Apa benar social media bisa mengubah Anda jadi seorang fame-hungry attention seekers?
Menjalani keseharian yang sering “diamati” oleh publik memang susah-susah gampang. Publik yang Cosmo maksud di sini adalah para sahabat di social media seperti Facebook, Path, Instagram, dan lainnya. Lihat sesuatu yang menarik sedikit, tinggal click, lalu tinggal di upload deh! Belum berhenti di soal foto. Kata-kata Anda – for sure, yang berbau drama – bisa menuai reaksi positif sampai negatif. Bahkan pernyataan, “Saya dan Ryan sudah break up, but we’re still friends anyway. Mohon kalian menghargai keputusan dan privasi kami dalam masa sulit ini.” Masalahnya, baik Laura* dan Ryan* tidak ada yang terkenal. Mereka bukan selebriti ataupun public figure. Dan statement ini tidak dikeluarkan oleh publicist mereka ke media, ini hanya kalimat yang tiba-tiba saja muncul di status update dan timeline Laura – yang menyampaikan pada 530 teman di Facebook dan 321 followers di Twitter kalau status mereka bukan lagi “in relationship”. WHAT?!
Mungkin Anda jadi berujar, “Who do you think you are?” setelah membaca status seperti ini. Tapi yang lebih mengejutkan bukan hal ini, melainkan berbagai news feed Laura selama menjalin hubungan dengan Ryan. Timeline-nya kini seolah menjadi kolase online sebuah kehidupan yang sempurna – foto ia dan Ryan di dalam mobil yang tersenyum lebar di tengah kemacetan, status mengenai liburan mewah mereka di Maldives, hingga foto makanan yang (katanya) dimasak bersama.
Advertisement
Saat sedang berbincang mengenai kisah ini, Cosmo menemukan tanggapan yang berbeda-beda. Mulai dari tebakan bahwa selama ini hubungan Laura dan Ryan memang sudah renggang, namun mereka masih berusaha mempertahankan image sebagai pasangan bahagia via social media. It’s all about public image! Ada juga yang berpikir bahwa keduanya meniru gaya berpisah ala selebriti yang menyampaikan berita tersebar pada publik, sebelum orang banyak mengetahuinya dengan cara yang salah. Well, apapun itu, cerita ini bikin Cosmo penasaran: Sejauh mana dampak social media dalam kehidupan seseorang?
The New Reality
Anda pasti sudah menonton The Social Network dan tahu bahwa di tahun 2004 sebuah site yang awalnya dibuat untuk para pelajar agar dapat terus berhubungan kini sudah berkembang pesat dan menjadi platform dengan estimasi milyaran pengguna. Tentu saja, semakin banyak pula yang akhirnya menjadikan platform ini sebagai personal public relation. Dalam site itu sendiri tercantum: “Facebook helps you connect and share with the people in your life”, namun sekarang, dalam dunia yang tenggelam dalam budaya selebriti, platform ini menjadi cara untuk “memamerkan” versi A-list dari penggunanya.
Dalam keseharian di mana Anda tidak berhenti dibombardir dengan informasi mengenai fashionable outfit terbaru yang dikenakan Rihanna, kekasih Emma Stone yang luarrr biasa bikin Anda iri, lekuk tubuh J-Lo yang mempesona, memang tidak heran bila Anda pun jadi ikut tertular budaya narsis. Setiap hari Anda membongkar isi lemari demi terlihat fabulous, meski hanya untuk pergi lunch bersama the girls, hanya karena ingin memiliki kehidupan ala selebriti. Berbagai social networking site ini membentuk budaya baru dari mini-celebrity dan membuat ketergantungan pada atensi – but at what cost?
“Saat ini banyak orang yang menjadi social animal karena keadaan dan pastinya ada pengaruh dari social media yang membuat seseorang menjadi insecure akan popularitasnya usai melihat apa yang dilakukan oleh teman-temannya, dan apa yang orang lain katakan mengenai mereka,” ungkap Johanna Griffin, counsellor di Life-Works. Dan umumnya kaum wanita rentan pada apa yang bisa disebut social media illusion ini. Menurut sebuah studi oleh University of Texas, bila pria lebih sering menggunakan site untuk berbagi hal yang berhubungan dengan berita atau current events, wanita cenderung memakai social media untuk melibatkan diri dalam komunikasi personal (bahkan tak jarang wanita kerap mem-posting foto atau pernyataan yang sifatnya pamer diri). Well, sepertinya ada momen tertentu yang membuat Anda sulit untuk menghindari persaingan ini. Sebut saja kala melihat foto seorang wanita dengan bentuk tubuh yang memukau, sementara Anda masih bersusah payah untuk menurunkan berat badan! (Hello Kim Kardashian...yang tidak pernah absen meng-upload foto bikini body-nya).
