Fimela.com, Jakarta Ungkapan 'Indonesia orangnya ramah-ramah' tentu tak lagi jadi bunyi asing di telinga. Sudah lama, terlalu lama, sejak anggapan itu terbentuk dan akhirnya menyebar. Tak hanya di dalam negeri, tapi juga menggema hingga ke seantro Bumi. Namun kini, saya malah hendak mempertanyakan kesaksian dari mulut ke mulut tersebut.
Dengan pesona tiada akhir, baik soal lanskap menawan maupun keberagaman budaya, sangat wajar bila Negeri Khatulistiwa mengundang banyak pendatang untuk singgah ataupun menetap. Tak semata dalam skala nasional, cangkupannya bahkan sudah lebih luas dari sekedar puluhan provinsi di dalam negeri.
Advertisement
BACA JUGA
Berbicara dampak, yakni baik dan sebaiknya, tulisan saya yang dua halaman ini tentu tak akan sanggup menyentuh keseluruhan elemen. Namun bila kita berangkat dari kecemasan di paragraf pembuka, topik bule-sentris sekiranya menarik untuk diulas dalam berbagai sudut pandang.
Istilah bule-sentris sendiri dimengerti dalam berbagai makna. Supaya penyamaan pemahamannya lebih mudah, saya akan menyelipkan contoh-contoh kasus dalam tulisan kali ini. Yang jelas, ranah traveling jadi satu lingkungan yang hendak dibahas, lantaran saya pernah dikisahkan, membaca dan mengalami.
Dengan demikian, penyampaiannya pun akan jauh jauh jauh lebih mudah (semoga). Berdasarkan analisis sotoy saya yang telah mencapai titik kesimpulan, fenomena bule-sentris ini biasanya merebak di tempat touristy yang telah populer sedari lama, Bali misalnya.
Jadi, dalam bentuk apa sebenarnya bule-sentris ini menyentuh dunia traveling? Juga, seberapa besar pengaruhnya, minimal di tingkat kenyamanan, dalam melakoni perjalanan? Mari membahas satu per satu poin terkait maraknya bule-sentris di Indonesia!
Advertisement
Bule-Sentris, Ramah Sih tapi Sama Siapa Dulu
Pagi itu saya tengah menunggu Siginjai mengarungi Laut Jawa untuk nantinya menepi di Karimunjawa. Menggendong semacam bakul yang terlihat begitu berat, seorang ibu akhirnya menggelar barang dagangan (sialnya saya lupa apa yang ia jajakan) di Pelabuhan Kartini, Jepara, Jawa Tengah. Dengan ramah ia melambai pada turis asing sambil menawarkan dagangannya.
Menggunakan Bahasa Indonesia beraksen Jawa kenal dengan sesekali menyisipkan kata dalam Bahasa Inggris, ia mungkin berharap bule-bule itu memahami maksudnya untuk berjualan. "Ah ramah sekali," batin saya kala itu. Namun hanya beberapa detik dari gumaman tersebut, saya malah lihat perlakuan sebaliknya saat pendatang dalam negeri datang membeli.
Tetap dilayani memang, tapi tiada lagi binar suka saat menawarkan dagangannya pada para turis asing. Satu-dua-lima-tujuh orang Indonesia membeli, ia tetap saja memanggil (sambil melayani pembeli 'lokal') perempuan berambut pirang dengan mata abu-abu yang berjalan tak jauh dari tempat saya duduk. Scene semacam ini ternyata tak hanya pernah disaksikan oleh saya.
Seorang travel writer, Ariev Rahman, pun pernah jadi saksi ke-bule-sentris-an di salah satu kedai kopi di Seminyak, Bali. Alkisah, pelayan (mungkin tak semua) di sana lebih cekatan melayani turis asing ketimbang pelancong Indonesia. Ia pun pernah mengalami hal serupa saat pelesiran ke Tanjung Bira, Sulawesi Selatan.
Kala itu, ia memesan teh kemasan dengan segelas es batu untuk menghalau udara yang terlalu panas. Singkatnya, sang pemilik mengatakan jenis minuman itu tak ada. Namun entah dari mana datangnya, berbotol-botol teh kemasan dengan es batu langsung tersaji saat segerombol turis asing duduk dan memesan.
Jangan lagi bertanya soal nyaman, saya malah sempat berpikir jadi orang asing di negeri sendiri. Haruskah anggapan 'Indonesia orangnya ramah-ramah' ditambah 'tergantung dengan siapa'? Saya sendiri gagal paham mengapa sebagian orang memutuskan berprilaku demikian.
Yang misterius memang menarik. Namun apakah bule semisterius dan semenarik itu? Tulisan ini sekiranya bisa jadi pengingat bagi saya, kamu dan mungkin banyak orang untuk tidak mengagungkan yang luar sampai lupa apa-apa saja yang dimiliki. Ramah pada orang asing memang perlu, namun ramah terhadap saudara sendiri tentu jadi keharusan yang tak boleh ditinggal, bukan?
Asnida Riani,
Editor Kanal Style Bintang.com