Sukses

Fashion

Mengenal Slow Fashion, Manfaatnya untuk Gaya Hidup dan Lingkungan

Fimela.com, Jakarta Dunia fashion berkembang dengan sangat cepat mengikuti arus globalisasi. Industri fashion menduduki urutan ketiga perusahaan yang menyumbang polusi terbanyak di dunia. Hal ini karena dampak dari penggunaan fast fashion yang meningkat setiap tahunmya di dunia, termasuk Indonesia. Satu dan dua hal mengapa fast fashion sangat  disukai oleh masyarakat lokal adalah karena harga pakaian fast fashion yang terbilang murah, namun banyak yang tidak mengetahui bahwa dampak dari penggunaan pakaian yang mereka kenakan itu memberikan dampak yang sangat fatal bagi sumber daya manusia dan untuk kelestarian lingkungan. 

Fast fashion sendiri adalah sebutan untuk industri tekstil dalam memproduksi pakaian secara massal dengan harga murah dan hanya bertahan lama secara singkat mengikuti perubahan tren. Dengan ini yang menjadikan mengapa timbunan sampah limbah dan polusi kian cepat yang bisa merusak bumi. Ellen MacArthur Foundation pada 2017 menyebut industri tekstil menghasilkan emisi gas rumah kaca sampai 1,2 miliar ton per tahun. Di sisi lain, industri ini juga telah berdampak besar pada 20% pencemaran limbah air secara global. 

Tiap pergantian tren, musim, cuaca, ataupun sekadar sifat impulsif masyarakat yang mengharuskan mereka untuk selalu membeli pakaian baru dengan gaya fashion yang berbeda, hanya akan membuat tumpukan pakaian di lemari. Terkadang pula, mereka sampai bimbang memilih pakaian yang ingin dikenakan karena saking banyaknya. Salah satu contohnya adalah baju pernikahan yang dibeli dengan harga yang tidak murah dan hanya dipakai dalam sekali seumur hidup. Memang, preferensi dan tujuan tiap-tiap orang berbeda, ada yang ingin mengenangnya untuk waktu yang lama, atau juga ada yang memiliki pemikiran bahwa sayang untuk membeli baju yang sangat mahal hanya untuk dipakai sekali. 

Perbedaan dengan slow fashion

Berbanding terbalik dengan fast fashion, slow fashion adalah produksi pakaian dengan pemakaian yang lebih tahan lama dan keberlanjutan, diproduksi dengan memerhatikan kebutuhan dan kualitas yang jauh lebih tinggi. Dengan menerapkan gaya hidup keberlanjutan tidak hanya akan memudahkan kehidupan sehari-hari, tetapi juga menyelamatkan bumi dari limbah pakaian yang menumpuk karena fast fashion. Pakaian slow fashion akan sedikit memakan biaya, mengingat kualitasnya yang tinggi dan daya ketahanannya yang bisa bertahun-tahun.

Namun ada beberapa cara untuk tetap menerapkan gaya hidup keberlanjutan dengan biaya yang tidak mahal. Salah satunya dengan membeli pakaian secondhand atau bekas, kini yang banyak dilakukan oleh anak muda yaitu thrifting. Dengan memanfaatkan baju bekas pakai milik orang lain, bisa mengurangi penumpukan limbah pakaian di TPA. Seperti yang dibahas dari Webinar The Antheia Webinar yang mengusung tema “Breaking the stigma of Thrifting Upcypling and Slow Fashion”, mengundang dua sosok pendukung konsep slow fashion, Monty Hasan (Founder and CEO of Topiku) dan Annabella (Eco Content Creator). 

Membahas bagaimana cara untuk mematahkan beberapa stigma tentang thrifting yang dipercaya oleh sebagian orang. Bekas merupakan kata yang memiliki berbagai makna yang kurang disukai oleh banyak orang, tidak termasuk dalam upaya menyelamatkan lingkungan dan sumber tenaga kerja industri tekstil. Pakaian bekas justru akan membantu mereka agar mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan menyembuhkan bumi dari timbunan limbah.  

Stigma membeli baju bekas

Salah satu masalah utama dari menggunakan baju bekas yang banyak dihindari oleh masyarakat adalah noda dan bakteri yang menempel karena pemakaian orang sebelumnya, sehingga mereka merasa jiji dan takut akan menimbulkan penyakit kulit. Padahal, bakteri dan noda pada baju yang dijual di toko pakaian bekas bisa dihilangkan dengan dicuci secara berkala, justru itu tidak ada bedanya dengan pakaian yang baru dibeli di toko pakaian ternama. Kita tidak tahu seberapa banyak pakaian yang telah dibeli, sudah dipegang dan dicoba berkali-kali oleh orang lain. 

“Kita bisa hati-hati dalam rutinitas membeli baju. Cukup lakukan research tentang penyakit dan cara menyuci bajunya dengan benar,” ujar Anabelle, Eco Content Creator.

Seperti yang dikatakan oleh Anabelle, sebenarnya banyak cara mudah untuk mendukung penggunaan slow fashion dengan bijak. Rata-rata perempuan hanya menggunakan setengah dari pakaian yang mereka miliki di lemari. Ini menunjukkan bahwa adanya perilaku konsumtif dari faktor mengikuti tren fast fashion. 

“Generasi sebelum kita hanya memiliki baju yang sedikit, tapi they spent more on each clothes. Sebaliknya, generasi sekarang punya baju yang banyak tapi dengan harga yang murah dan hanya menggunakan sediki koleksi dari lemari,” lanjut Anabelle. 

Ajakan untuk memulai mengenakan slow fashion

Sudah saat nya untuk lebih memerdulikan lingkungan dan tidak ada alasan lagi untuk belum mempraktikkan gaya hidup keberlanjutan dengan beralih ke slow fashion. Setelah tahu bagaimana kondisi lingkungan karena pembuangan pakaian yang tidak terpakai, Anabelle langsung mengimplementasikan slow fashion ke dalam gaya hidupnya. Masa-masa awal memang tidak mudah, banyak godaan dari berbagai brand lokal maupun luar yang memiliki koleksi unik dan harga yang lebih murah. Namun dengan memulai secara perlahan pun sudah bisa membantu sedikit demi sedikit untuk mengurangi penumpukan baju di lemari yang ujungnya akan dibuang ke TPA atau landfill.

Menerapkan konsep capsule wardrobe atau merubah gaya menjadi minimalist bisa menjadi pilihan tepat. Pilihlah baju yang timeless, karena tidak akan ketinggalan jaman seiring berjalannya waktu. 

“Ada banyak cara untuk menerapkan hidup sustainability. Mengulang pemakaian baju, menyewa baju, dan jangan follow atau mencari tahu diskon-diskon dari berbagai brand fast fashion,” tutup Anabelle. 

 

 *Penulis: Balqis Dhia.

#Breaking Boundaries

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading