Advertisement
Next
Yayasan Cita Tenun Indonesia (CTI) yang diprakarsai oleh sekelompok perempuan Indonesia dalam misinya untuk melestarikan dan mengembangkan produksi dan penggunaan tenun telah aktif mengadakan pembinaan di berbagai desa di pelosok Indonesia. Daerah yang "diadopsi" berubah setiap tahunnya, kali ini giliran Bali yang jadi pilihan. Sejumlah media diundang untuk melihat lebih dekat proses pembuatan tenun juga pengembangan yang telah diprakarsai oleh CTI juga penandatanganan buku "Tenun" yang diluncurkan bekerja sama dengan Periplus. Pada acara yang berlangsung di Sanur, Bali tersebut, tampak display dari beberapa pengrajin yang sedang dan telah mengalami pembinaan. Tujuan dari pembinaan tersbut adalah agar tenun dapat berkembang menjadi tekstil yang relevan untuk produk-produk fashion dan gaya hidup masa kini. Pembuatan tenun menggunakan teknik dan material tradisional memiliki beberapa kelemahan. Antara lain, serat benang yang digunakan terlalu tebal, jadi kain yang dihasilkan berat, kaku dan kurang nyaman untuk digunakan. Penggunaan pewarna tradisional yang berasal dari tumbuhan dan bahan alami, di satu sisi indah dan merupakan keterampilan yang harus dilestarikan tapi di sisi lain, kualitas dan komposisi pewarna tersebut karena tidak diformulasi dengan detail dan baik sering kali berpengaruh pada kontinuiti serta konsistensi kualitas bahan. Juga bentuk produk yang dihasilkan selama ini hanya terbatas pada selembar kain dalam ukuran tertentu yang terbatas penggunaannya, jadi selendang atau sarun.
Untuk itu, CTI melibatkan desainer tekstil, desainer fashion dan desainer interior. Pakar tekstil kemudian mengajarkan cara pencatatan formulasi pewarna natural agar dapat menghasilkan hasil yang konsisten, juga pemilihan benang ukuran kecil serta teknik pembuatan yang sesuai untuk menghasilkan kain tenun yang ringan dan lentur. Desainer fashion seperti Priyo Oktaviano, Didi Budiardjo dan Denny Wirawan kemudian memberi saran soal desain motif dan pilihan warna yang sesuai tren dan keinginan pasar fashion saat ini. Seorang desainer interior kemudian mengembangkan bentuk produk menjadi tekstil yang bisa digunakan untuk partisi atau bingkai cermin dan foto.
Advertisement
Next
Pada kunjungan ke desa daerah Sidemen, kami melihat langsung cara pembuatan tenun. Intrikasi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk proses ini will blow your mind!
1. Gulungan benang yang digunakan berasal dari serat kapas atau ulat sutra. Hanya serat alami yang bisa menyerap pewarna natural.
2. Benang kemudian disusun secara merata dengan ketebalan susunan yang sama.
3+4 Papan dengan susunan benang tersebut kemudian akan diikat dengan tali rafia sesuai desain yang diinginkan.
5. Say hi to the lil' weavers! Mereka adalah anak-anak sekolah kelas 5 yang sedang libur dan membantu orang tuanya bekerja. Biasanya mereka mulai dilatih sejak usia 8 atau 9 tahun.
6. Tali rafia dibelah menjadi ruas-ruas tipis yang kemudian digunakan untuk "mengunci" jalinan benang agar tidak terkena pewarna saat dicelup. Fungsi rafia di sini sama dengan fungsi lilin atau malam pada pembuatan batik.
7. Tangan-tangan mungil mereka bergerak demikian cepat! Sebuah koordinasi pola pikir matematis dengan koordinasi saraf motorik. Amazing!
8. Ikatan harus betul-betul rapat. Proses ini diulang beberapa kali sesuai jumlah warna yang terdapat pada kain. Misalnya ada 3 warna pada desain kain tersebut, maka proses pengikatan dan pencelupan diulang 3 kali. Semakin banyak warnanya, semakin rumit dan lama pembuatannya.
9. Benang yang sudah dicelup kemudian dilepas ikatannya dan diurutkan sebelum ditenun menjadi kain. Salah urutan, berakibat pola yang salah dan tidak matching. Dibutuhkan konsentrasi tinggi dan mata super jeli!
10 + 11. Benang kemudian dipintal menjadi untaian panjang sesuai urutannya.
12+14+15. Satu demi satu kemudian benang ditenun, serat demi serat, helai demi helai. Untuk satu lembar biasanya dibutuhkan satu bulan.