Oleh Jane Ardaneshwari
Khazanah bahasa kita memang sarat metafora yang mendeskritkan dunia fauna, mulai dari serangga hingga ternak. Sebutan bagi orang yang hobinya meniru orang lain? Membeo atau membebek. Orang yang licik atau culas kita sebut ‘serigala berbulu domba’, ‘musang berbulu ayam’, ‘ular berkepala dua’, atau penuh ‘akal bulus’. Orang yang kuper kita juluki ‘katak dalam tempurung’. Orang ambisius tidak sadar kemampuan diri diumpamakan ‘katak hendak jadi lembu’. Buronan yang selalu lolos kita sebut ‘licin seperti belut’. Bahkan sebuah majalah berita pernah memakai metafor ‘tikus’ untuk menyebut koruptor. Bajing pun tak kalah malangnya. ‘Bajing loncat’ adalah sebutan untuk pencuri muatan truk. Lalu mana ada sih, orangtua yang mau punya menantu ‘bajingan’? Dalam dongeng pun, kancil itu dicitrakan sebagai binatang licik dan tukang tipu yang doyang mencuri. Padahal yang dicurinya itu cuman ketimun, bukan uang rakyat!
Waktu saya kecil dulu, ibu melarang saya makan dengan mulut terbuka karena menurut beliau, hanya kuda yang makan seperti itu (dengan bentuk mulut seperti itu, manalah mungkin kuda mematuhi table manner!). Dan satu lagi, saya juga dibiasakan untuk makan dengan tertib karena konon hanya ayamlah yang amburadul acara makannya. Ada yang masih ingat ungkapan ini: “Bangunlah pagi-pagi, biar rezekinya nggak dipatok ayam”? Busyet, sudah telurnya diambil, bahkan nasibnya berakhir di piring makanan kita, masiiiih saja kita sirik terhadap makhluk berkaki dua itu!
Advertisement
Metafor yang seksis pun, ada. Pernah melihat kupu-kupu berterbangan di malam hari? Setahu saya, hanya kunang-kunang dan nyamuk yang berkeliaran di malam hari. Jadi mengapa pekerja seks komersial dijuluki ‘kupu-kupu malam’?
Orang yang melakukan kesalahan sama untuk kedua kalinya, bakal dianggap lebih tolol ketimbang keledai berhubung ada pepatah yang bilang kalau ‘keledai tidak akan tersandung untuk kedua kalinya”. Jika pembawaan kita kurang sigap, pasti akan mendapat julukan ‘lelet seperti keong’ atau ‘macan lapar’ buat yang lemah gemulai bak peragawati. Ada pula metafor ‘seperti gajah bengkak’ buat orang yang kelebihan bobot. Orang yang tidak lagi punya kekuasaan, biasa kita sebut ‘macan ompong’. Orang yang hobi membaca kita juluki ‘kutu buku’.
Yang pasti, tidak ada seorang pun yang mau dijadikan ‘sapi perah’ dan digosipkan orang yang ‘lidahnya bercabang’ kayak ular atau angkuh seperti merak? Diejek sebagai cicak yang nekat melawan buaya juga pasti menyebalkan, apalagi dikadalin! Jadi, apa sebenarnya dosa semua binatang tadi, sehingga kita mengkambinghitamkan mereka? Ups...apa dosamu wahai kambing (berbulu) hitam? He he he...peace!
[initial]
Source: GoodHouseKeeping, Edisi Oktober 2012, Halaman 144
(GH/gil)