Fimela.com, Jakarta Sebagai warna negara Indonesia, kita patut bersyukur dengan adanya hak akan kebebasan berekspreasi. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan diri kita. Salah satunya melalui busana.
Fashion ForWords menjadi sebuah ajang pentas busana yang menyuarakan isu kebebasan berekspresi. Ajang inipun digagas oleh InterSastra bersama dengan Koalisi Seni Indonesia dan Kedutaan Besar Norwegia.
Munculnya RUU Permusikan pada awal tahun ini menimbulkan kontroversi. Pasal-pasal yang berada di dalamnya berpotensi untuk membatasi kreativias dan mengkriminalisasi pekerja musik jika karyanya tidak disukai oleh penguasa.
Advertisement
BACA JUGA
Fashion ForWords sendiri didasari atas pengalaman Eliza Vitri Handayani yang merupakan seorang novelis. Di mana peluncuran novelnya yang berjudul "From Now On Everything Will Be Different" di Ubud Writers & Readers Festival 2015 dibatalkan karena adanya keberatan dari polisi. Untuk menanggapi pembatalan ini, Eliza pun melakukan protes dengan pakaian yang disablon dengan kutipan-kutipan novelnya.
“Dari situ aku jadi ingin melakukan eksplorasi yang lebih luas lagi. Aku terpikir, kenapa dunia sastra dan fesyen sangat terpisah, padahal pakaian dan pikiran sama-sama sering dibatasi dan diseragamkan di negara kita. Aku ingin bekerja bersama seniman-seniman yang punya perhatian serupa, aku ingin tahu belenggu apa saja yang mereka rasakan, dan bagaimana busana dapat menjadi medium pembebasan,” kata Eliza, yang juga pendiri InterSastra dan penggagas serta pengarah acara Fashion ForWords.
Advertisement
Menampilkan karya dari empat seniman
Fashion ForWords diawali dengan sebuah pentas busana yang disutradarai oleh Heliana Sinaga. Pentas busana ini menampilkan karya dari empat seniman, yakni Ayudilamar, A. Andamari, Wangsit Firmantika, dan Kolektif As-Salam.
Ayudilamar menampilkan karya yang berkolaborasi dengan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yang memperjuangkan hak-hak dan kesetaraan bagi para buruh. Sehari-hari, para buruh ini menjahit ratusan baju di pabrik namun tidak pernah memiliki sendiri baju-baju itu. Mereka pun tidak diundang ke acara peluncuran koleksi baju yang mereka jahit dan tidak mendapat bagian dari keuntungan penjualannya.
Dalam karyanya, Ayudilamar membuat pakaian untuk delapan orang buruh perwakilan FBLP. Pakaian ini dibuat berdasarkan gambaran dari mereka dan wawancara tentang siapa mereka, apa kegelisahan, dan kekuatan mereka. Para perwakilan buruh inipun juga tampil sebagai model di Fashion ForWords.
Sementara A. Andamari mempertunjukkan empat karya yang menanggapi intaian terhadap tubuh dan pakaian perempuan. Ia menilai bahwa tubuh perempuan terus menerus dilihat sebagai objek. Perempuan tidak merasa aman, tidak dapat bergerak bebas, dan mengekspresikan diri.
Mengubah perspektif masyarakat
Wangsit Firmantika mempersembahkan sebuah karya bertajuk Men.On.Pause. Rekonstruksikan pakaian laki-laki yang ditemukan di toko-toko dan memadukannya dengan unsur lain, seperti tutu dan boneka. Wangsit Firmantika menilai bahwa pakaian pria terbatas dalam pilihan variasi, bentuk, dan warna.
“Hal ini membuat masyarakat kita cenderung mencemooh ketika melihat laki-laki berdandan di luar kebiasaan. Padahal, laki-laki punya banyak sekali ragam ekspresi," ujar Wangsit Firmantika.
Karyanya mengajak masyarakat untuk mengubah asumsi kita tentang laki-laki. Laki-laki tidak harus kasar, jorok, atau kekar. Ia bisa menangis, suka memasak, atau apapun.
Terakhir, koleksi As-Salam menawarkan pakaian muslim untuk sehari-hari yang lebih bervariasi. Rancangan pakaiannya dibuat dengan berbagai lambang dan pesan progresif. Dengan dan tanpa hijab. Rancangan ini menampilkan pengalaman keseharian anak muda Islam Indonesia yang beragam.
Penyelenggaraan Fashion ForWords diharapkan mampu menarik minat banyak kalangan untuk mmperhatikan isu-isu represi terhadap kebebasan berekspresi, khususnya di dunia fashion. Sehingga semua orang bisa leluasa berkarya dan merasa aman menjadi diri sendiri.