sri.
Setelah operasi diusia 19 bulan dan menjalani serangkaian terapi, kini Geo menjalani hari-hari dengan sebelah mata. Bagi Sri, semua ini adalah ujian dari Tuhan. Apa pun yang dijalaninya kini, ia harus berbesar hati dan memanjangkan sabar. "Anggap saja kayak sekolah, kalau ujiannya lulus ya alhamdulillah, kalau memikirkan penyakitnya saja, saya sakit sendiri," tukasnya.