Sukses

Entertainment

5 Fakta Menarik di Balik Film Kingdom of the Planet of the Apes, Ada Animator Indonesia yang Terlibat

Fimela.com, Jakarta Franchise film legendaris Kingdom of the Planet of the Apes kembali hadir membuka era baru dari kisahnya yang ikonik. Disutradarai oleh Wes Ball, Kingdom of the Planet of the Apes dibintangi oleh Owen Teague, Freya Allan, Kevin Durand, Peter Macon, dan William H. Macy.

Kingdom of the Planet of the Apes hadir dengan latar belakang beberapa dekade setelah masa kepemimpinan Caesar, di mana manusia hidup dalam bayang-bayang dan spesies kera harus berhadapan dengan pemimpin tirani yang berupaya untuk membangun kerajaan barunya. Sesosok kera muda bernama Noa yang berasal dari klan Eagle harus mengarungi sebuah petualangan berbahaya yang akan membuatnya mempertanyakan kembali masa lalu yang ia ketahui, serta membuat keputusan penting yang akan mempengaruhi kehidupan manusia dan kera kedepannya.

Selain menampilkan cerita perjalanan yang penuh aksi dan berbeda dari trilogi sebelumnya, Kingdom of the Planet of the Apes juga memiliki banyak kisah unik yang harus Anda ketahui.

Sutradara Visioner

Penggarapan Kingdom of the Planet of the Apes dipimpin oleh Wes Ball, seorang sutradara visioner yang mulai dikenal pada tahun 2014 lewat franchise film populernya,“The Maze Runner”, yang meraup lebih dari US$348 juta secara global. Wes Ball juga menyutradarai Maze Runner: The Scorch Trials dan Maze Runner: The Death Cure pada tahun 2015 dan 2018. Trilogi ini telah mendapatkan hampir US$1 juta di box office.

Animator Indonesia yang Terlibat

Teknologi yang digunakan untuk menghidupkan karakter kera dan juga suasana film tersebut dicapai melalui teknologi Performance Capture, berkat para ahli di Wētā FX. Perusahaan efek visual di Selandia Baru milik pembuat film Peter Jackson telah bekerja pada tiga film sebelumnya dan memainkan peran besar dalam Kingdom of the Planet of the Apes. Pekerjaan Wētā FX juga termasuk mengubah aktor manusia menjadi kera secara digital dan membantu menciptakan dunia yang berlatar beberapa ratus tahun dari film sebelumnya yang penggemar sudah saksikan.

Di dalam tim animator luar biasa ini, salah satunya adalah animator Indonesia yaitu Sashya Subono Halse. Sashya yang sebelumnya merupakan pengajar di bidang animasi di Indonesia, melanjutkan pendidikannya di Selandia Baru hingga menjadi bagian dari Wētā FX selama lebih dari 4 tahun. Animator yang berfokus pada Facial Motion Animation ini telah berkontribusi dalam beberapa film ikonik seperti, Guardians of the Galaxy Vol. 3 dan Avatar: The Way of Water.

Adaptasi Teknologi dari Avatar: The Way of Water

Proses produksi Kingdom of the Planet of the Apes sangat sulit dari segi teknis dan merupakan pembelajaran besar bagi sutradara Wes Ball. "Ketrampilan membuat film ini melebihi segala yang pernah saya jalani," katanya.

Salah satu tantangan terbesar adalah penambahan elemen air dalam cerita tersebut di mana ada sejumlah adegan yang memerlukan para kera untuk terlihat basah dan juga berada di dalam air. Erik Winquist, selaku Visual Effect Supervisor, menangani bagaimana air mengubah penampilan bulu mereka. Untungnya, Winquist dapat menggabungkan teknologi yang sudah pernah digunakan dalam Avatar: The Way of Water.

“Dari segi teknologi performance capture, Rise of the Planet of the Apes hadir setelah kami bekerja untuk Avatar," kata Winquist. “Pada film tersebut, kami membawa teknologi itu ke lokasi di bawah sinar matahari, yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Selama berlangsungnya tiga film itu, teknologi ini semakin maju, menjadi lebih tangguh, dan kami kemudian dapat membawanya ke hujan atau salju seiring perkembangan film-film tersebut.”

Belajar Menjadi ‘Kera’ Selama 6 Minggu

Sebelum proses syuting dimulai, para aktor mempelajari karakteristik dan pergerakan kera selama enam minggu, yang dipimpin oleh pelatih gerakan Alain Gauthier. Gauthier sebelumnya adalah seorang atlet, gymnast, dan trampolinist, bersaing secara internasional sebelum menjadi salah satu anggota pendiri Cirque du Soleil yang terkenal di dunia. Dia tampil dengan perusahaan tersebut hingga pertengahan 1990-an ketika dia beralih ke teater tari eksperimental.

Ketika para pemeran tiba untuk pelatihan, tugas pertama Gauthier adalah membuat mereka sangat sadar akan tubuh mereka. Dia menyusun serangkaian latihan untuk memperkuat dan mengembangkan jalur saraf baru, memberi mereka alat untuk bergerak layaknya seekor kera. Gauthier memulai pelatihan dengan lambat, menantang mereka untuk bertindak secara fisik.

“Setelah mereka menguasai format fisik, kami bekerja untuk membuat kepribadian aktor masuk ke dalam kepribadian kera, yang merupakan sesuatu yang membutuhkan pengamatan dari pihak aktor,” jelas Gauthier. “Tugas saya disini adalah untuk memastikan bahwa saya menunjukkan arah yang tepat bagi mereka untuk menjadikan karakter yang mereka ingin ciptakan menjadi indah dilihat.”

 

Membangun Set Asli

Sutradara Wes Ball ingin sebagian besar aksi berlangsung di set praktis di dunia fisik tetapi tetap dengan bantuan latar yang akan dibuat secara digital dalam beberapa adegan. "Dalam film ini, kami membawa orang-orang ke dunia yang tidak ada," jelasnya. "Tentu saja, ada banyak efek visual, tetapi semuanya dimulai dengan berdiri di tempat nyata dan memberi para aktor sesuatu untuk bereaksi."

"Set untuk film ini sangat luar biasa. Saya ingat saat masuk ke sarang Klan Elang, di mana bagian atas menara kami adalah konstruksi kayu empat lantai atau kayu balok yang diikat bersama, yang begitu detail dan begitu realistis sehingga Anda lupa bahwa tempat itu adalah set. Mereka membangun dunia yang begitu terperinci sehingga membuatnya mudah bagi seorang aktor untuk datang dan menjadi bagian dari cerita tersebut," tutur Owen Teague, pemeran Noa.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Loading