Sherry Turkle, penulis buku Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other, berargumen bahwa internet, lebih tepatnya social media sites, dapat meningkatkan rasa khawatir dan peer pressure serta membuat banyak di antara Anda membentuk profil palsu dalam usaha untuk memenangkan teman dan menjadi yang berpengaruh.
Stella*, 26 tahun, yang bekerja di perusahaan advertising mengaku bahwa ia kebingungan membentuk image dirinya di dunia maya dengan siapa ia sebenarnya. Menurutnya, saat ia berusaha untuk “jujur” di social media, ia tidak dapat menolak godaan untuk menggunakan sites tersebut untuk membentuk impresi yang baik. “Saya tidak akan pernah membiarkan foto saya terlihat buruk terpampang di social media. Meskipun orang lain dalam foto tersebut terlihat menarik. No way!” ujarnya.
Sesuai dengan penjelasan Sherry, “Anda jadi berpikir bahwa apa yang Anda katakan secara online memengaruhi bagaimana orang lain memperlakukan Anda di dunia nyata. Alhasil kebanyakan orang sudah mengasosiasikan Anda berdasarkan apa yang mereka lihat di social media.”
Fame Hungry
Kenyataannya, online self-love sedang ramai dan digemari. Anda bahkan bisa menemukan website dan blog yang didedikasikan untuk membantu Anda meningkatkan status selebriti ini. Dengan mudah Anda bisa menemukan berbagai artikel mengenai bagaimana cara menambah jumlah follower, mendapat banyak likes, semua untuk membangun “online brand” Anda.
Dalam komunitas online di mana official page milik Kim Kardashian memiliki lebih dari jutaan likes dan follower, kompetisi memang “panas”. Ada juga official ranking dari selebriti-selebriti yang populer di social media seperti Katy Perry, Lady Gaga, dan Taylor Swift masuk dalam 20 besar. Dan mereka tahu bukan hanya link yang di-share saja yang menarik, namun juga foto-foto yang ditampilkan. Untungnya mereka punya tim PR yang mengelola foto yang akan dipublikasikan (again, they ARE celebrity). Tak ketinggalan berbagai social media pun mengeluarkan feature yang mempersilahkan Anda meng-approve foto tersebut terlebih dahulu sebelum terpampang di timeline Anda – ya, untuk menyelamatkan Anda dari rasa malu akibat teman menampilkan foto jelek Anda. Tapi apa sensor ini tidak berbahaya untuk real-life relationship Anda?
Menurut Johanna, “Beberapa orang akhirnya sulit membedakan antara realita dan apa yang terjadi di social media. Anda harus sadar bahwa karena adanya self-censor ini, pandangan Anda mengenai orang lain berdasarkan apa yang Anda lihat di social media belum tentu yang sebenarnya.”
The Reality Check
Jadi bagaimana untuk kembali on track dan yakin Anda tidak menjadi korban social media illusion? Coba mulai dari langkah pertama yang paling penting, yaitu mengidentifikasi gejala psikis dari masalah hubungan Anda dengan social networking. Semisal perasaan terkekang, tidak berhenti mengecek social media, atau menjadi emosi, sedih, iri, dan marah saat tidak banyak yang menyukai self-portrait yang Anda posting – padahal butuh satu jam Anda mengedit foto tersebut. Pphhff.
Untuk pengguna social media seperti Laura, yang merasa publik announcement ialah cara yang paling pas untuk memberi tahu bahwa ia berpisah dari kekasihnya, Johanna merekomendasikan untuk menggunakan privacy setting yang disediakan. Yang paling penting, ingat, Anda bukan A-list selebriti yang berita mengenai Anda bisa dinikmati publik. “Dengan mengganti pengaturan privasi, Anda jadi bisa mengontrol sejauh mana berita atau foto Anda tersebar. Jika tidak, Anda harus mempertimbangkan lagi apa Anda benar-benar mau semua orang bisa mengakses timeline Anda,” katanya. Sekarang, coba “mundur” sebentar dan sadari bahwa social networking sites adalah alat untuk membuat hidup menjadi lebih nyaman, efisien, dan enjoyable. Anda tidak mau kan social media mengontrol emosi Anda?
Source : Cosmopolitan Edisi April 2013 halaman 183
(vem/cosmo/dyn)