Judul: We All Looked Up (Menatap Langit)
Penulis: Tommy Wallach
Alih bahasa: Harisa Permatasari
Editor: Bayu Anangga
Desain sampul: Marcel A.W.
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Sebelum asteroid itu muncul, Peter, Eliza, Andy, dan Anita menerima saja dianggap sebagai si atlet, si kuper, si brandal, si anak berprestasi.
Tapi malam itu, ketika mereka menatap langit, semua berubah.
Keesokan harinya, Presiden mengumumkan bahwa asteroid Ardor akan menghantam bumi dua bulan lagi. Dan kemungkinan hanya dua per tiga bumi yang selamat. Itu berarti mereka hanya punya waktu dua bulan untuk menjadi sesuatu yang lebih berarti, sesuatu yang akan tetap diingat bahkan setelah kiamat.
Dua bulan untuk benar-benar hidup.
***
"Ardor," kata James, "adalah near-Earth-object-objek di dekat Bumi, atau NEO, sebuah kategori yang mencakup asteroid, meteorit, dan komet yang mengorbit di dekat planet kita. Jet Propulsion Laboratory mencatat semuanya. Itu bagian dari pekerjaan mereka.
Bumi akan dihantam asteroid dan hanya sepertiga yang diperkirakan bakal selamat. Dunia tampaknya akan benar-benar kiamat. Mengetahui kabar ini, penduduk dunia panik. Bayangan kiamat membuat segalanya porak-poranda. Kehidupan pun berubah, begitu juga kehidupan para remaja ini: Peter, Eliza, Andy, dan Anita.
Tadinya Peter, Eliza, Andy, dan Anita hidup dalam lingkarannya masing-masing. Peter si atlet basket dengan masa depan yang bisa dibilang menjanjikan. Eliza sosok gadis kuper yang lebih suka menghabiskan waktunya dengan dunia fotografi. Andy dengan kehidupannya yang suka bikin peraturan sendiri. Juga Anita gadis teladan yang ternyata punya keinginan yang terpendam dalam dirinya. Sejak ada kabar Ardor bakal menghantam bumi, mereka kemudian saling menemukan dan menjalani kehidupan yang tak pernah disangka sebelumnya.
Buku-buku terbaik tidak membicarakan hal-hal yang tak pernah kaupikirkan sebelumnya. Buku-buku itu membicarakan hal-hal yang selalu kaupikirkan, tapi kaupikir tidak pernah dipikirkan orang lain. Kau membacanya, dan tiba-tiba kau tidak merasa sendirian lagi di dunia ini.
Hanya ada waktu dua bulan untuk menikmati hari-hari terakhir di bumi. Bisa dibayangkan betapa kacaunya kehidupan semua penduduk. Eliza dengan lensa kameranya merekam berbagai hal yang terjadi, menjadikan sekolahnya sebagai metafora dari masyarakat secara luas. Tak disangka pula, foto-fotonya pun menjadi terkenal dan jadi bahan perbincangan.
Anita pun memutuskan ingin mewujudkan impiannya sebagai penyanyi. Selama ini ia hanya menuruti orangtuanya. Menjadi siswa teladan dan beprestasi dengan mengesampingkan impiannya sendiri. Mengetahui kalau dunia sebentar lagi akan kiamat, Anita mengambil lompatan besar dalam hidupnya. Dia melakukan hal-hal yang belum pernah dilakukannya sebelumnya.
Andy punya sebuah keinginan baru yang harus ia wujudkan sebelum dunia berakhir. Walau pada kenyataannya, yang dia rencanakan tak berjalan semulus harapannya. Peter pun mulai menunjukkan dirinya yang tak sebahagia kelihatannya. Semakin dalam saja ia mencoba mencari arti dan makna kehidupan yang dijalani.
Selama dua bulan, banyak hal yang terjadi. Ada ikatan persahabatan yang baru hingga munculnya benih-benih cinta di antara mereka. Masing-masing mencoba untuk memanfaatkan sisa hidup yang kemungkinan hanya tinggal dua bulan saja.
Advertisement
Orang-orang membicarakan hari-hari mereka yang dinomori, padahal sesungguhnya, semua memang dinomori. Semua film yang kautonton adalah kesempatan terakhir kau menonton film itu, atau kedua terakhir, atau ketiga terakhir. Semua ciuman hanya satu ciuman lebih dekat dengan ciuman terakhirmu.
Isu yang diangkat di novel ini menarik. Membayangkan dunia bakal kiamat dengan hanya sepertiga penduduk yang selamat, rasanya waktu yang dilewati akan terasa begitu menakutkan. Namun, juga jadi memberi banyak keberanian untuk melakukan hal-hal yang selama ini dipendam. Karena kapan lagi bisa melakukannya bila tidak segera sekarang juga?
We All Looked Up, novel yang ditulis dengan bahasa ringan tapi juga memuat banyak pesan penting. Dari karakter Peter, Eliza, Andy, dan Anita kita akan diajak untuk kembali bercermin. Diajak untuk kembali merenung dan memikirkan eksistensi kita di dunia ini. Ending novel ini pun menghadirkan perasaan yang takjub sekaligus merinding.
- Review: What We Talk About When We Talk About Love - Raymond Caver
- Review: Buku Stop Pretending, Start Practicing - Hamza Yusuf
- Review: Growing Pains (Five Stories, Five Lives) - Desi Anwar
- Review: Novel Rumah Tanpa Jendela - Asma Nadia
- Review Buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa - Thrio Haryanto
(vem/nda)