Fimela.com, Jakarta Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda pada 2 Oktober 2009 lalu. Batik sendiri dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni batik tulis dan cap. Namun seiring berkembangnya zaman, muncul batik printing.
Ketiganya sering kali sulit dibedakan oleh masyarakat awam, padahal terdapat perbedaan mendasar yang penting untuk diketahui. Berikut ini adalah perbedaan dan cara membedakan batik tulis, cap, dan printing.
Advertisement
Pahami Dulu Makna Batik
Kata "batik" sendiri berasal dari bahasa Jawa, dari kata "amba" yang berarti "menulis" dan "titik" yang berarti "titik atau membuat titik-titik." Ini mencerminkan cara batik dibuat dengan menciptakan pola yang ditulis atau dititik menggunakan canting atau cap dengan lilin.
“Yang namanya batik adalah sebuah proses yang dimana proses-nya harus pakai lilin panas. Tanpa melalui proses ini, tidak bisa disebut batik,” tegas Ketua Harian Yayasan Batik Jawa Barat Dr. Komarodin Kudiya S.IP., M.Ds.
Sehingga menurutnya, batik printing tidak bisa disebut sebagai batik. “Karena makna batik sendiri adalah teknik. Tapi kalau (batik printing) disebut corak batik itu boleh,” lanjut dia.
Cara Membedakan Batik Tulis, Cap, dan Printing
Lebih lanjut, Komar mengungkapkan terdapat perbedaan spesifik antara batik tulis, cap dan printing yang wajib diketahui. “Penandaan kualitas batik itu namanya BMI. kalau batik dengan label hitam dan bordiran emas itu menandakan batik tulis. Penandaan itu fungsinya sebagai edukasi dan tanda prestige yang pendaftarannya harus di balai Yogyakarta,” kata dia.
Kemudian, cara berikutnya adalah dengan memeriksa kedua sisi kain. Pada batik tulis, pewarnaan kain biasanya meresap hingga ke kedua sisi kain. Artinya, sisi depan dan belakang kain memiliki warna yang hampir sama atau sama kuatnya. Berbeda dengan batik printing yang biasanya hanya mencetak pola di satu sisi kain, sehingga sisi belakangnya sering lebih pudar atau bahkan polos.
Selain itu, batik tulis cenderung memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan batik cap atau batik printing karena proses pembuatannya yang rumit dan memakan waktu. Jika kain batik memiliki motif yang sangat detail namun harganya sangat murah, kemungkinan besar itu bukan batik tulis asli.
“Kalau di marketplace ada batik tulis mewah tapi harganya Rp200 ribu ke bawah itu patut dicurigai. Untuk harga berkisar Rp100-200 ribu itu biasanya hanya dapat (batik tulis) motif sederhana,” tutur Komar.
Untuk membedakan batik cap, fokuslah pada pola yang berulang, ketidaksempurnaan pada sambungan motif, tekstur lilin pada kain, dan keseragaman warna di kedua sisi kain. Batik cap cenderung memiliki harga yang lebih terjangkau dan motif yang lebih sederhana dibandingkan batik tulis. Mengenai label hitam bordiran perak, itu mungkin digunakan oleh beberapa produsen untuk membedakan jenis batik mereka,
“Sementara kalau corak di depan dan di belakang kain tidak sama, itu bukan batik. Itu tiruan batik, itu batik printing,” kata Komar.
Advertisement
Batik Printing Mengancam Perajin
Batik printing memang dianggap mengancam kelangsungan hidup perajin batik tradisional, terutama mereka yang mengandalkan pembuatan batik tulis dan cap sebagai sumber mata pencaharian utama. Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang berkaitan dengan efisiensi produksi, persaingan harga, serta pergeseran preferensi pasar yang mempengaruhi industri batik tradisional. Berikut adalah beberapa alasan mengapa batik printing dianggap sebagai ancaman bagi perajin batik tradisional
Batik printing diproduksi secara otomatis menggunakan mesin yang dapat mencetak ratusan hingga ribuan meter kain dalam waktu yang sangat singkat. Proses ini jauh lebih cepat dibandingkan batik tulis atau batik cap yang membutuhkan waktu dan keterampilan tinggi. Karena efisiensi ini, batik printing dapat dijual dengan harga yang jauh lebih murah, membuatnya lebih menarik bagi konsumen yang mencari produk batik dengan harga terjangkau. Akibatnya, produk batik tradisional sering kali kalah bersaing di pasar karena waktu produksi yang lebih lama dan harga yang lebih mahal.
Untuk tetap bersaing di pasar, banyak perajin batik tradisional terpaksa menurunkan harga produk mereka, meskipun proses pembuatannya memerlukan waktu dan keterampilan yang signifikan. Menurunkan harga membuat keuntungan yang diperoleh perajin semakin kecil, dan pada akhirnya banyak perajin yang kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka. Dalam jangka panjang, beberapa perajin bahkan memilih beralih ke pekerjaan lain yang lebih menguntungkan, atau bahkan beralih memproduksi batik printing untuk bertahan hidup, yang sayangnya menurunkan jumlah perajin batik tulis dan cap tradisional.
“Jadi sebagai orang yang cinta tradisi budaya Indonesia, janganlah kemakan isu batik mahal, batik dengan harga Rp100 ribu itu masih ada. Kalau sudah printing, artinya mematikan para perajin UKM Batik. Jadi harapan saya, ayo belajar lagi tentang batik, dan cintai batik dengan cara membeli, menggunakan, dan bangga,” tutup Komar.