Judul: A Man Called Ove
Penulis: Fredrik Backman
Penerjemah: Ingrid Nimpoeno
Penyunting: Jia Effendi
Penata letak: CDDC
Perancang sampul: Muhammad Usman
Cetakan I, Januari 2016
Diterbitkan oleh Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika)
Sebelum terlibat lebih jauh dengannya, biar kuberi tahu. Lelaki bernama Ove ini mungkin bukan tipemu.
Ove bukan tipe lelaki yang menuliskan puisi atau lagu cinta saat kencan pertama. Dia juga bukan tetangga yang akan menyambutmu di depan pagar sambil tersenyum hangat. Dia lelaki antisosial dan tidak mudah percaya kepada siapa pun.
Seumur hidup, yang dipercayainya hanya Sonja yang cantik, mencintai buku-buku, dan menyukai keujujuran Ove. Orang melihat Ove sebagai lelaki hitam-putih, sedangkan Sonja penuh warna.
Tak pernah ada yang menanyakan kehidupan Ove sebelum bertemu Sonja. Namun bila ada, dia akan menjawab bahwa dia tidak hidup. Sebab, di dunia ini yang bisa dicintainya hanya tiga hal: kebenaran, mobil Saab, dan Sonja.
Lalu... masih inginkah kau mengenal lelaki bernama Ove ini?
Siapa Ove? Kalau kita bertemu langsung dengan Ove untuk pertama kalinya, kita langsung merasa dia adalah sosok kakek tua yang kolot dan keras kepala. Sangat kaku dan juga nggak mau kalah. Tapi semakin dalam kita mengenal Ove semakin trenyuh hati ini dibuatnya. Ternyata ada kesedihan yang begitu dalam yang disimpannya.
Jika Ove adalah sosok yang hitam putih, lain lagi dengan istrinya Sonja. Sonja adalah sosok yang warna-warni. Bersama Sonja, Ove bisa menemukan kebahagiaan sejatinya. Hidupnya benar-benar bahagia. Sampai sebuah kejadian yang begitu menyakitkan membuat Ove harus hidup sendiri.
”Kita bisa menyibukkan diri dengan hidup atau mati, Ove. Kita harus melanjutkan hidup.”
(hlm. 265)
Ove hidup dalam rutinitas yang rutin dan sama hampir setiap harinya. Tak perlu jam beker untuk bisa bangun pagi. Tapi tanpa Sonja, hidup Ove hampa. Ia pun berniat dan sudah berusaha melakukan berbagai macam usaha percobaan bunuh diri. Cuma anehnya setiap kali sudah selangkah untuk bunuh diri, ada saja hal-hal tak terduga yang terjadi. Pada suatu kali percobaan bunuh diri, Ove bahkan sempat menjadi seorang pahlawan.
Kita selalu mengira masih ada cukup banyak waktu untuk melakukan segalanya bersama orang lain. Masih ada waktu untuk mengucapkan segalanya kepada mereka. Lalu terjadi sesuatu, dan kita berdiri di sana sambil menggelayuti kata-kata semacam “seandainya saja”.
(hlm. 265)
A Man Called Ove, novel ini menggunakan alur maju dan mundur yang mengisahkan sosok Ove dari mulai remaja, hubungannya dengan sang ayah, pertemuannya dengan Sonja, dan juga hal-hal yang dialami dan dilakukannya untuk para tetangganya. Cara Ove berinteraksi dengan tetangganya pun tak bisa dibilang ramah. Meski begitu, sosoknya tetap dekat bahkan sangat dicintai oleh tetangga dekatnya seperti Parvaneh dan Rune. Ove punya cara sendiri dalam menunjukkan kasih sayang dan perhatian.
Mengikuti kisah Ove bisa membuat kita tersenyum, tertawa, tapi juga menangis haru. Khususnya tentang kisahnya bersama Sonja. Tak heran jika Ove mencintai Sonja dengan tulus karena Sonja pun punya alasan-alasan yang begitu mengharukan kenapa dia sampai jatuh hati pada seorang pria yang mungkin dianggap membosankan oleh kebanyakan orang.
Pelajaran soal cinta, keluarga, pengorbanan, hingga soal melepaskan sangat kental di novel ini. Ketika sampai di bagian akhir novel, ada perasaan yang begitu menyesakkan sekaligus menghangatkan yang tertinggal. Novel ini recommended banget buatmu, Ladies.
- [Vemale’s Review] Novel ''Caraval'' – Stephanie Garber
- [Vemale's Review] ''Luka Dalam Bara'' - Bernard Batubara
- [Vemale's Review] Novel 'Angan Senja Senyum Pagi' - Fahd Pahdepie
- [Vemale's Review] Buku Journey to Andalusia -Marfuah Panji Astuti
- [Vemale’s Review] 'Hati yang Gembira Adalah Obat' Sophie Navita