Judul: Seribu Wajah Ayah
Penulis: Azhar Nurun Ala
Penyunting: Abdullah Ibu Ahmad
Konsep dan Pengembangan Desain: YS Gunawan
Penerbit: Azharologia, Cetakan Ketiga (April 2016)
azharologiabook.com
azharologia@live.com
Tak banyak yang berubah di sana. Letak jam dinding, lemari tua berbahan kayu jati yang sudah terlalu penuh oleh buku, foto ibumu ketika muda—ah iya, ia memang tak sempat tua. Di meja baca ayahmu, tergeletak sebuah benda berbentuk buku dengan sampul biru tua yang tidak terlalu tebal, usang, tapi tampak sangat terawat. Kamu, sebelumnya tak mengira bahwa itu adalah album foto.
Setiap foto menyimpan kenangan dan memiliki ceritanya sendiri. Inilah yang dirasakan oleh sosok "kamu" yang diceritakan dengan sudut pandang orang kedua. Seribu Wajah Ayah, karya Azhar ini menceritakan seorang anak yang kembali mengenang kisah hidupnya bersama sang ayah tercinta. Melalui sepuluh foto dalam sebuah album kenangan, sang anak seakan kembali tersedot ke pusaran waktu saat ia baru dilahirkan hingga akhirnya tumbuh dewasa. Kepingan-kepingan kenangan kembali bermunculan setiap kali melihat foto-foto di album kenangan satu per satu.
Advertisement
Sosok "kamu" dalam novel ini diceritakan lahir sudah dalam keadaan piatu. Sang ibu meninggal ketika baru melahirkannya. Akhirnya, ia pun hidup dibesarkan oleh ayahnya yang juga merangkap peran sebagai seorang ibu. Ada banyak kisah yang mengharukan dan membuat kita menitikkan air mata di setiap kepingan kenangan yang dimiliki "kamu". Soal kasih sayang ayah, perjuangan, pengorbanan, hingga pergolakan batin.
Membaca Seribu Wajah Ayah seolah membuat kita bercermin. Azhar dalam rangkaian kalimatnya pun mengajak kita berdialog. Membahas banyak hal dengan topik-topik yang sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tentang makna cinta, keluarga, rasa rindu, dan juga soal menemukan arti hidup.
"Tak ada cinta sejati tanpa kemantapan hati dan kemampuan. Mereka yang berkata ‘Aku mencintaimu’ dengan hati yang mantap tapi tanpa kapasitas yang mumpuni untuk menjaga, merawat, dan menumbuhkan, hanyalah para perayu – kalau bukan pembual. Mereka yang memiliki kemampuan tapi tak mantap hatinya adalah peragu."
(Seribu Wajah Ayah, halaman 45)
Ada bagian yang cukup membekas di ingatan dan merenung cukup dalam saat membaca novel ini, yaitu tentang kisah sebatang pensil. Sosok "kamu" mengingat lagi sebuah cerita yang pernah disampaikan oleh guru SMP-nya. Sang guru memaparkan kalau manusia itu seperti sebatang pensil. Dari perumpamaan itu, saya kembali tersadarkan soal hakikat seorang manusia yang punya hak menentukan pilihan dalam hidup tapi juga memiliki keterbatasan. Soal menyadari bahwa sesungguhnya kita bukan apa-apa, tak layak rasanya kita menyombongkan diri. Pun, kita sebagai manusia jika tak bisa selalu benar atau sempurna.
"Kita memohon untuk ditunjukkan jalan yang lurus berkali-kali setiap hari, tapi kita menutup mata. Adakah hal yang lebih tolol dari ini? Seperti kau yang meminta orang yang baru kau kenal untuk mengenalkan dirinya, tapi ketika ia mulai bicara kau justru menutup telinga. Tentu saja – setidaknya dalam hati – dia begitu ingin menamparmu. Kau mau ditampar Tuhan?" (Seribu Wajah Ayah, halaman 55)
Membuka lembaran demi lembaran Seribu Wajah Ayah membuat kita merenung berkali-kali. Soal kehangatan cinta ayah, pengorbanan ayah, sosoknya yang terlihat tegar tapi menyimpan kerapuhan yang tak pernah ia perlihatkan pada siapapun. Rasanya sebagai seorang anak, kita tak pernah bisa punya cukup waktu untuk membahagiakannya dan membalas jasa-jasanya. Dan penyesalan selalu datang terlambat, tapi selalu ada cara untuk meneladani kesahajaan dan cinta tanpa syarat seorang ayah pada anaknya.
Sebuah novel yang isinya sangat padat dengan mengangkat karakter sederhana. Sekalipun telah selesai membacanya, setiap membuka lembarannya lagi untuk kesekian kali rasanya ada semacam perasaan hangat yang mengaliri tubuh. Tak pernah bosan untuk kembali menemukan kutipan-kutipan yang menarik di dalamnya.
- [Vemale's Review]: Buku 'Perjalanan, Cinta, & Makna Perempuan'
- [Vemale's Review]: Vaseline Healthy Sunblock SPF 30
- [Vemale's Review]: Buku 'Rumah Tangga' Karya Fahd Pahdepie
- Buku Generasi 90an : Mesin Waktu Yang Penuh Ilustrasi
- Review + Kuis: Interlude, Saat Kekuatan Cinta Mampu Mengobati Luka
(vem/nda)