Jakarta Siapa tak kenal lurik, satu kain wastra budaya tanah air ini sukses diolah jadi berbagai rancangan fashion yang sungguh modern. Deretan fashion designer tanah air sukses menyulap kain tenun bermotif garis-garis ini jadi berbagai koleksi fashion yang sungguh stylish, dan mampu disandingkan dengan berbagai koleksi designer kelas dunia. Edward Hutabarat, salah satu designer kenamaan, dan salah satu yang paling senior, yang berhasil mengangkat nilai budaya sendiri dari kain lurik. Mulai dari fotografi, video, instalasi (living dan fashion) hingga pagelaran busana yang diinspirasi dan menggunakan kain tradisi lurik ini mewarnai pameran bertajuk Tangan-Tangan Renta Lurik Indonesia yang dilaksanakan mulai 23 sampai 28 Agustus 2017 di Pelataran Ramayana, Hotel Indonesia Kempinski.
Advertisement
Pagelaran ini merupakan salah satu upaya mengangkat berbagai wastra peradaban nusantara ke panggung gaya hidup tersebut juga memberi perspektif yang berbeda dan semakin komprehensif bagi Edo dalam melihat lurik. Bahwa lurik bukan lagi sekadar selembar kain, tapi menjadi serangkaian cerita tentang para manusia di balik lurik yang juga terabadikan bersama benang-benang yang terjalin merangkai selembar lurik. Fenomena yang terjadi adalah, dibalik setiap helai kain lurik yang tercipta dari mesin-mesin kayu penenun, ada sosok manusia renta yang tak kenal lelah. Ya, workshop pengajin lurik yang ada di Klaten dan Yogyakarta mempekerjakan para pegawai orang tua lanjut usia berumur 50 bahkan sampai 80 tahun. Satu yang lebih ironis adalah, tak ada generasi muda di daerah tersebut yang berniat melanjutkan kegiatan bertenun untuk hasilkan kain lurik. Sad, but true.
Harga upah tenun kain lurik yakni senilai 4500 sampai 9000 Rupiah per meter. Nominal yang sungguh tidak sesuai dengan usaha dalam proses penenunannya, rasanya jadi satu faktor mengapa para kaum muda enggan menyentuh usaha tradisional ini. Mesin-mesin kayu manual yang dioperasikan dengan hentakan kaki dan tangan para pengrajin pastinya sangat melelahkan. Waktu yang dibutuhkan untuk ciptakan kain per-meternya sendiri adalah sekitar satu sampai dua jam, tergantung tingkat kerumitan pola dan bahan. Kurangnya minat masyarakat serta mungkin dalam hal ini, pemerintah, dalam memfokuskan perhatian ke salah satu kain hasil kerajinan tanah air ini juga sebabkan harga kain jadi begitu murah.
Kain lurik ini sebenarnya sungguh indah dengan berbagai ragam warna yang diperoleh dari pewarna alam alami seperti pandan dan kunyit. Lihat saja koleksi rancangan Edward Hutabarat yang mampu menciptakan berbagai oversized dress, dengan detail backless, bergaya resort wear. Ada pula deretan outer panjang yang bisa dikenakan untuk tampilan casual atau semi formal sekaligus. Satu fenomena yang buktikan bahwa kita sebagai putra-putri Ibu pertiwi harus selalu menaruh cinta dalam setiap wastra budaya yang ada dalam hal ini adalah kain lurik. Agar mampu meningkatkan keinginan generasi muda di setiap daerah, untuk mau melanjutkan tradisi bertenun dan bahkan menciptakan berbagai inovasi dan kreasi kain lurik itu sendiri.
After all, let’s think what would happen to Lurik 10 years from now.
(Picture : Exclusive)