Judul: Lara Miya
Penulis: Erlin Natawiria
Penyunting: Jia Effendie
Penerbit: Falcon Publishing
Lara (n) sedih; susah hati
Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya. Tempat itu tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering berubah seolah mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan mudah. Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.
Di Blok Tiga, ada sebuah rumah bernuansa warna tanah. Pemiliknya seorang perempuan paruh baya yang mengoleksi benda-benda antik. Kalau kau ingin menemuinya, sebaiknya datanglah pukul empat. Dia selalu pulang untuk minum teh. Seorang gadis berambut biru-ungu juga tinggal di sana. Miya namanya. Dan mungkin kau sudah menebaknya, mereka tidak akur.
Miya tidak pernah mengira akan tinggal di rumah tantenya yang seperti kamp militer. Beberapa hari sebelumnya, Miya masih punya tempat pulang. Namun, hidupnya luluh lantak seketika. Dan kini, dia harus memunguti kembali puing-puing dirinya untuk kembali utuh.
Tak pernah mudah untuk menerima sebuah kehilangan. Melanjutkan hidup seperti sedia kala setelah kita kehilangan orang-orang yang paling dekat dengan kita rasanya sulit untuk dilakukan. Luka dan duka yang ada pun butuh waktu yang tak sebentar untuk bisa benar-benar sembuh.
Miya, hidupnya berubah ketika ia harus kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Yang paling membuatnya sedih lagi adalah karena hubungannya dengan kedua orang tuanya sebelumnya sempat bermasalah. Ia pun tinggal dengan Amaya, tantenya. Amaya adalah kakak dari ibu Miya. Wanita paruh baya itu tak segan-segan menerapkan aturan yang super ketat untuk Miya. Meski Miya adalah keponakannya sendiri, ia tak lantas memanjakan atau memberi semua kenyamanan begitu saja. Terlebih mendiang ibu Miya sempat mengutarakan sesuatu yang terus terngiang di benak Amaya tentang Miya.
Hidup dengan aturan ketat dan disiplin yang keras, jelas Miya tak betah. Pertengkaran pun kerap terjadi. Belum lagi ketika Miya harus menghadapi kabar buruk dari kantor tempatnya bekerja. Tinggal di rumah Amaya adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki.
Meski Amaya berkarakter keras dan sangat disiplin, sesungguhnya ia sangat memperhatikan Miya. Sebagai wanita yang sukses membangun usaha wedding organizer, sosoknya cukup disegani di kalangan para stafnya. Amaya juga yang kemudian berusaha memberi jalan keluar pada Miya soal pekerjaan. Tapi bantuan yang ia tawarkan tak diberikan begitu saja. Amaya tetap ingin keponakannya tersebut bisa mandiri dan membuktikan kemampuan terbaiknya tersebut.
Miya yang tadinya hidupnya serampangan bahkan sampai pernah nekat mabuk-mabukan mau tak mau harus menuruti semua aturan yang diterapkan Amaya. Ia pun harus bisa memposisikan dirinya dengan sebaik mungkin, baik di rumah maupun di kantor, harus bisa membedakan kapan waktunya bersikap profesional dalam pekerjaan dan tak hanyut dalam perkara pribadi atau keluarga.
Sampai kemudian Miya berkenalan dengan Raeka, sosok pria yang memiliki masa lalu kelam juga agak tertutup namun tak diragukan lagi profesionalismenya dalam bekerja. Bersama Raeka, Miya perlahan bisa mulai berdamai dengan kehilangannya. Terlebih ketika Raeka juga mulai berani membagikan masa lalunya. Namun, sebuah masalah muncul. Ada rencana yang diam-diam dibuat oleh Amaya untuk Miya dan melibatkan Raeka. Sebuah rencana yang membuat hidup Miya kembali dipenuhi dilema.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima kepergian orang yang kita sayangi. Sesal yang kamu rasakan mungkin ada karena kamu belum memaafkan dirimu sendiri."
"Berubahlah untuk dirimu sendiri, Miya. Ampuni semua kesalahan yang pernah terjadi, terima segala situasi meski terasa pahit.(hlm 123)
Mengikuti kisah Miya, saya ikut dibuat sedih. Masalah seakan terus datang silih berganti. Tapi setidaknya ia masih punya sahabat yang selalu menghiburnya dan juga Amaya, tante yang begitu keras tapi sebenarnya begitu ingin membuat Miya berubah jadi lebih baik. Saya suka dengan bagaimana Miya kemudian berproses untuk menjadi wanita yang lebih dewasa. Terlebih ia kemudian tetap berusaha menjaga profesionalisme kerjanya saat bisnis Amaya mendapat ancaman. Walau ya dia harus jatuh bangun dengan semua perasaan yang ada.
Yang paling bikin nyesek lagi adalah saat Miya mengingat dirinya yang belum sempat mengabulkan permintaan terakhir ayahnya. Sang ayah ingin sekali bisa melihat Miya menikah. Namun, sang ayah harus lebih dulu berpulang sebelum bisa mengantar putrinya itu ke pelaminan. Ah, rasanya setiap perempuan mengerti sekali dengan yang dirasakan Miya tersebut.
Sosok Amaya ini memang awalnya sempat bikin sebal. Bukannya ikut menghibur Miya yang baru kehilangan kedua orang tuanya tapi malah membuat aturan yang begitu ketat pada Miya. Namun, ternyata ada luka yang ternyata selama ini ia pendam sendiri. Ada kesedihan yang berkaitan dengan suaminya dan juga impiannya untuk memiliki anak. Amaya merupakan sosok yang terlihat begitu keras di luar tapi di dalam ada hati yang begitu rapuh. Tak mudah pastinya menjadi seorang Amaya.
"Menurut saya, 27 tahun adalah usia yang cukup matang untuk menikah. Malah lebih. Harusnya wanita seumuran kamu sudah bersuami dan punya anak dua. Bukannya sibuk bekerja sampai larut malam atau mabuk-mabukan."
(hlm. 133-134)
Membaca Lara Miya, saya dibuat terhanyut dengan alurnya yang rapi. Bahasanya juga sangat ringan dan mengalir. Dan juga dibuat jatuh hati dengan sosok Raeka.
Pelajaran soal menerima dan berdamai akan kehilangan bisa kita dapat dari Lara Miya ini. Alih-alih dibikin baper, kita akan belajar cara menjadi perempuan kuat dari seorang Miya. Kita juga akan lebih memahami arti penting keluarga dalam hidup. (vem/nda)