Fimela.com, Jakarta Pentingnya rating bagi dunia pertelevisian Indonesia dibahas dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Inrate di sebuah hotel di kawasan Jakarta Pusat, Selasa (13/11/2018). Seminar nasional yang bertajuk ‘Ada Apa Dengan TV Rating di Indonesia’ ini menghadirkan empat pembicara yang mumpuni.
Mereka adalah Ananto Pratikno (former country manager Nielsen Indonesia), Achjuman Achjudi (praktisi dunia rating televisi), Hartana (CEO INRATE) dan Deddy Mizwar (aktor dan produser film). Diskusi yang dipandu oleh dewan pakar Instrat (Indonesia Strategic Institute), Sidrotun Na’im, ini mengulas dunia rating dan revolusi digital yang mempengaruhi berubahnya lanskap pertelevisian serta budaya menonton.
Advertisement
BACA JUGA
Ananto Pratikno, dengan pengalamannya bertahun-tahun di Indonesia memaparkan bagaimana revolusi gaya menonton televisi di era digitalisasi. Perubahan tren menonton terkonsentrasi pada audiens yang berusia 5 – 35 tahun (atau yang lebih dikenal dengan Milennial dan Gen-Z). Dalam istilah periklanan disebut dengan the biggest chunk of the market . Itu karena, segmen inilah yang berpindah (shifting) dari televisi konvensional ke media digital.
Karakter yang berdampak pada perubahan kebiasaan menonton inilah yang menjadi tantangan utama industri TV, periklanan, dan media. Menurut Achjadi, TV rating yang ada selama ini masih mengandung banyak kelemahan sehingga masih banyak peluang yang bisa dimaksimalkan untuk melakukan pengukuran yang lebih akurat dan berkualitas.
Misalnya, angka rating yang dihasilkan sebuah lembaga penilaian rating tidak mencerminkan daftar program yang disukai pemirsa. Hal ini lantaran angka yang ditampilkan hanyalah besaran rata-rata dari pengukuran seberapa lama televisi menyala. Implikasinya, perbaikan dari segi metodologi dan peningkatan akurasi dalam pengukuran TV rating menjadi kunci.
Advertisement
Perlu Lembaga Pembanding
Selama ini pengukuran rating masih berjalan sendiri-sendiri. Pengukuran rating dari TV terrestrial, pay TV, dan TV digital masih belum terintegrasi. Padahal, di era sekarang kebiasaan menonton dilakukan dengan banyak saluran.
Deddy Mizwar menekankan pentingnya keberadaan lembaga pembanding yang bisa menyajikan hasil pengukuran alternatif. TV rating sendiri masih diperlukan sebagai alat ukur yang konkret dan mendorong dinamika bisnis.
“Satu lembaga tunggal yang sangat mendominasi tidaklah sehat dalam sebuah iklim industri media dan pertelevisian. Aturan main bisnis yang menghindari adanya monopoli tetap diselenggarakan selama dalam koridor yang tidak melanggar aturan-aturan KPI,” tutur Deddy Mizwar. Diakhir diskusi, Hartana menggarisbawahi budaya inovasi di Inrate yang merambah dunia digital.
Pihak Inrate merasa sangat siap untuk memanfaatkan big data agar memberikan insight yang lebih mendalam dalam mengukur rating televisi. Deddy Mizwar meyakini lamgkah tersebut akan mendapat dukungan dari banyak pihak yang terlibat di dunia televisi.