Fimela.com, Jakarta Perkembangan industri fashion di Indonesia kini kian marak, terutama di masa pandemi. Banyak lahir desainer dan brand lokal baru yang turut berkontribusi dalam perkembangan industri fashion itu sendiri. Bahkan beberapa di antaranya menawarkan harga yang kian terjangkau agar dapat merambah pasar yang lebih luas.
Kehadiran desainer dan brand baru di Indonesia tidak terlepas dari pendahulunya yang sudah lama eksis di industri fashion. Kesuksesan dari desainer dan brand ternama menjadi motivasi dan inspirasi bagi pendatang baru untuk memberikan karya terbaik khas anak bangsa. Namun, apa jadinya jika inspirasi yang didapat justru berujung pada plagiasi?
Advertisement
BACA JUGA
Kehadiran koleksi busana yang diawali dengan inspirasi bisa berubah menjadi sebuah plagiasi ketika desainer atau brand tidak memahami batas keduanya. Baru-baru ini, brand kenamaan Sejauh Mata Memandang merasakan koleksi busana miliknya yang mungkin menjadi inspirasi bagi brand lain justru diduga berakhir dengan plagiasi.
"Sesuai informasi dan pertanyaan dari para sahabat Sejauh, kami tidak memiliki hubungan dengan label lain selain yang secara resmi kami umumkan melalui sosial media kami. Kami menyadari bahwa label tersebut memiliki persamaan pada desain, potongan, tema, dan warna dengan karya cipta sejauh. Sehingga dapat menimbulkan kebingungan di antara para sahabat Sejauh, antara label tersebut dengan kami," ungkap Sejauh Mata Memandang melalui akun resmi Instagramnya.
Advertisement
Kasus plagiasi vs inspirasi
Menyadari adanya kesamaan tersebut, brand lokal Sejauh Mata Memandang milik Chitra Subyakto ini berharap agar para pelaku industri, sekolah seni, edukator, pemerintah, konsultan, organisasi, media dan penikmat fashion dalam negeri menyadari akan pentingnya edukasi hak kekayaan intelektual. Serta memiliki perlindungan untuk menciptakan ekosistem yang sehat dan beretika.
Kasus inspirasi berbatas dengan plagiasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Beberapa high street brand internasional pun juga pernah mengalami hal serupa. Seperti yang terjadi pada high street brand internasional asal Swedia yang menggunakan jenis huruf yang sangat mirip dengan font gothic khas desainer Rusia pada T-shit, hoodies, dan kaus kaki.
Ada juga plagiasi yang dilakukan sebuah brand ritel dengan menghadirkan koleksi sepatu yang sama persis dengan sepatu andalan brand sepatu Vans. Koleksi sneakers Old Skool Sk8-Hi milik Vans memiliki kesamaan dengan koleksi sepatu yang dibuat brand lain. Baik dari segi siluet sepatu, warna, hingga garis putih yang khas.
Inspirasi yang berujung plagiasi ini membingungkan konsumen serta kekuatan brand. Ada faktor yang memungkinkan konsumen menganggap bahwa kedua brand tersebut melakukan afiliasi. Padahal sebenarnya tidak.
Solusi
Dilansir The Fashion Law, inspirasi tentu saja berbeda dengan plagiasi. Inspirasi memerlukan pengambilan elemen yang ada dan menafsirkannya dengan cara baru. Inspirasi sangat umum karena fashion pada intinya didorong oleh praktis mengadopsi elemen desain hingga tren dari masa ke masa, dan mengadaptasinya sehingga selaras dengan konsumen modern.
Ada garis tipis antara imitasi dan inspirasi. Hal yang paling penting adalah untuk meluncurkan sebuah produk fashion sangat bergantung pada kemampuan untuk menarik inspirasi dari sumber yang sudah ada. Seorang pelaku industri harus mampu menjadikan inspirasi yang didapatkannya untuk dikembangkan dengan memasukkan elemen lain, dan menjadi sebuah karya yang berbeda.
Berpikir akan ide yang murni dengan menggunakan sumber yang beragam akan membantu pelaku industri fashion menemukan DNA-nya sendiri tanpa melakukan plagiasi. Transparansi dan keterbukaan untuk menerima masukan juga menjadi faktor penting agar terhindar dari garis abu-abu inspirasi dan plagiasi.
Mendapat inspirasi menjadi konsep yang rumit. Namun terpesona dengan karya cipta yang sudah ada dan mereplikasi juga bisa membawa pelaku industri ke dalam jurang plagiasi.
Advertisement
Simak video berikut ini
#Elevate Women